Apa pun itu, perihal patah hati selalu menjadi bagian kehidupan yang paling rumit untuk diselesaikan.
Tentang kehilangan yang sulit menemukan pengganti, tentang perasaan yang masih tertinggal pada tubuh seseorang yang sudah lama beranjak, tentang berusaha mengumpulkan rasa percaya yang sudah hancur berkeping-keping, tentang bertahan dari rindu-rindu yang menyerang setiap malam, serta tentang berjuang menemukan keikhlasan yang paling dalam.
Kamu akan tetap kebasahan bila kamu tak menghindar dari derasnya hujan dan mencari tempat berteduh. Kamu akan tetap kedinginan bila kamu tak berpindah dari bawah langit malam dan menghangatkan diri di dekat perapian. Demikian pun luka, kamu akan tetap merasa kesakitan bila kamu tak pernah meneteskan obat dan membalutnya perlahan.
Jangan menunggu orang lain datang membawakanmu penawar, tapi raciklah penawarmu sendiri, Jangan menunggu orang lain datang membawakanmu kebahagiaan, tapi jemputlah kebahagiaanmu sendiri.
Kamu tak boleh terpuruk selamanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hawa zaza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 14
"Sudahlah Bim, lagian kamu juga katanya sudah gak punya perasaan apapun sama si Laras. Dan juga ini menguntungkan kita loh. Kalau kalian pisah, berarti barang barang di rumah ini bisa kita ambil dan taruh di rumahnya emak. Kebetulan di rumah sana barang barangnya sudah mulai rusak." Sahut mbak Iis sumringah, aku hanya bisa ternganga dan ingin tertawa mendengar ocehan mantan kakak ipar ku itu. Sedangkan mas Bimo terlihat salah tingkah dan menggaruk kepalanya yang tak gatal sama sekali. Entahlah drama apa yang dibuat lelaki itu di depan keluarganya, sampai sampai kakaknya berpikir kalau semua barang yang ada di rumahku miliknya Bimo, aaah dasar parasit.
"Maksudnya?" Tanyaku dengan memasang wajah bingung. Melihat mas Bimo yang mulai salah tingkah dan mbak Iis yang begitu percaya diri, hati ini rasanya campur aduk. Antara kesal dan juga lucu, bisa bisanya mereka mengakui apa yang bukan haknya.
"Jangan berlagak bodoh kamu, Ras! Kamu sudah bukan istrinya Bimo, otomatis barang barang yang di beli dengan uangnya Bimo harus kamu kembalikan. Kebetulan di rumahnya emak Sofanya sudah pada bolong, dan lemari nya juga sudah di makan rayap." Sahut mbak Iis dengan sinisnya.
"Oh, begitu ya?" Balasku santai dengan senyuman tipis dan tatapan merendahkan pada mereka berdua. Entahlah, menghadapi mas Bimo dan keluarganya selalu membuat otak ini panas dengan segala drama mereka.
"Iyalah, enak saja kamu yang pakai." Balas mbak Iis dengan wajah angkuh dan tatapan sinis.
"Kalau begitu silahkan mbak Iis tanyakan sama mas Bimo, mana saja barang yang dibeli dengan uangnya." Jawabku dengan nada setenang mungkin, menatap lekat pada laki laki di hadapanku yang tengah gelisah dengan wajah pucatnya.
"Ya jelas semua yang ada dirumah ini pasti dibelinya pakai uang adikku. Emangnya kamu punya uang darimana untuk membeli barang barang yang bagus kayak ini? Sofa ini saja pasti harganya jutaan. Mana sanggup kamu membelinya, pasti uang Bimo yang kamu gunakan untuk membeli barang barang untuk mengisi rumah ibumu ini!" Sengit mbak Iis dengan entengnya, sedangkan mas Bimo masih diam tak bergeming dari kegelisahannya.
"Oh iyakah? Bagaimana mas, apa yang sudah kamu beli untuk rumah ini?" Tanyaku dengan nada sedikit mengejek. Mas Bimo terpana dengan sikap yang terlihat semakin gusar.
"Ya, itu, pasti kamu beli menggunakan uang yang aku kasih selama ini. Lagian kamu juga gak mungkin bisa punya uang untuk membeli barang barang ini." Sahut mas Bimo dengan lancar setelah berusaha untuk menutupi kegelisahannya.
"Lalu, uang yang mana yang kamu bicarakan, mas? Emangnya kamu kasih uang aku?" Balasku dengan senyuman menyeringai, mas Bimo nampak salah tingkah.
"Perlu mbak Iis tau, semua barang dirumah ini. Tidak ada satupun yang di beli menggunakan uangnya mas Bimo. Jangankan buat beli barang barang yang harganya gak murah kayak gini, buat kebutuhan anaknya saja dia selalu abai." Sahutku yang bertekad untuk melindungi apa yang memang menjadi hakku. Gak sudi jika harus merelakan apa yang sudah aku usahakan dengan susah payah agar bisa memiliki barang barang yang aku impikan. Nampak mbak Iis langsung memasang wajah masam dengan mata melotot ke arah adiknya yang masih salah tingkah.
"Harusnya kamu gak usah serakah, Ras. Bukannya barang barang itu menjadi harta Gono gini yang haru di bagi. Aku gak minta banyak kok, cukup sofa ini juga lemari tiga pintu dan alat alat masak kamu yang dari Korea itu, adil kan?" Sambung mas Bimo dengan entengnya, membuat mbak Iis yang tadinya masam kembali ceria.
"Mana bisa begitu, mas. Gak ada harta Gono Gono, wong kamu saja gak pernah nafkahi. Dan semua sudah jelas tertulis di surat perjanjian dari pengadilan. Bahkan kamu wajib bayar uang nafkah selama tiga bulan sebesar empat juta lima ratus padaku. Itupun aku sudah memberikan keringanan ke kamu, anggap saja itu sebagai ganti nafkah untuk Luna yang selama ini kamu abaikan." Sahutku santai, mas Bimo langsung melotot dengan rahang mengeras.
"Apa, uang sebanyak itu aku dapat darimana, hah? Jangan ngacau kamu, Ras. Aku gak sudi kasih uang sebanyak itu sama kamu, enak saja. Sudah bukan istriku kok masih mau minta uang, dasar perempuan licik!" Geram mas Bimo yang terlihat murka, aku tetap bersikap santai dan tak perduli dengan kemarahannya.
"Ya gak papa sih kalau kamu gak mau bayar, tinggal bawa masalah ini ke kantor polisi, aku punya cukup bukti dari pengadilan, gimana mas?" Sahutku sambil tersenyum manis sekali, membuat mas Bimo semakin merah padam menahan amarahnya.
"Kamu ya, Ras. Benar benar gak punya hati dan licik. Pantas saja Bimo benci dan menikah lagi dengan perempuan lain, sifatmu saja kayak gini. Dasar ular dan gak tau malu kamu, bisa bisanya kamu memeras adikku." Sungut mbak Iis yang membela adiknya, tapi aku tak perduli. Aku akan terus berusaha untuk bisa mendapatkan apa yang memang harusnya menjadi haknya Luna.
"Ya terserah, aku gak perduli mau kalian anggap seperti apa. Yang penting bayar denda yang sudah ditentukan oleh pengadilan atau aku laporkan ke kantor polisi. Dan untuk surat dudanya, aku juga gak mau perduli. Kalau memang kamu butuh surat itu, mas. Silahkan ganti uang sebesar aku mengurus perceraian kita, tiga juta saja." Sambung ku dengan senyum yang terus mengembang. Mungkin aku jahat dan tega. Tapi lebih jahat mana dengan suami yang selingkuh dan bersikap semena mena, bahkan sama sekali tidak bertanggung jawab. Aku hanya berharap, semoga mas Bimo memberikan uang yang aku minta, karena uang itu bisa aku gunakan untuk membayar sekolah Luna juga untuk mencari tempat kos sementara sebelum mencari kontrakan.
"Bagaimana ini, Bim?" Mbak Iis mulai terlihat khawatir, sedangkan mas Bimo masih menatap surat yang tadi aku serahkan dengan wajah memerah.
"Baiklah, aku akan bayar setengahnya dulu, aku belum ada uang sebanyak itu. Tapi ingat, ini terakhir kalinya aku kasih uang ke kamu dan aku tidak sudi lagi melihatmu, dasar perempuan licik, serakah!" Sungut mas Bimo dengan rahang mengeras, matanya tajam dan berapi api seolah ingin menelanku hidup hidup. Dulu aku takut setiap kali mas Bimo mengerdikku seperti itu, tapi sekarang aku tak perduli sama sekali.
"Baiklah, aku juga tidak mau berurusan sama kamu dan keluargamu lagi. Uangnya kirim saja ke rekening biasanya, masih tau kan nomor rekeningku?" Balasku santai, bahkan tak lagi ingin bersikap sopan pada dua manusia di hadapanku. Rasa sakit hati atas semua perlakuan mereka selama ini, membuatku mampu melakukan ini semua.
diihh .. khayalan nya terlalu tinggi pake segala ingin ibu nya tinggal disitu .. hadeuuhh .. dasar ga tau malu .. semoga aja Laras bisa melindungi diri nya dan Luna ..