Raka, seorang pemuda 24 tahun dari kota kecil di Sumatera, datang ke Jakarta dengan satu tujuan, mengubah nasib keluarganya yang terlilit utang. Dengan bekal ijazah SMA dan mimpi besar, ia yakin Jakarta adalah jawabannya. Namun, Jakarta bukan hanya kota penuh peluang, tapi juga ladang jebakan yang bisa menghancurkan siapa saja yang lengah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 Kos Kosan di Gang Sempit
Langit sore Jakarta mulai gelap, tapi keramaian pasar malam baru saja dimulai. Raka tiba di lokasi yang dijanjikan Bayu, tepat di depan stasiun. Lampu-lampu kios kecil dan suara pedagang menawarkan dagangan mereka memenuhi udara. Pasar malam itu penuh dengan berbagai jenis orang: penjual pakaian murah, penjaja makanan kaki lima, hingga pembeli yang sibuk menawar harga.
Bayu sudah menunggunya di dekat gerobak sayur yang besar. “Bro, lu datang tepat waktu,” ucapnya sambil mengunyah permen karet. Ia mengenakan kaos hitam polos dengan celana jeans belel, tampak santai meski pasar malam itu hiruk-pikuk.
Raka mengangguk. “Jadi gue harus ngapain, Bang?”
Bayu menunjuk tumpukan karung di belakang kios. “Itu barang dagangan buat besok pagi. Lu tinggal angkut ke truk yang parkir di sana. Selesai semua, lu bisa pulang.”
Tanpa banyak tanya, Raka langsung mulai bekerja. Karung-karung itu berat, berisi bawang, kentang, dan berbagai sayuran lain. Punggungnya yang belum terbiasa segera terasa pegal, tapi ia terus mengangkat barang satu per satu ke truk yang disebut Bayu.
Bayu berdiri santai di pinggir kios sambil merokok, sesekali mengawasi Raka. “Gue lihat lu anak kuat. Kalau kerja kayak gini, lu bakal tahan lama di sini,” katanya sambil terkekeh.
Raka hanya tersenyum kecil. Ia tidak ingin menunjukkan kelelahannya, meski tubuhnya hampir menyerah.
**Malam yang Panjang**
Pekerjaan selesai menjelang tengah malam. Raka duduk di trotoar, mengusap peluh di dahinya dengan saputangan lusuh. Bayu datang membawa dua bungkus nasi goreng dan sebotol air mineral.
“Ini buat lu. Kerja bagus hari ini,” ujar Bayu sambil menyerahkan makanan itu.
Raka menerimanya dengan ucapan terima kasih. Ia menyantap nasi goreng itu dengan lahap, merasa seperti makanan terbaik yang pernah ia rasakan setelah hari yang melelahkan.
“Jadi, lu baru banget ke Jakarta, ya?” tanya Bayu sambil duduk di sebelahnya.
“Iya, Bang. Baru kemarin sampai. Gue mau cari kerja yang lebih baik, tapi belum ada hasil,” jawab Raka jujur.
Bayu tertawa kecil. “Jakarta emang enggak gampang, Bro. Gue dulu juga mikirnya sama kayak lu. Gue kira, asal datang ke sini, duit bakal ngalir sendiri. Tapi kenyataannya, di sini lu harus rebut, harus sikut-sikutan kalau mau survive.”
Raka hanya mengangguk, mencoba mencerna kata-kata Bayu.
“Lu punya rencana apa?” lanjut Bayu.
“Gue mau coba cari kerja di kantor. Gue punya ijazah SMA, mungkin bisa jadi staf atau apa gitu,” jawab Raka penuh harapan.
Bayu menggelengkan kepala. “Susah, Bro. Kalau enggak ada kenalan, ijazah itu cuma selembar kertas. Mending sementara ini lu kerja di pasar dulu, sambil cari peluang yang lebih baik.”
Raka terdiam, merasa kenyataan mulai menghantam harapannya yang tinggi. Tapi ia tahu Bayu tidak salah. Ia butuh bertahan dulu, dan pekerjaan sementara ini adalah satu-satunya jalan.
**Kembali ke Kos**
Setelah pekerjaan selesai, Bayu mengantar Raka kembali ke kos. Gang sempit itu sudah sepi, hanya ada beberapa lampu jalan yang menerangi. Mereka berjalan melewati warung-warung yang mulai tutup, suara anjing menggonggong dari kejauhan menemani langkah mereka.
“Kos lu di lantai atas, ya? Hati-hati, tangganya kadang goyang,” ujar Bayu sebelum berpisah.
Raka naik ke kamarnya dan langsung merebahkan diri di kasur tipisnya. Seluruh tubuhnya terasa remuk, tapi ia merasa puas telah melewati hari pertamanya bekerja di Jakarta. Uang yang ia dapat malam itu tidak banyak, tapi cukup untuk bertahan beberapa hari ke depan.
Namun, rasa lelahnya tidak langsung membuatnya tidur. Ia menatap langit-langit kamar yang penuh bercak air, mencoba memikirkan langkah berikutnya. Ia tahu bahwa pekerjaan kasar ini bukanlah tujuan akhirnya. Ia harus menemukan jalan untuk keluar dari siklus ini dan mencapai mimpinya.
**Gang Kosan yang Berwarna**
Hari-hari berlalu, dan Raka mulai mengenal lebih banyak tentang lingkungan tempat tinggalnya. Kos itu dipenuhi oleh berbagai macam penghuni, masing-masing dengan cerita hidup mereka sendiri.
Di kamar sebelah, ada seorang ibu muda bernama Ani yang tinggal bersama anak balitanya. Ani bekerja sebagai pelayan restoran, sering pulang larut malam dengan wajah lelah. Meski begitu, ia selalu tersenyum ketika berpapasan dengan Raka di lorong.
Di kamar bawah, ada Pak Joko, seorang pensiunan supir bus yang kini menghabiskan hari-harinya bermain kartu dengan tetangga. Pak Joko suka bercerita tentang Jakarta di masa lalu, ketika kota ini belum terlalu sesak dan penuh gedung tinggi.
Lalu ada Tika, pramusaji warung makan yang sering berbagi makanan dengan anak-anak jalanan di sekitar gang. Tika memiliki energi positif yang sulit dijelaskan, selalu memancarkan semangat meski hidupnya tidak mudah.
Tika sering mampir ke kos untuk mengobrol dengan Ani, dan di situlah ia pertama kali bertemu Raka.
“Eh, Mas, kamu baru di sini, ya?” tanya Tika suatu sore ketika mereka berpapasan di tangga.
“Iya, Mbak. Saya baru seminggu tinggal di sini,” jawab Raka sambil tersenyum.
“Kamu kerja di mana?”
“Sementara ini bantu-bantu di pasar malam. Masih cari kerja yang lebih tetap.”
Tika mengangguk sambil tersenyum. “Jakarta emang berat, Mas. Tapi kalau kamu punya tekad, pasti ada jalan.”
Kata-kata Tika terdengar sederhana, tapi memberikan semangat baru bagi Raka. Ia mulai merasa bahwa meski Jakarta keras, masih ada orang-orang baik di sekitarnya.
**Tawaran Bayu**
Suatu malam, setelah selesai bekerja di pasar malam, Bayu mengajak Raka duduk di sebuah warung kopi dekat stasiun.
“Bro, gue ada tawaran buat lu,” kata Bayu sambil mengaduk kopinya.
“Tawaran apa, Bang?”
“Gini, di tempat kerja gue, mereka lagi cari orang buat jaga klub malam. Kerjanya gampang, lu cuma berdiri di pintu dan ngawasin tamu yang masuk. Gajinya lumayan, jauh lebih besar dari kerja di pasar.”
Raka terdiam. Pekerjaan itu terdengar menarik, terutama karena bayaran yang lebih besar. Tapi ia tahu, dunia klub malam sering kali penuh dengan hal-hal yang tidak bersih.
“Gue pikir-pikir dulu, Bang,” jawabnya akhirnya.
Bayu mengangguk. “Enggak apa-apa. Tapi kalau lu tertarik, bilang aja ke gue. Jakarta ini enggak cuma soal kerja keras, tapi juga soal kesempatan. Kalau ada yang bagus, jangan disia-siain.”
Malam itu, Raka kembali ke kamarnya dengan pikiran yang bercampur aduk. Ia tahu bahwa setiap langkah yang ia ambil di Jakarta akan membentuk jalan hidupnya, dan ia tidak ingin salah memilih.
Setelah malam yang panjang, Raka duduk di dekat jendela kecil kamarnya. Angin malam yang tipis masuk melalui celah-celah dinding kayu yang lapuk, membawa suara samar kendaraan dari jalan besar. Di atas meja kecil, amplop cokelat berisi ijazahnya masih tergeletak, seolah menjadi pengingat akan mimpinya yang terasa semakin jauh.
Ia memandangi uang yang berhasil ia simpan dari hasil kerja di pasar malam—beberapa lembar ribuan dan koin yang terselip di dalam dompet lusuh. Jumlahnya cukup untuk makan dan membayar kos bulan depan, tapi tidak lebih.
Pikirannya kembali ke tawaran Bayu. Gaji besar di klub malam tentu akan membantu, tapi ia tidak yakin apakah itu sejalan dengan prinsip yang ia pegang selama ini. Hidup di kampung, ibunya selalu menekankan pentingnya kerja halal, meski kecil hasilnya. Namun, di Jakarta, semua terasa berbeda. Pilihan-pilihan sulit seperti ini datang tanpa jeda, memaksa Raka menghadapi kenyataan keras yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
“Jakarta itu enggak pernah tidur, tapi juga enggak pernah kasihan,” gumamnya pelan.
Di luar, suara seorang anak kecil menangis terdengar samar dari kamar sebelah. Suara itu diiringi dengan obrolan kecil antara Ani dan Tika yang sedang mencoba menenangkan anak itu. Raka memejamkan matanya, mencoba menenangkan pikirannya.
Ia tahu, apapun keputusannya, hari esok akan membawa tantangan baru. Dan di kota ini, tidak ada ruang untuk keraguan terlalu lama.
hadeh hadeh, kesal banget klo inget peristiwa pd wktu itu :)