Menikah secara tiba-tiba dengan Dean membuat Ara memasuki babak baru kehidupannya.
Pernikahan yang awalnya ia kira akan membawanya keluar dari neraka penderitaan, namun, tak disangka ia malah memasuki neraka baru. Neraka yang diciptakan oleh Dean, suaminya yang ternyata sangat membencinya.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? apakah Ara dapat menyelamatkan pernikahannya atau menyerah dengan perlakuan Dean?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalu Unaiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 14
Dean merasakan tubuhnya memanas, pemandangan di depannya tak hanya sekedar hiburan atau untuk mengerjai Ara, tapi juga ternyata membangunkan sesuatu yang tak seharusnya di dalam diri Dean.
Gerakan lambat yang dilakukan Ara saat melepaskan satu persatu pakaiannya terlihat sangat sexy di mata Dean, wajah merah wanita itu ditambah tatapan tak berdayanya semakin membuat gairah dalam diri Dean menggila.
Dean mengepalkan tangan, berusaha mengendalikan diri. Fikirannya harus bisa ia kendalikan, ia yang memulai ini, Tapi kenapa tubuh telanj*ang Ara terlihat sangat menggoda?
Perempuan di depannya masih berjuang melucuti pakaiannya, kain terakhir yang menempel di tubuh mungil di depannya akhirnya terlepas. Ara telanj*ang sempurna.
Dengan kedua lengan kurusnya perempuan itu berusaha menutupi bagian tubuhnya yang terpampang jelas di depan Dean. Namun hal itu ternyata malah semakin membakar gairah Dean. Apa Ara sengaja ingin menggodanya?
“Sh**t.” umpat Dean. Ia kalah. Biarkan ia hilang kendali malam ini.
Dengan gerakan cepat ia mendekat dan mengurung tubuh mungil Ara di dalam rengkuhannya, Ara terkejut, tubuhnya menegang. Dean membawa tubuh telanj*ang perempuan itu ke atas ranjang, dengan perlahan membaringkanya, Ara memejamkan matanya, terlalu malu untuk melihat kenyataan.
Menyadari itu Dean mematikan lampu, menyisakan cahaya lampu dari luar yang melewati sela-sela tirai jendela kaca yang tak tertutup sempurna
Dengan penerangan yang cukup minim itu, Dean menjelajahi lekuk tubuh Ara dibawah kungkungannya. Ara masih memejamkan matanya.
Dean tak pernah benar-benar memperhtikan perempuan ini sebelumnya, tubuh yang tidak terlalu berisi, juga tidak terlalu kurus, sangat pas menurut Dean. Ternyata keindahan ini yang selalu tersembunyi dibalik kemeja longgar yang selalu perempuan itu pakai.
Ternyata tubuh Ara lebih mungil dari yang Dean kira.
Ara perlahan membuka matanya, tatapan dean menyambut matanya. Tak ada yang bersuara di antara mereka berdua, Ara tidak pernah membayangkan akan berada sedekat ini dengan Dean. Lidah Ara kelu ia tidak mampu mengucapkan sepatah katapun, sebuah kalimat penolakan yang sedari tadi bersarang di otaknya kini menguap begitu saja.
Tangan Dean perlahan bergerak menyentuh lengan Ara yang sedari tadi menyilang di depan dada perempuan itu. Tangan dingin yang sedikit bergetar ketika Dean sentuh.
Tangan Dean dengan lembut membawa lengan itu ke samping tubuh Ara, sekarang Dean dapat dengan leluasa melihat dengan jelas, meski dalam remang.
Tatapan Dean kembali pada wajah Ara, menyentuh pipi yang sedikit berisi itu, ini kali pertama Dean benar-benar memperhatikan wajah ini. Ternyata lebih indah dari yang ia kira. Entah karna gairah, tapi di mata Dean Ara berkali-kali lipat lebih indah malam ini.
Dean mulai menggerakkan jarinya menyusuri kulit bahu Ara, seiring dengan sentuhan Dean, Ara merasa bulu-bulu di tubuhnya meremang, tubuhnya seperti disiram es, namun di beberapa titik ia merasa tubuhnya memanas. Sulit untuk ia jelaskan.
Dean perlahan mendekatkan wajahnya. Mengecup perlahan bibir ranum itu, sedikit menggulum, Dean perlahan memperdalam ci*mannya. Tangannya tak tinggal diam memberikan sentuhan-sentuhan sensual.
Ara tidak tau caranya berci*man, itu yang Dean yakini. Perempuan itu amatiran, bahkan respon tubuhnya pada sentuhan Dean saja menunjukkan betapa tidak berpengalamannya perempuan itu.
Mendapati fakta itu entah mengapa ada sedikit perasaan bahagia juga perasan bangga terselip dalam hati Dean. Apa ia menjadi yang pertama bagi perempuan ini? Jujur saja, Dean bukan laki-laki alim yang tidak tau apa-apa. Ia laki-laki dewasa yang sudah sangat berpengalaman dalam hal ‘itu’.
Keduanya kini hanyut dalam cumbuan yang semakin intens, di malam yang semakin panas ini, Dean benar-benar kehilangan kendalinya malam ini, atau ia sendiri yang ingin kehilangan kendali malam ini. Malam yang begitu panjang bagi Ara, juga bagi Dean yang semakin menggila.
***
Ara merasakan tubuhnya seperti remuk, ia terbangun mendengar bunyi alarm dari ponselnya yang terletak di atas sofa. Dengan perlahan Ara melepaskan diri dari rengkuhan Dean yang mengurung tubuhnya semalaman.
Mengabaikan rasa ngilu disel*ngk*ngannya, Ara berusaha menyeret tubuh telanj*ngnya, mematikan alarm lalu memunguti pakaiannya yang berserakkan di lantai, kemudian memakai kembali pakaian tersebut, ia harus segera keluar dari kamar ini.
Ara mendudukkan dirinya di kursi meja makan, berusaha mengumpulkan kesadaran yang masih setengah. Ia harus segera menyelesaikan pekerjaannya pagi ini, membuat sarapan serta membereskan beberapa hal yang belum sempat ia lakukan kemarin malam saat ia pulang, ia harus berangkat ke kantor sebelum Dean bangun, ia terlalu malu untuk bertemu laki-laki itu.
Berangkat ke kantor kali ini Ara memilih memesan taksi, ia tak kuat jika harus berjalan ke depan komplek mencari angkot, sedangkan menaiki ojek dalam kondisi seperti ini bukan ide yang bagus, ia butuh sedikit istrahat sebelum sampai kantor.
Dean bangun tak lama setelah Ara berangkat, sedikit kebingungan karana tak mendapati perempuan itu di sampingnya saat bangun, namun setelah keluar dari kamar dan mendapati di meja makan sudah tersaji sarapan, barulah Dean sadar, perempuan itu sepertinya sudah berangkat ke kantor.
Dean melirik jam di dinding, Ara berangkat lebih cepat dari biasanya. Dean memang telat bangun, mengingat semalam ia baru tertidur sekitar pukul tiga dini hari.
***
“Ra, kamu sakit?” Tanya Lila. Sejak tadi ia sudah memperhatikan Ara yang sedikit berbeda dari biasanya.
“enggak kok mbak, aku baik-baik aja,” ucap Ara seraya tersenyum meyakinkan.
“tapi kamu kelihatan lemes banget,” balas Lila sambil mengulurkan tangannya memeriksa suhu tubuh Ara.
“badan kamu sedikit hangat loh, Ra,” lanjut Lila semakin khawatir
“Nggak apa-apa mbak, aku cuman kurang istrahat aja.” ucap Ara sekali mencoba meyakinkan Lila.
Lila hendak mengajaknya makan siang di liar bersama teman-taman yang lain, namun terpaksa Ara tolak.
Makan siang kali ini Ara memutuskan untuk meminta bantuan OB, untuk membelikan makanan take away yang ada di seberang gedung kantor. Tadi pagi beberapa teman kantornya mengomentari cara jalannya yang sedikit aneh, jadi ia tidak ingin terlalu banyak berjala hari ini. Mengurangi resiko menjadi bahan gosip di kantor.
Dering ponselnya menganggu indra pendengaran Ara, sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal.
“Ara?”suara yang tak asing memasuki indra pendengaran Ara
“kak Rio?” suara yang tak lain adalah Rio itu membenarkan
“kamu di mana?” tanya Rio
“lagi di kantor kak. Kenapa? Papa baik-baik aja kan?” balas Ara
“Papa baik-baik aja, semuanya baik.” Rio terdiam sesaat
“Perusahaan juga akan baik-baik aja, Dean, suami kamu, memberi bantuan lebih dari yang kami harapkan sebelumnya. Makasih ya Ra,” jelas Rio. Ara lega mendengarnya.
“sama-sama kak, aku lega sekarang. Senang juga bisa sedikit membantu.” Mendengar kabar dari Rio membuat Ara sedikit bernafas lega, setidaknya apa yang ia korbankan berbuah baik untuk keluarganya.
Rio juga bercerita bahwa Papanya berencana pensiun dan menyerahkan perusahaan pada Rio untuk dijalankan.
Jadi bisa dipastikan Rio akan menetap di Indonesia. Ara dan Rio menghabiskan waktu mengobrol sekitar lima belas menit, sambil menunggu makan siang yang belum datang. Ia kangen mengobrol dengan Rio tentang banyak hal. salah satunya hal-hal konyol yang kakaknya itu lakukan selama di luar negri. Obrolan telepon itupun terputus saat seorang OB mengantarkan pesanan makan siang Ara.