Tidak pernah Jingga bayangkan bahwa masa mudanya akan berakhir dengan sebuah perjodohan yang di atur keluarganya. Perjodohan karena sebuah hutang, entah hutang Budi atau hutang materi, Jingga sendiri tak mengerti.
Jingga harus menggantikan sang kakak dalam perjodohan ini. Kakaknya menolak di jodohkan dengan alasan ingin mengejar karier dan cita-citanya sebagai pengusaha.
Sialnya lagi, yang menjadi calon suaminya adalah pria tua berjenggot tebal. Bahkan sebagian rambutnya sudah tampak memutih.
Jingga yang tak ingin melihat sang ayah terkena serangan jantung karena gagalnya pernikahan itu, terpaksa harus menerimanya.
Bagaimana kehidupan Jingga selanjutnya? Mengurus suami tua yang pantas menjadi kakeknya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Alifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MALAM INI..
Sesuai rencana, malam ini Hardi dan Yaya mengunjungi Langit dan Jingga. Mega pun turut serta dengan mereka, gadis itu tampak murung, tak banyak bicara bahkan irit tersenyum.
"Makan malam sudah siap, lebih baik kita ke ruang makan," ucap Langit.
Beberapa menit mereka berbincang-bincang di ruang tamu, Langit dan Jingga tampak begitu bahagia.
"Sebentar nak, ada yang ingin Mega sampaikan pada kalian," ucap Hardi. Ia menoleh, menatap Mega yang tampak menunduk.
Langit dan Jingga saling menatap, mereka yang baru saja hendak beranjak kembali duduk sempurna.
Hening, Mega belum mengeluarkan kata-kata apapun. Membuat Langit berdecak lalu menoleh pada Jingga. Jingga tahu arti tatapan suaminya, Langit tak suka menunggu.
"Ada apa mbak?" tanya Jingga. Ia tak mau membuat mood Langit hancur.
Mega menatap Langit dan Jingga bergantian, lalu kembali menunduk. "Aku minta maaf," cicitnya dengan pelan.
Langit mengangkat sebelah alisnya, tentu ia tak akan mudah percaya begitu saja. Apa yang gadis itu lakukan nyaris membuatnya kehilangan Jingga, rasanya tak mungkin Mega bisa berubah dalam waktu singkat.
"Tidak usah meminta maaf, Mbak." Ucap Jingga, "Seperti yang aku katakan, aku berterima kasih padamu. berkat kamu, aku mengetahui siapa suamiku yang sebenarnya. Tapi satu hal yang harus mbak tahu, aku mencintai mas Langit sebelum aku tahu wajah aslinya. Aku mencintainya apa adanya, bukan karena rupa apalagi harta."
Kalimat itu membuat Langit menoleh, ia menatap istrinya dengan lekat. Rasanya tak sia-sia ia menyamar, selain untuk melindungi diri dan melindungi orang-orang terdekatnya, ia juga mendapatkan seorang perempuan baik yang mencintainya dengan tulus.
Jika saja ia terlambat menyadari perasaannya, mungkin ia bisa kehilangan Jingga. Tapi sekarang, perempuan itu pun sudah tahu perasaanya yang sebenarnya.
FLASHBACK
"Pelan-pelan, mas.." ucap Jingga seraya sedikit menahan dada Langit yang menindihnya. Grasak-grusuk, pria itu kembali menyentuhnya dengan tak sabar, membuatnya protes dan tertawa tanpa suara saat Langit menatapnya dengan tatapan sayu penuh damba.
"Aku ingin segera mengatakannya, karena itu aku ingin segera mencapai puncak," ucap Langit dengan jujur.
Kalimat yang membuat pipi Jingga bersemu merah, perempuan itu lalu berkata, "Kalau begitu katakan sekarang, agar aku tahu perasaanmu. Bukankah akan terasa lebih berbeda jika kita melakukan ini setelah kita tahu perasaan kita?"
Langit tersenyum, ia mengecup bibir Jingga sekilas, laku kembali menatap perempuan itu dengan begitu dalam. Penuh damba, penuh kasih dan penuh perasaan. "Dengarkan ini baik-baik, aku gugup, karena itu, mungkin aku hanya akan mengatakannya sekali saja untuk malam ini. Tapi aku janji, aku akan selalu mengatakannya padamu. Aku, aku mencintaimu Jingga! Entah sejak kapan, tapi aku yakin dengan perasaan ku."
Jingga menahan nafasnya, mencoba menguasai debaran di hatinya. Kedua netranya tampak berkaca-kaca, perlahan tangannya yang sebelumnya mengalung di leher Langit bergerak, menangkup kedua pipi pria itu dengan begitu lembut, "Aku lebih mencintaimu, mas. Aku sangat mencintaimu, terima kasih untuk cintaku yang kamu balas.."
Kedua mata mereka sama-sama terpejam, lalu menyatukan bibir dengan penuh cinta. Mereka kembali memulai pergumulan panas yang sempat terhenti.
Benar yang Jingga katakan, penyatuan kali ini terasa berbeda. Lebih menyenangkan, lebih terasa nikmat, dan mereka lebih membebaskan diri untuk membuat pasangan merasakan cinta yang mereka salurkan lewat penyatuan itu.
Jingga bahkan melepaskan dirinya untuk membalas setiap pergerakan yang Langit lakukan, ia tak mau kalah. Mengesampingkan rasa malu, Jingga pun ikut bergerak di bawah kungkungan tubuh kekar Langit berwajah tua.
"Aku mencintaimu, aku mencintaimu mas. Aku mencintaimu," Jingga terus meracau saat Langit semakin bergerak cepat dan melenguh panjang mengungkapkan perasaannya juga.
"Aaakh, Jingga. Aku mencintaimu.." lenguh Langit.
Mereka sama-sama mencapai puncak dengan mengungkapkan perasaan mereka masing-masing.
FLASHBACK END.
***
"Kalau permintaan maafmu ini hanya kedok, lebih baik kamu simpan saja semua ucapanmu itu!" Tegas Langit, ia menatap Mega dengan tatapan tajam, lalu menoleh saat Jingga mengusap lengannya. Memberi isyarat agar pria itu jangan terlalu keras pada Mega, mengingat di sana tak hanya ada mereka saja, tapi juga ada Hardi dan Yaya yang tampak menunduk tak enak.
Langit menghela nafas gusar. Jujur, jika saja ia tak melihat dan menghargai Jingga dan kedua orang tuanya, mungkin ia sudah menampar Mega dan meminta Alex memberikan pelajaran pada gadis itu.
"Sudahlah, aku dan suamiku sudah memaafkanmu mbak. Aku mau kita seperti dulu, saling menyayangi dan saling melindungi. Bisakah mbak?" tanya Jingga dengan suara semakin lirih.
Mega mengangkat kepalanya, ia mengangguk seraya tersenyum meski matanya berair. "Tentu Jingga. Terima kasih, sekali lagi aku minta maaf padamu."
Jingga mengangguk seraya tersenyum, ia beranjak menghampiri Mega, lalu memeluk sang kakak yang sosoknya begitu ia rindukan. Dulu mereka tak seperti ini, mereka saling menyayangi dan saling melindungi satu sama lain, lalu kemana perginya Mega yang dulu?