Kesempatan kembali ke masa lalu membuat Reina ingin mengubah masa depannya yang menyedihkan.
Banyak hal baru yang berubah, hingga membuatnya merasakan hal tak terduga.
Mampukah Reina lari dari kematiannya lagi atau takdir menyedihkan itu tetap akan terjadi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menolak
"Duduklah," perintah sang ayah. Reina berjalan menuju kursi yang sangat tetasing di ruangan itu. Seakan-akan siapa pun penghuninya adalah seorang tersangka yang tengah menghadiri sidang.
Baru saja menduduki dirinya seseorang masuk dan menutup pintu.
Lelaki itu duduk di seberang Laksmana, siapa lagi kalau bukan Vano.
"Apa Bi Astrid baik-baik saja?" dia hanya ingin memastikan kondisi pelayan baiknya.
"Tentu. Kamu pikir apa yang akan terjadi dengan dia?" Laksmana menyela dengan angkuh.
Tarikan napas Reina melega. Hanya itu, dia hanya butuh kepastian jika pelayan setianya baik-baik saja.
Namun tetap saja mulutnya membalas dengan cibiran.
"Siapa tahu kan?"
"Kau—" tunjuknya pada Reina kesal.
"Laksmana hentikan!" sela Hendro.
Dia menatap sang putri tak percaya. Apakah sehina itu pikiran sang putri terhadapnya?
Meski hanya seorang pelayan, tak mungkin Hendro berani melakukan kekerasan fatal pada pelayannya.
Setidaknya dia tak sebodoh itu. Astrid pasti bisa membuat huru hara yang justru akan merugikannya.
"Ada yang mau ayah bicarakan denganmu."
Reina diam tak mendengarkan, kejadian ini tak berubah. Jelas dia tak terkejut dengan apa yang akan sang ayah katakan selanjutnya.
Hanya saja jawaban serta tanggapannya yang pasti akan berbeda.
Kini dia justru sedang menyiapkan jawaban masuk akal untuk menyanggah ucapan ayahnya.
"Nilaimu tak terlaku baik—" satu, hitung Reina. Ayahnya sedang menjabarkan alasan-alasan agar dirinya tak perlu melanjutkan pendidikannya.
Alasan pertama tak berubah, nilai hasil ujiannya memang tidak terlalu baik, semua itu karena ulah Elyana tentu saja.
Di saat tengah mengerjakan ujian, Elyana yang duduk di depannya dengan tak tahu diri langsung menukar kertas ujian mereka.
Elyana ingat dia pernah mengadu yang berakhir justru dirinya di maki-maki keluarganya di ruangan kepala sekolah.
Tentu saja usaha yang Reina kerahkan selama ini untuk belajar, sia-sia setelah Elyana mengklaim hasil ulangannya.
"Ke dua, kakakmu Vano, dia berniat meneruskan kuliahnya agar bisa jadi profesor. Ayah pikir sebaiknya kamu mengulang kembali sekolahmu agar bisa mendapatkan nilai yang baik. Contohlah Elyana, adikmu itu bisa mendapatkan nilai bagus dan diterima di fakultas bergengsi."
Alasan kedua juga masih sama. Dia dipaksa mengalah, tapi sebenarnya itu cuma buat mengalihkan permintaan ayahnya yang lain.
"Sejujurnya, keuangan ayah memang tidak terlalu baik hingga tak bisa membiayai kalian semua—"
Reina tahu ayahnya jujur untuk ucapannya yang ini.
"Kalau kamu memang ingin sekali kuliah, ayah punya saran untukmu."
Inilah alasan lain sang ayah untuk menghindari tanggung jawabnya yaitu ...
"Menikahlah dengan Edwin."
Tatapan Reina makin kaku. Dulu dirinya pasti akan bersorak bahagia. Karena tak lain dan tak bukan karena cintanya yang begitu menggebu pada Edwin, permintaan sang ayah tidak terdengar seperti seorang ayah yang hendak membuangnya.
Namun ia menganggap ayahnya bisa memberi hadiah yang sangat ia nantikan, apalagi jika bukan menikah dengan Edwin.
Dulu dengan naif, Reina berpikir jika menikah dengan Edwin hidupnya akan bahagia, sebab selain Edwin, ibu mertuanya juga sangat menyukainya.
Namun setelah menjalani hidup di masa depan. Reina baru mengetahui alasan ibunda Edwin menerimanya, bukan karena mencintainya tapi karena ingin menjadikan dirinya pembantu gratisan di rumahnya.
Reina tahu, saat ini ibunda Edwin itu pasti membujuk ayahnya dengan iming-iming akan membiayai kuliahnya, tapi setelahnya wanita itu akan memberikan berbagai alasan agar dirinya tetap di rumah dan menjadi ibu rumah tangga.
Ingatan pahit itu membuat tubuh Reina tanpa sadar bergetar dengan hebat.
Vano yang memperhatikannya mengernyit heran, Reina terlihat tidak senang dengan usulan ayah mereka.
"Tante Nessa dan om Darmono tadi datang ke sini, tanpa sengaja mereka malah bersedia mau menyekolahkanmu."
"Ayah ingin membuangku?" balas reina yang tak menutupi kemarahannya.
"Reina!" bentak Laksmana kesal.
"Apa itu yang kamu pikirkan? Bukankah kamu dan Edwin saling mencintai? Menikah muda juga bukan masalah besar bukan?"
Reina tersenyum tipis, benar-benar ayahnya memang ingin membuangnya.
Kenapa hatinya terasa sakit? Bukankah dia ingin pergi dari keluarga Angkasa? Kenapa dengan mendengar usulan ayahnya membuat sakit itu tetap terasa.
"Apa kamu ngga memikirkan akan omongan orang-orang?"
Untungnya reina masih ingat ada senjata yang mungkin bisa menghentikan niat ayahnya.
"Apa maksudmu?"
"Aku seorang anak dari Edwin Angkasa yang baru berusia delapan belas tahun, lalu menikah muda? Desas desus apa yang akan mereka pikirkan? Tentu saja, kau akan dianggap gagal mendidik anak perempuanmu hingga terpaksa harus menikahkan anakmu yang masih belia."
Reina ingat saat pernikahannya dengan Edwin dulu, dia mendengar desas-desus bahwa dirinya telah berbadan dua.
Saat itu dia mengamuk hingga membuat acara mereka kacau dan ayahnya sangat murka. Padahal kala itu pikiran anak-anaknya jelas tak terima saat mereka berkata dengan membawa-bawa nama mendiang ibunya.
"Maksudmu ... Mereka akan menganggapmu hamil di luar nikah?"
Reina mengangguk, ia melihat ayahnya tampak berpikir. Dirinya berharap ayahnya bisa goyah.
"Eh iya benar yah, menikah muda kayaknya bukan pilihan yang bijak," sela Elyana.
Yakinlah, ucapan gadis itu bukanlah untuk menyelamatkannya, tapi karena ia sedang jatuh cinta dengan Edwin hingga Reina yakin jika Elyana tak terima dengan usulan ayahnya.
Namu kali ini ia bersyukur dengan gadis itu yang meski ada niat tersendiri setidaknya bisa menyelamatkannya.
Benar saja Hendro terlihat menghela napas. Dia lupa memprediksi kejadian itu. Yang ada di benaknya kala menerima kedatangan Nessa dan Darmono hanya karena mereka mau membiayai pendidikan Reina.
Berbeda dengan Elyana yang juga cemas menunggu jawaban ayah tirinya. Meike justru terlihat jengkel dengan ucapan putrinya. Terlihat wanita itu memelototi anaknya.
Rencananya untuk membuang dirinya pasti dianggap gagal karena ulah putrinya sendiri.
"Lalu kamu akan bagimana?" tanya Hendro lagi.
Pikirannya buntu. Keungannya benar-benar sedang terpuruk karena bisnis yang dipercayakan pada Laksmana gagal total hingga menyebabkan kerugian yang cukup besar.
"Aku bisa bekerja," balas Reina terlihat ragu.
"Kerja? Seseorang dengan hanya berijazahkan SMA mau kerja apa? Sebagai pelayan?" cibir Laksmana lagi.
"Kenapa tidak? Sebagai pelayan juga tak buruk, dari pada seseorang yang merasa bisa bekerja justru tak becus hingga menyebabkan perusahaan diambang kebangkrutan," balas Reina telak.
"Kau!" Laksmana murka hingga bangkit dari duduknya.
Ia tak mengira adiknya yang tak pernah tahu apa-apa tentang keluarga bisa tahu akan rahasia buruknya.
Hendro juga mengernyit heran karena Reina seolah tahu apa yang menyebabkan keuangannya memburuk
"Kamu mau jadi pelayan dan hanya akan memperburuk nama baik keluarga Angkasa! Bodoh."
"Sepertinya ayah memang harus memikirkan lagi apa kamu memang layak di beri tangung jawab menjalankan perusahaan. Sebab berulang kali aku bicara kamu seolah lupa," cibirnya lagi.
Laksmana benar-benar geram karena Reina selalu berhasil memprovokasi dirinya hingga akhirnya merangsek menuju ke arahnya.
Reina bangkit bersiap melawan sang kakak. "Perlu kuingatkan? Aku ini keluarga Suwito! Aku Reina Suwito! Kalian yang membuangku, tapi mulutku harus selalu berbusa untuk mengingatan kamu tentang itu!" bentaknya hingga membuat langkah Laksmana terhenti.
Meike memili diam, perdebatan antara saudara itu justru sangat ia nikmati. Ia sangat ingin mereka saling menyakiti tanpa mengotori tangannya.
"Jika sudah tak ada yang ingin kalian katakan lagi aku permisi."
"Tunggu Reina!"
Hati Reina bergetar saat mendengar ayahnya memanggil namanya. Reina sangat tahu ayahnya selalu mencari kalimat agar tak perlu menyebut namanya dengan lembut.
Jika dengan teriakan, itu sudah biasa Reina dengar.
Reina pun berbalik menahan sekuat tenaga air matanya agar tak meleleh.
Ia benci sisi cengengnya ini. Semoga saja sikap luluhnya bisa berubah.
"Kamu ... Bicaralah sendiri sama tante Nessa. Kebetulan dia memang mengundangmu ke rumahnya. Mereka sedang merayakan ulang tahun Om Darmono. Nanti ayah akan menyiapkan hadiah untukmu."
Reina berbalik, dia kira ayahnya akan memberikan saran lain untu masa depannya, tapi yang ada, justru seolah membiarkan dirinya menghadapi keluarga Edwin seorang diri.
Ia mengumpankan dirinya agar keluarga Edwin menyalahkannya. Benar-benar licik.
Perasaan hangat tadi menguap begitu saja.
.
.
.
Lanjut