~Jingga melambangkan keindahan dan kesempurnaan tanpa celah ~
Cerita ini mengisahkan tentang kehidupan cinta Jingga. Seorang yang rela menjadi pengantin pengganti untuk majikannya, yang menghilang saat acara sakral. Ia memasuki gerbang pernikahan tanpa membawa cinta ataupun berharap di cintai.
Jingga menerima pernikahan ini, tanpa di beri kesempatan untuk memberikan jawaban, atas penolakan atau penerimaannya.
Beberapa saat setelah pernikahan, Jingga sudah di hadapkan dengan sikap kasar dan dingin suaminya, yang secara terang-terangan menolak kehadirannya.
"Jangan harap kamu bisa bahagia, akan aku pastikan kamu menderita sepanjang mejalani pernikahan ini"~ Fajar.
Akankah Jingga nan indah, mampu menjemput dinginnya sang Fajar? layaknya ombak yang berguling, menari-nari menjemput pasir putih di tepi pantai.
Temukan jawabannya hanya di kisah Jingga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rengganis Fitriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merawat Mama Mertua
“Baik sepertinya kondisi Bu Nadin, baik-baik saja saya permisi dulu. Jika dalam waktu tiga hari ke depan Bu Nadin tak kunjung membaik sebaiknya di bawa ke rumah sakit untuk observasi lebih lanjut”. Pamit Dokter Bayu pada semua orang yang ada dalam kamar.
Dokter Bayu, menyerahkan tasnya pada Jingga, untuk di bawakan keluar. Sedang Jingga diam saja tak mengerti maksud uluran tangan tersebut.
Menyadari hal itu, dengan cepat Fajar menyambar tas Dokter Bayu, dan membawakannya untuk turun ke bawah. Raut wajah kesal terpancar sempurna di wajah Fajar.
“Mama makan dulu ya, setelah itu minum obat”.
Bu Nadin tak bergeming, diam saja tak memberikan jawabannya.
“Jingga ambilkan makan dulu ya Ma”. Ia mulai berlalu melangkahkan kakinya untuk mengambil makanan yang ada di meja makan.
“Tidak perlu”. Jawabnya dengan ketus.
Tak ingin membuat masalah dengan orang dalam rumah itu, Jingga memilih untuk mengalah. Pak Angga kembali menatapnya dengan iba.
“Istirahatlah nak ini sudah malam”.
Musin hujan telah tiba, di luar hujan begitu lebatnya sedang menari-nari membasahi bumi. Kilat menyala-nyala di tengah gelapnya malam terlihat dari pantulan cahaya yang menggeliat masuk dalam retina. Hari sudah mulai larut, Jingga melirik sekilas jam yang ada di dinding ruang makan rumah utama Pak Angga. Waktu menunjukan pukul sebelas malam. Ia ragu melangkahkan kakinya.
“Dimana aku harus tidur malam ini?”, sebuah pertanyaan yang wira-wiri berlenggang di kepalanya sejak keluar dari kamar Bu Nadin tadi.
Jika bisa memilih Jingga, akan memilih untuk tidur di kamar tamu saja dari pada harus tidur satu kamar dengan Fajar, sayangnya ini bukan rumah Fajar, ia tidak mungkin tidur dalam kamar terpisah dengan suaminya.
Jingga, kembali duduk di meja makan. Kini tangannya terulur untuk meneguk segelas air putih yang ada didepannya. Entah sudah berapa gelas air yang ia habiskan untuk mengurangi rasa canggung malam ini. Pelayan dalam rumah ini juga sudah tidak ada. Mereka akan kembali ke tempat khusu paviliun yang ada di belakang rumah ini.
Matanya kosong menatap sekitar istana nan indah tapi tak menemukan kenyamanan di sana.
“Mau sampai kapan di sini?”, suara dingin pria yang berada disebelahnya membuyarkan lamunan Jingga.
“Maaf Tuan”.
“Cepat tidur!”. Titahnya tanpa memandang wajah Jingga.
Jingga, bingung harus melangkahkan kakinya kemana, saat mendengar perintah Fajar.
“Naik ke atas”. Ucapnya kembali dengan dingin dan meraih segelas air putih yang ada di kulkas.
Menyadari perintah dari suaminya ia langsung bergegas menuju kamar Fajar. Seperti hari-hari lalu sebelum ia pindah ke rumah Fajar. Jingga akan tidur di sofa sedang Fajar akan tidur di kasur utama. Keduanya masuk secara bergantian. Tidak ada interaksi di anatar mereka.
Jingga lekas merebahkan tubuhnya di atas sofa, tak ada bantal dan juga selimut yang di berikan oleh Fajar untuknya. Ia kembali meringkuk memeluk lututnya kala merasakan hawa dingin yang begitu menusuk tulang-tulangnya.
Jingga menghela nafas panjang, jujur saja, waktu yang paling ia benci di rumah ini adalah ketika malam hari, di kala ia harus tidur sekamar dengan Fajar suaminya, tanpa sepatah katapun yang terucap di antara mereka berdua. Layaknya tidur dengan seorang mayat hidup, suasanannya begitu dingin dan mencekam.
Pagi hari Jingga membuka matanya, ia kembali terkejut kala mengingat ini bukan kamarnya. Ia bangkit dari sofa tempat tidurnya, memperbaiki jilbab yang ia pakai. Jingga tak melepas jilbabnya, saat tidur sebab ia sadar Fajar tak menginginkannya. Ia melirik jam dinding waktu menunjukkan pukul setengah lima pagi.
Jingga merenggangkan otot-ototnya sejenak , melihat Fajar masih tertidur dengan cukup pulas di bawah selimut, yang terlihat sangat tebal dan hangat.
Jingga lekas menuju kamar mandi. Ia mandi, ganti baju dan menjalankan kewajibannya sebagai muslim. Ia kembali menggelar sajadah di samping Fajar tidur, berdoa dengan sangat khusuk dan lirih. Ia tak punya keberanian untuk membangunkan Fajar dan mengajaknya sholat.
Jingga yang terbiasa dengan segala kesibukan aktivitas di pagi hari memilih untuk ke dapur.
“Selamat pagi Nona Jingga, ada yang bisa saya bantu”. Susi menyapa Jingga yang sudah berdiri di depan pintu dapur.
Jingga mengamati segala aktivitas yang ada di dapur, rupanya di sini pelayan akan bangun lebih pagi jika di bandingkan di kediaman Pak Hermawan.
“Mbak Susi, saya ingin masak untuk Mama”.
“Tapi Non”.
“Sudah tidak papa, Mbak Susi bantu saja menyiapkan bahan-bahanya, sepertinya Mama sedang tidak nafsu makan nasi. Saya ingin membuatkannya bubur kacang hijau saja”.
“Baiklah Non”.
Kini tangan Jingga kembali beradu untuk membuat bubur, ia akan membuat bubur kacang hijau untuk meningkatkan stamina Bu Nadin agar tidak lemas dan lekas sembuh.
Untuk sarapan pagi ini Jingga, memasak pepes tongkol daun kemangi dengan sayur bening. Tak lupa ayam goreng yang slalu hadir memeriahkan meja makan. Yang membuat sarapan pagi ini istimewa adalah kehadiran bubur kacang hijau. Sudah lama sekali pelayan di sini tidak membuat bubur kacang hijau.
Semua keluarga sudah berkumpul di meja makan, menduduki kursi masing-masing. Begitu juga dengan Bu Nadin, ia melangkah dengan malas menuju meja makan. Namun juga enggan untuk makan di kamar.
Matanya terusik kala melihat bubur kacang hijau yang terhidang di atas meja.
Reflek tangannya terulur meraih bubur. Ia menuangkan sedikit bubur kacang hijau dan mulai menikmatinya.
“Enak”. ucapnya lirih.
Bu Nadin kembali menyuap bubur kacang hijau tersebut dengan lebih semangat. Entah mengapa ia merasa selera makannya bangkit seketika. Kali ini ia menambah isi mangkuknya yang tadi hanya terisi separo menjadi penuh.
Rasa manis dari gula aren di padukan dengan daun pandan, yang bercampur dengan aroma jahe serta gurihnya santan yang kental sangat menggiurkan siapapun yang mencium aromanya.
Terlebih lembutnya kacang hijau yang sangat pas membuat Bu Nadin ketagihan dan ingin menambah porsi makannya lagi dan lagi.
Jingga tersenyum puas melihat Mama mertuanya dapat mengembalikan nafsu makan mertuanya.
“Jingga apa kegiatan kamu hari ini nak”. Di sela-sela sarapan itu Pak Angga bertanya.
“Tidak ada Pa Jingga libur, saat hari jumat”.
Pak Angga tersenyum puas mendengar jawaban Jingga. Setidaknya ada orang yang dapat di andalkan di rumah untuk menjaga Bu Nadin saat ia dan Fajar sedang bekerja di luar.
“Susi, nanti siang aku mau menu makannya bubur kacang hijau seperti ini saja”. Perintah Bu Nadin memanggil pelayan rumahnya.
“Nona Jingga, Nyonya yang membuatnya”.
Glek wajah Bu Nadin seketika tampak pias.
“Biar Jingga masak buat makan siang Mama nanti”. Imbuhnya dengan menunjukan wajah yang teduh dan ramah pada semua.
“Untuk sementara waktu, kalian berdua tinggal di sini saja dulu sampai Mama benar-benar sehat”. Perintah dari Pak Angga pada Fajar pagi itu.
Tak ingin membuat keributan dan juga menambah beban pikiran Mamanya, Fajar mengalah dengan menuruti perintah Papanya.
.
.
.
.
.
Jangan lupa like, komen dan subscribe ya teman-teman. vote juga 😊