Amara adalah seorang wanita muda yang bekerja di sebuah kafe kecil dan bertemu dengan Adrian, seorang pria sukses yang sudah menikah. Meski Adrian memiliki pernikahan yang tampak bahagia, ia mulai merasakan ketertarikan yang kuat pada Amara. Sementara itu, Bima, teman dekat Adrian, selalu ada untuk mendukung Adrian, namun tidak tahu mengenai perasaan yang berkembang antara Adrian dan Amara.
Di tengah dilema cinta dan tanggung jawab, Amara dan Adrian terjebak dalam perasaan yang sulit diungkapkan. Keputusan yang mereka buat akan mengubah hidup mereka selamanya, dan berpotensi menghancurkan hubungan mereka dengan Bima. Dalam kisah ini, ketiganya harus menghadapi perasaan yang saling bertautan dan mencari tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan dalam hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cocopa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan Yang Kiat Menghimpit
Malam itu, suasana di rumah Amara dan Bima begitu sunyi. Langit di luar gelap, dan hujan rintik-rintik mengiringi ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka. Amara duduk di sofa ruang tamu, menggenggam cangkir teh yang sudah dingin. Pikirannya berputar, berusaha memahami apa yang salah dan bagaimana semuanya bisa sampai ke titik ini.
Bima akhirnya muncul dari kamar, wajahnya datar namun matanya menyiratkan emosi yang sulit ditebak. Ia membawa sebuah dokumen di tangannya dan meletakkannya di meja di depan Amara.
“Kita perlu bicara,” ujarnya, suaranya dingin dan tenang.
Amara mengangguk, meski dadanya berdegup kencang. Ia tahu momen ini tak terhindarkan, tapi tetap saja, menghadapi Bima dengan perasaan yang begitu campur aduk membuatnya gugup.
“Adrian,” kata Bima, langsung ke inti permasalahan. “Apa sebenarnya yang dia mau dari kamu?”
Amara terdiam sejenak. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba mencari jawaban yang tepat tanpa membuat situasi semakin buruk. “Dia nggak mau apa-apa, Bima. Dia cuma teman—”
“Teman? Teman macam apa yang datang hampir setiap hari ke kafe tempat istri orang bekerja? Teman macam apa yang ngirim pesan sepanjang waktu?” potong Bima, suaranya mulai meninggi.
Amara menunduk, merasa malu sekaligus kesal. “Aku udah bilang sama dia, Bima. Aku udah bilang kalau aku istri kamu. Dia ngerti, dan dia nggak akan... dia nggak akan ngelangkahin batas.”
Bima mendengus sinis, lalu melemparkan pandangannya ke arah jendela. “Tapi kenyataannya, dia masih di sana, di sekitar kamu. Dan aku nggak bisa terima itu, Amara.”
Hening kembali menyelimuti ruangan. Amara tahu, dalam situasi ini, kata-kata saja tidak cukup untuk meyakinkan Bima. Namun, bagaimana ia bisa membuktikan bahwa perasaannya pada Adrian hanyalah kebingungan sesaat?
“Bima, aku nggak pernah berhenti mencintai kamu,” ucap Amara akhirnya, matanya berkaca-kaca. “Aku tahu, mungkin aku salah karena membiarkan Adrian terlalu dekat. Tapi aku nggak pernah berpikir buat ninggalin kamu atau keluarga kita.”
Kata-kata Amara sedikit melunakkan ekspresi Bima. Ia menghela napas panjang, lalu duduk di sofa di sebelah Amara. “Aku percaya kamu, Amara. Tapi kehadiran dia bikin semuanya terasa salah. Aku nggak tahu gimana caranya kita bisa jalan terus kalau dia masih ada di sekitar kamu.”
Amara terdiam. Ia tahu, Bima benar. Bagaimanapun, hubungan mereka tidak akan pernah benar-benar pulih jika Adrian terus menjadi bayangan di antara mereka.
---
Di sisi lain, Adrian duduk di mejanya, di apartemennya yang sepi. Pikirannya terus kembali pada Amara. Ia tahu apa yang ia rasakan salah, tapi ia tidak bisa mengendalikannya. Setiap senyum Amara, setiap percakapan singkat yang mereka miliki di kafe, seolah menyalakan kembali sesuatu yang telah lama mati dalam dirinya.
Ponselnya berbunyi, dan nama Satria muncul di layar. Dengan enggan, Adrian menjawab.
“Adrian, gue harus kasih tahu sesuatu,” suara Satria terdengar serius.
“Apa lagi sekarang?” Adrian memijat pelipisnya, merasa lelah dengan semua masalah yang menghampirinya.
“Bima udah mulai nyari tahu soal lo. Gue rasa dia nggak akan berhenti sampai dia punya alasan kuat buat ngehadapi lo secara langsung.”
Adrian menghela napas. “Dia udah ngelakuin itu. Gue ketemu dia di kafe tadi.”
Satria terdiam sejenak, lalu berkata, “Dengar, kalau lo terus terlibat sama Amara, ini nggak akan berakhir baik buat lo, atau buat dia. Lo harus bikin keputusan, Adrian.”
Adrian hanya mendengarkan, tidak merespons. Ia tahu Satria benar, tapi hatinya tidak ingin mendengar kebenaran itu.
---
Pagi berikutnya, Amara berdiri di depan cermin di kamar mandi, melihat bayangannya sendiri. Matanya tampak lelah, dengan lingkaran hitam di bawahnya yang menandakan malam tanpa tidur.
“Amara,” suara Bima terdengar dari luar.
Ia keluar dari kamar mandi dan menemukan Bima sudah siap untuk pergi kerja. “Aku akan coba bicara sama Adrian,” ujar Bima tanpa ekspresi.
Amara terkejut. “Bima, nggak usah—”
“Aku nggak bisa terus begini, Amara. Aku nggak bisa tenang kalau kita nggak selesaikan ini. Aku cuma mau dia ngerti batasannya.”
Amara tidak tahu harus berkata apa. Ia ingin menghentikan Bima, tapi ia juga tahu, mungkin ini adalah satu-satunya cara untuk menyelesaikan semuanya.
Dengan berat hati, ia mengangguk. “Tapi, tolong jangan buat semuanya jadi lebih buruk.”
Bima hanya mengangguk singkat sebelum pergi meninggalkan rumah. Amara menatap punggungnya yang menjauh, merasa seperti ada sesuatu yang besar akan terjadi, sesuatu yang mungkin tidak bisa ia kendalikan. Ia tahu, pertemuan antara suaminya dan Adrian adalah momen yang akan mengubah segalanya—entah ke arah yang lebih baik, atau malah menghancurkan semua yang telah ia coba pertahankan. Di dalam hati kecilnya, Amara berharap masih ada ruang untuk cinta dan maaf di tengah semua kekacauan ini, tapi ia juga sadar, harapan itu semakin tipis.
Setelah pintu tertutup, Amara tetap berdiri di tempatnya. Suara hujan yang mengguyur di luar rumah terdengar samar-samar, menyatu dengan debaran jantungnya yang semakin keras. Ia ingin percaya bahwa Bima mampu menyelesaikan semuanya dengan kepala dingin, tapi ia juga tahu suaminya bukan tipe pria yang akan mundur begitu saja, terutama jika menyangkut harga dirinya.
Ia duduk di sofa ruang tamu, tangannya gemetar saat mencoba menyesap teh yang sejak tadi sudah dingin. Pikirannya melayang ke berbagai kemungkinan buruk. Bagaimana jika Adrian terpancing? Bagaimana jika Bima kehilangan kendali? Ia tidak bisa membayangkan salah satu dari mereka terluka, baik secara fisik maupun emosional.
Amara memutuskan untuk menghubungi Adrian. Tangannya ragu saat mengetik pesan, tapi ia tahu ini perlu dilakukan. “Adrian, hati-hati kalau ketemu Bima. Aku nggak tahu apa yang akan dia katakan, tapi aku harap kamu nggak memperkeruh keadaan.”
Pesan itu terkirim, tapi tidak ada balasan. Amara merasa semakin gelisah. Ia ingin menelepon Adrian, tapi takut itu hanya akan memperburuk keadaan.
Sementara itu, di sisi lain kota, Bima sudah tiba di depan kafe tempat Amara bekerja. Hujan deras membuat jalanan basah, tapi langkahnya tetap tegas. Ia masuk ke dalam kafe dengan pandangan lurus ke arah meja tempat Adrian biasa duduk. Namun, kali ini, meja itu kosong.
“Masih hujan, Pak. Mau pesan sesuatu dulu?” tanya salah satu pelayan dengan ramah.
Bima menggeleng tanpa mengatakan apa-apa. Ia duduk di pojok kafe, tatapannya menyisir ruangan, berharap melihat pria yang selama ini menjadi duri dalam rumah tangganya.
Namun, Adrian tidak muncul.
Di apartemennya, Adrian menatap layar ponselnya yang menyala, memperlihatkan pesan dari Amara. Ia membaca kalimat itu berulang kali, mencoba memahami apa yang seharusnya ia lakukan. Ia tahu, satu langkah salah bisa membuat situasi semakin kacau.
Tapi, di sisi lain, Adrian sudah lelah terus menjadi orang yang berusaha menjaga jarak. Ia ingin Amara tahu perasaannya, meskipun ia tahu itu salah. Mungkin, ia hanya perlu berbicara jujur pada Bima—mengakhiri semua keraguan, semua kesalahpahaman.
Dengan berat hati, Adrian akhirnya memutuskan untuk menemui Bima. Ia mengambil mantel hitamnya, meraih kunci mobil, dan meninggalkan apartemennya. Di tengah perjalanan, ia terus memikirkan bagaimana ia akan menyampaikan semuanya, meskipun tidak yakin ada cara yang benar untuk melakukan hal itu.
Di rumah, Amara terus menunggu. Setiap detik terasa begitu lama, dan setiap suara hujan terdengar seperti ketukan di pintu yang tidak pernah datang. Ia hanya bisa berdoa dalam hati, berharap dua pria yang ia pedulikan ini tidak saling menyakiti.