Nadia, seorang gadis desa, diperkosa oleh seorang pria misterius saat hendak membeli lilin. Hancur oleh kejadian itu, ia memutuskan untuk merantau ke kota dan mencoba melupakan trauma tersebut.
Namun, hidupnya berubah drastis ketika ia dituduh mencuri oleh seorang CEO terkenal dan ditawan di rumahnya. Tanpa disangka, CEO itu ternyata adalah pria yang memperkosanya dulu. Terobsesi dengan Karin, sang CEO tidak berniat melepaskannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cecee Sarah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sembilan
Saat roti itu melayang keluar dari tangannya, Nadia hanya bisa terperangah melihatnya. Dia menahan napas, mengikuti arah roti itu bergerak, hingga akhirnya... plak! Roti itu mendarat dengan sempurna tepat di wajah tampan Samuel, meninggalkan noda kecil pada pipinya sebelum akhirnya jatuh ke meja.
Wajah Samuel langsung berubah gelap, garis rahangnya menegang. Sepasang mata hitamnya yang pekat, yang sekarang penuh dengan kilatan kemarahan, menatap langsung ke arah Nadia, seakan hendak menelanjangii niatnya.
Nadia harus mengakui, saat marah, Samuel benar-benar menakutkan.
Aura gelap seakan mengelilinginya, membuat wajahnya yang tampan berubah seperti sosok jahat yang mengintimidasi siapa pun di sekitarnya. Nadia tak berani menatap matanya langsung; rasa takut merayap di hatinya.
Dengan tatapan tajam, Samuel berkata, "Apa aku terlalu baik padamu?"
Suaranya dalam dan berbahaya, seperti datang dari kegelapan yang mengancam. Nadia merasa panik mendengar kata-katanya, meskipun ia tak pernah benar-benar kasar atau menyiksanya, ia tahu Samuel adalah sosok yang kuat dan disegani.
Seperti kata pepatah, jangan ganggu harimau yang sedang tidur. Baru saja, Nadia tidak sengaja melempar wajah Samuel dengan roti, dan ia tahu kesalahannya ini mungkin lebih buruk dari sekadar membangunkan harimau.
Di depannya, Samuel melanjutkan dengan suara rendah, "Semua 'tamu' yang berani macam-macam denganku biasanya berakhir di sana!" katanya sambil melirik ke arah jendela yang mengarah ke halaman luar. Nadia melihat sebuah kandang besi di sana, cukup besar untuk memuat seseorang. Apakah dia berniat memasukkannya ke dalam kandang anjing itu?
Rasa takut mengisi mata Nadia. Tangannya bergetar saat memegang sendok dan garpu, merasa dihina dan direndahkan. Namun, ia berusaha kuat, meskipun hampir menangis.
Melihat bulu mata Nadia yang bergetar dan bibirnya yang mengepal menahan takut, sesuatu dalam hati Samuel tergerak. Ia sebenarnya hanya bermaksud menakutinya, tak benar-benar berniat menyiksanya. Ia tahu bahwa memaksa gadis selemah ini akan melukai harga dirinya sendiri.
Namun, melihat reaksi Nadia membuat Samuel menyadari betapa lemahnya gadis itu. Ia menyimpan keinginannya untuk menakutinya lebih jauh, menyadari kalau ia telah terlalu keras.
Dengan bibir yang sedikit tertarik, Samuel melihat Nadia menundukkan kepala, enggan menatapnya.
Beberapa saat kemudian, Samuel berdiri, mengambil mantel dari rak. Randy segera mendekat untuk memberikan tas kerjanya. "Tuan Samuel, pekerjaan Anda hari ini sudah siap," katanya.
Samuel mengangguk singkat. "Terima kasih," ujarnya sambil melangkah keluar pintu depan menuju mobil yang sudah menunggu di luar.
Setelah kepergian Samuel, Randy duduk di dekat Nadia, yang masih memaksakan diri untuk menghabiskan makanannya. Melihat Randy, Nadia buru-buru berkata, "Aku akan segera menyelesaikannya, Randy. Kamu tidak perlu menunggu, aku bisa membawa ini ke dapur dan membersihkannya sendiri."
Randy tersenyum tipis dan berkata, "Pelan-pelan saja, Nona Nadia. Jangan sampai tersedak."
Nadia akhirnya memperlambat makannya. Randy lalu berkata dengan nada menenangkan, "Tuan Samuel hanya bercanda tentang kandang itu. Sebenarnya, itu kandang untuk anjing peliharaannya, Beta. Dia hanya menguncinya di sana kalau Beta membuat masalah."
Randy ingin memastikan Nadia mengerti bahwa Samuel tidak seburuk yang dia bayangkan. "Meskipun dia tampak tegas, dia sebenarnya orang baik. Tuan Samuel bahkan khawatir karena Anda tidak makan banyak kemarin."
Randy secara tak sengaja mendengar percakapan antara Samuel dan Nadia tadi.
Sebagai seseorang yang telah melayani Tuan Samuel selama lebih dari satu dekade, Randy tahu lebih banyak tentang pria itu dibandingkan orang lain.
Ketika dia melihat mata Nadia yang memerah dan punggungnya yang merosot saat makan dengan diam-diam, ada rasa simpati yang muncul di hatinya. Gadis itu tampak begitu rapuh, dan pemandangan itu menggugah sisi lembut Randy.
Dengan hati-hati, Randy mencoba menenangkan Nadia. Dia menceritakan hal-hal yang bisa meredakan kekhawatiran dan ketakutannya, sekaligus berusaha mengurangi kesalahpahaman Nadia terhadap Samuel.
Samuel, bagaimanapun, adalah pria yang sangat sombong. Meski Randy tahu hati majikannya sedikit melunak terhadap Nadia, Samuel tetap menjaga sikap dingin dan menjaga jarak.
Bahkan ketika Samuel sebenarnya khawatir dengan kondisi Nadia, seperti kesehatannya dan pola makannya, dia tetap memilih untuk terlihat tak peduli.
Nadia tak bisa menahan rasa bingung dan sedikit terhibur oleh sikap lembut Randy. Dalam situasi yang tampak penuh bahaya, pria tua ini terasa seperti satu-satunya sumber ketenangan. "Terima kasih, Randy," katanya dengan senyum samar, walaupun masih ada keraguan besar di hatinya.
Setelah percakapan singkat itu, Randy mengizinkannya berjalan-jalan di taman vila yang luas. Ini pertama kalinya Nadia menghirup udara segar sejak ia “diundang” oleh Samuel untuk tinggal sementara di tempat ini. Dia menikmati sinar matahari yang menyentuh kulitnya, merasa sedikit lega dari tekanan yang melingkupinya. Dia bahkan mulai melakukan latihan kecil, peregangan yang dia pelajari di butik, agar badannya tak kaku.
Namun, Nadia tidak hanya berjemur di bawah sinar matahari; dia juga mengamati. Dia melihat penjaga-penjaga di pintu utama, memerhatikan tembok tinggi di sekeliling vila, dan kamera yang terpasang di setiap sudut. Harapannya untuk kabur menjadi tipis; ke mana pun ia memandang, pengawalan ketat sudah menanti.
Di lain sisi, Randy yang mengawasinya dari balik jendela merasa iba. Vila ini terasa berbeda sejak kehadiran Nadia. Kehadirannya membawa nuansa baru di tengah dominasi laki-laki yang bekerja di sana. Tiba-tiba, terlintas di pikirannya, mungkin sudah waktunya ada seorang perempuan yang memegang hati Tuan Sebastian, dan siapa tahu, mungkin Nadia-lah orangnya.
Ketika malam tiba, Nadia tak bisa diam saja. Meskipun Randy sudah mengingatkannya untuk tidak bertindak ceroboh, rasa penasarannya membuatnya ingin memeriksa gerbang vila lagi. Saat semua penjaga tampak lengah, ia berjalan mendekat dengan penuh hati-hati, mengira mungkin inilah kesempatan emasnya. Namun, belum juga mendekati gerbang, salah satu penjaga meneriakinya dengan nada keras, membuatnya berhenti seketika.
"Tolong kembali, Nona," suara tegas penjaga itu membuat Nadia menyerah. Dia pun kembali dengan enggan, meski rasa frustrasi mulai menumpuk di dalam hatinya. Di tengah situasi yang penuh tekanan, nyamuk-nyamuk di malam hari bahkan tak memberikan keringanan; mereka terus-menerus menggigitnya sepanjang jalan kembali ke vila.
Beberapa saat kemudian, suasana vila sedikit berubah saat limusin hitam berkilau memasuki halaman. Dari dalam mobil, keluar Samuel, pria yang telah membuatnya merasa seperti berada di dalam sangkar mewah ini. Tepat saat dia melangkahkan kakinya yang panjang keluar dari mobil, salah satu anak buahnya melapor.
"Tuan Sebastian, pencurinya sudah ditangkap dan barang-barang curian telah ditemukan. Setelah diinterogasi, pencuri itu mengakui bahwa Nona Nadia bukan bagian dari komplotan mereka."
"Oke," Samuel menjawab singkat, tatapannya tak mengendur. Tanpa menoleh lagi, dia melangkah masuk ke vila.
Sementara itu, Nadia yang mendengar suara langkah kakinya mendekat dengan cepat mencari cara untuk menghindar. Dia kembali ke kamarnya, berusaha tenang, tetapi ketegangan tak bisa disembunyikan. Suara televisi yang masih menyala memperlihatkan acara hiburan yang Randy tunjukkan padanya untuk mengisi waktu.
Namun, ia tidak cukup cepat. Samuel sudah melihatnya.
"Berhenti!" suara Samuel terdengar jelas dan tegas, menghentikan langkah Nadia yang hendak kabur ke kamarnya.
Saat Nadia mendengar suara Samuel memanggilnya, tubuhnya otomatis menegang. Dalam hatinya, dia bertanya-tanya apakah Samuel adalah iblis yang terus menghantuinya. Mengapa pria itu selalu membuatnya merasa terpojok? Bahkan saat ini, ia memakai sandal secara terbalik karena terlalu tergesa-gesa untuk menjauh darinya.
Saat menyadari kekacauan itu, ia merasa kesal pada dirinya sendiri. Betapa memalukannya! Namun, sebelum ia bisa memperbaiki sandal atau melangkah lebih jauh, suara Samuel terdengar lagi, semakin mendekat, dan membuatnya terpaksa berhenti. Ia menoleh pelan, dengan kepala tetap menunduk, menghindari tatapan langsung pria itu.
Wajah cantiknya memancarkan ketidakpuasan yang jelas, seperti memberi isyarat bahwa ia tidak senang bertemu dengannya. Samuel melihatnya sejenak, tersenyum samar, tetapi tatapannya tetap dalam dan menusuk. "Ke mana kau pergi?" tanyanya dengan suara rendah dan tajam.
Nadia menelan ludah, tak tahu harus menjawab apa. Tanpa berkata-kata, Samuel menjulurkan tangannya ke arah dagu Nadia, memaksanya menatap langsung ke matanya. Dengan senyum yang sulit ditebak, ia terus menatapnya, memiringkan kepalanya sedikit, seolah menikmati ketidaknyamanan Nadia.
"Aku… aku hanya ingin kembali ke kamarku untuk beristirahat," jawab Nadia ragu-ragu, berusaha mencari alasan untuk melepaskan diri.
Samuel menatapnya dengan tenang, lalu berkata, "Kau belum mandi?"
Nadia bingung mengapa Samuel menanyakan hal itu, tapi ia menjawab, "Aku… akan mandi nanti."
"Tepat sekali, aku juga ingin mandi. Kenapa kita tidak mandi bersama saja?" ujarnya dengan nada santai, seolah mengusulkan hal biasa.
Wajah Nadia langsung memerah, terkejut dengan tawaran tak terduga itu. Dalam hatinya, ia tahu bahwa Samuel sedang menghukumnya secara halus, mungkin karena ia berusaha menghindarinya tadi. Dengan canggung, ia akhirnya berkata, "Aku… aku tidak mengantuk lagi."
Senyum kemenangan muncul di wajah Samuel, lalu ia melepaskan dagu Nadia. "Baiklah, kalau begitu ambilkan aku secangkir kopi," perintahnya sembari melepas jas dan menyerahkannya pada Randy, asistennya. Nadia diam-diam menelan kepahitan, merasa seperti dipermainkan.
Apakah ia pelayan Samuel sekarang? Di mana martabatnya? Namun, di dalam hatinya, ia sadar bahwa menolak permintaan itu hanya akan memperumit keadaan. Maka, dengan langkah setengah enggan, ia menuju bar di sudut ruangan, menuangkan secangkir kopi panas untuk Samuel.
Tiba-tiba, ide nakal melintas di benaknya. Ia ingin membalas dendam. Tanpa ragu, ia menambahkan sesuatu ke dalam kopi itu—sedikit air liurnya. Ia tersenyum tipis, merasa lega. Ini memang balas dendam kecil yang tidak berarti, tapi setidaknya ia mendapatkan sedikit kepuasan.
Nadia kembali dengan secangkir kopi di tangannya, memberikannya kepada Samuel dengan sikap patuh. Samuel menerimanya tanpa curiga, meniup kopi panas itu, lalu mendekatkan cangkir ke bibirnya untuk menyesap.
Namun, seiring berjalannya detik-detik, hati nurani Nadia mulai tersiksa. Ia merasa bersalah, meskipun ini hanya balas dendam kecil. Apakah ini benar-benar jalan yang ia inginkan? Ia sadar bahwa tingkahnya tidak dewasa, apalagi sebagai seorang wanita yang berusaha kuat dan mandiri. Tanpa berpikir panjang, ia segera mencoba meraih cangkir kopi itu.