Tidak ada gadis yang mau menikah dengan lelaki beristri, apalagi dalam keterpaksaan ibu tiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Arip, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 Iri hati. Lani.
Setelah sampai di rumah, raut wajah Sarla memperlihatkan ketidak senangan, ia seperti mendapatkan sesuatu yang begitu menyedihkan dalam hidupnya.
"Kak Sarla." panggil Lilia, tersenyum seraya meraih tangan kakaknya. " Kakak, kenapa lemas begitu."
Sarla menatap ke arah anak berumur sembilan tahun," Kak Sarla cape banget."
Lilia sang adik menawarkan sebuah pijatan untuk kakaknya," Gimana kalau Lilia pijat."
Mendengar perkataan Lilia, membuat Sarla tersenyum dari kesedihnya. Ia menjawab," boleh."
Sarla mulai mengajak adiknya itu masuk ke dalam kamar, sedangkan Lani hanya menatap dari kejauhan kebahagian ketika bersama sang kakak. Memegang dadanya sendiri, Lani kini menitihkan air mata, ia juga ingin merasakan keakraban bersama seorang kakak.
Mengusap kasar wajah, Lani. Kini dikejutkan dengan sosok sang ibu yang tiba tiba muncul di depan mata.
"Sedang apa kamu disini Lani?" Sontak anak berumur delapan tahun yang duduk di kursi roda itu terkejut, akan kedatangan sang mama.
"Ma-ma, sedang apa di sini!?" Lani malah bertanya balik membuat sang mama kini berkata," Loh, jelas mama nanya sama kamu. kamu malah nanya balik."
Lani menggaruk belakang kepalanya yang tak terasa gatal, ia kini berpura pura tak melihat kebahagian Lilia dan Sarla, yang membuat hati Lani sakit.
Bu Dera penasaran, dengan tingkah Lani. Hingga kedua matanya tertuju pada Sarla dan Lilia tengah bercanda gurau.
"Apa kamu bersedih karena mereka Lani, coba katakan pada mama?"
"Tidak, mam." Lani tak mau memperdebat masalah yang kini berada dihadapi.
"Jangan bohong kamu sayang," ucap Bu Dera penuh penekanan, berharap jika anaknya mengatakan kesedihan yang terlihat jelas dari raut wajah Lani.
kedua tangan Bu Dera, mencekram dagu Lani, mengusap pelan air mata, yang ternyata dari tadi sudah mengalir.
Lani menghempaskan tangan sang mama, ia mulai pergi dari hadapan Dera, menjalankan kursi roda.
"Lani, kamu inu kenapa?" Teriak sang mama, diabaikan anaknya begitu saja. Dera menggelangkan kepala, berdecak kesal dengan tingkah anaknya yang selalu seperti itu.
Dera mencari sumber kenapa anaknya sepert itu, hingga dimana. Sarla dan Lilia keluar dari dalam kamar, mereka tertawa riang. Memperlihatkan bertapa lucunya apa yang mereka bahas.
"Mm, kayanya ini sumber masalah. Kenapa mood Lani jadi tak bagus." Gumam Dera, berkacak pinggang, melihat kebahagian kedua anak tirinya.
Dera kesal, ia melangkahkan kaki, mendekat. Tangan kanan memutarkan telinga Lilia tiba tiba saja." Akh, sakit." Rengek Lilia, merasakan sakit pada telinganya. Dera tak segan segan memutar telinga itu, terus menerus, sampai sang pemiliknya menangis.
"Enak, rasakan ini. Siapa suruh bikin Lani menangis, semua pasti ulah kamu, Lilia," hardik sang mama tiri. Membuat Sarla mengertukan dahi dan menimpal." Mama ini apa apaan sih, Lilia tak punya salah apa apa langsung mama jewer, mama ini keterlaluan ya."
Dera menatap Sarla dengan tatapan kesalnya," Alah sudahlah, ini pantas buat anak nakal seperti Lilia."
Wanita tua itu pergi berjalan begitu cepat, hingga rasa kesal menggunung di hati Lilia. " Awas saja kamu nenek sihir, kubalas perbuatan kamu." Guman hati Lilia.
Sarla berusaha menenangkan hati Lilia, merangkul bahunya dan berkata." kamu harus tenang ya."
"Iya kak, Lilia sudah biasa sama nenek sihir itu."
Dreet ....
Suara ponsel tiba tiba saja begetar, Sarla mulai merogoh saku celananya. Melihat siapa yang menelepon, ia perlahan mengeser gambar berwarna hijau, menganggkat panggilan telepon." Halo, Natasya."
"Sarla, bagaimana ke adaanmu sekarang?" tanya Natasya berusaha peduli. Padahal dalam hatinya amat benci.
"Sedang tidak baik baik saja, kamu tahu aku akan menikah akhir bulan, benar benar hal yang sangat buruk bagiku!" jawab Sarla, meluapkan segala kekesalannnya.
"Bagus dong, " ucap Natasya tak sengaja.
"Maksud kamu?" tanya Sarla setelah mendengar perkataan Natasya.
Natasya berusaha tetap tenang, ia sudah salah melontarkan perkataan yang tak seharusnya dikatakan. " Maks-ud a-k-u. Kok bisa, bukannya kamu menolak."
"Mana bisa aku menolak perjodohan itu, kamu tahu sendirikan, kedua orang tuaku malah menekanku," Keluh Sarla. Natasya hanya bisa mendengarkan, berpura pura mempelihatkan kepeduliannya.
"Maafkan aku ya Sarla, aku tidak bisa bantu kamu," ungkap Natasya penuh kebohongan." Aku kan sudah bilang perusahaan papaku sedang tidak baik baik saja." ucap Natasya kembali, membuat raut wajah Sarla semakin bersedih.
Hanya karena seorang lelaki Natasya tega berbuat seperti itu pada sahabatnya dari kecil.
"Hah, sudahlah tak apa. Mungkin ini sudah jadi nasibku." Keluh Sarla, seperti tak bersemangat.
"Aku turut perihatin, semoga saja kamu baik baik saja menjalani pernikahan," doa dari Natasya untuk sang sahabat.
Sarla hanya menghelap napas kasar, meraskan rasa sesak, dan berkata." Terima kasih Natasya."
Panggilan telepon dimatikan sebelah pihak, terlihat raut wajah sedih masih dipancarkan Sarla, ia hanya bisa pasra.
"Kak Sarla, baik baik saja kan."
Sarla lupa jika di sampingnya ada sang adik, ia mulai mempelihatkan senyumannya kembali, memegang dagu Lilia dan menjawab." Kakak baik baik saja kok. "
Suara panggilan sang papa terdengar nyaring, "Sarla, Lilia. Ayo makan."
"Ya pah, ayo makan papah sudah manggil."
Mereka berdua mulai pergi ke meja makan, sosok pembantu benama Inem sudah mempersiapkan hidangan di atas meja, terlihat menggugah selera. Lani ternyata sudah ada, Lilia yang melihatnya mendekat, sedikit menyenggol kursi rodannya.
Sontak Lani terkejut dengan perlakuan Lilia, ia hanya bisa diam dan menundukkan wajah, tak berani mengadu.
Sorot mata tajam diperlihatkan oleh Lilia untuk Lani, " Dasar tukang ngadu."
Deg ....
Sontak perkataan Lilia membuat Lani mengangkat kepalanya, melihat pada Lilia.
"Apa lihat lihat, mau ngadu lagi," bentak pelan Lilia pada Lani. Anak yang duduk di kursi roda itu berusah menahan tangis, dimana Sarla menyadari keributan kedua adiknya berpura pura batuk.
Huuk .... Huuk. Kedua mata adik adiknya, menatap ke arah Sarla, mereka terkejut dan kini berpisah tak berdekatan seperti tadi.
Suasana meja makan masih terasa sepi, Dera belum juga datang, membuat Sarla bertanya.
" Ke mana, mama pah?" Pertanyaan Sarla, membuat sang papa mengangkat kedua bahunya.
Sampai dimana sosok seorang wanita datang memakai hijab, Gunawan terkejut melihat penampilan istrinya. " Itu mama." Telunjuk tangan dilayangkan Lilia, dimana semua mata membulat terkejut akan penampilan sang mama.
Gunawan tiba tiba tersedak, ia meraih air minum. Menghabiskan satu gelas.
Dera datang menampilkan senyuman, terlihat wajah berseri dan gigi ompongnya. Membuat Gunawan menahan tawa. Sarla melanjutkan suapan makananya, sembari menahan tawa.
"Gimana penampilan mama?" tanya wanita tua itu pada suaminya. Gunawan melihat pada anak anaknya, seakan ingin di beri pencerahan.
Dera menepuk bahu suaminya dan bertanya lagi?" Papah ini gimana sih, katanya mau istrinya berhijab. Di tanya penampilan mama bagus enggak diam saja."
Sarla menggelengkan kepala, padahal memakai busana muslim dan berhijab itu, bukan sebuah ajang dan penampilan untuk di nilai bagus apa enggaknya. Memakai hijab itu sama seperti mengugurkan dosa sedikit demi sedikit karena menutup aurat dari pandangan kedua mata laki laki.
Sarla angkat bicara menilai busana muslim sang mama." Busana muslim dan cara berhijab mama tidak bagus. Tidak mencermin mama menutup aurat."
Deg ....
Dera menatap pada anak tirinya." Maksud kamu."