Di tengah gelapnya kota, Adira dan Ricardo dipertemukan oleh takdir yang pahit.
Ricardo, pria dengan masa lalu penuh luka dan mata biru sedingin es, tak pernah percaya lagi pada cinta setelah ditinggalkan oleh orang-orang yang seharusnya menyayanginya.
Sementara Adira, seorang wanita yang kehilangan harapan, berusaha mencari arti baru dalam hidupnya.
Mereka berdua berjuang melewati masa lalu yang penuh derita, namun di setiap persimpangan yang mereka temui, ada api gairah yang tak bisa diabaikan.
Bisakah cinta menyembuhkan luka-luka terdalam mereka? Atau justru membawa mereka lebih jauh ke dalam kegelapan?
Ketika jalan hidup penuh luka bertemu dengan gairah yang tak terhindarkan, hanya waktu yang bisa menjawab.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Selina Navy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17
....
"Apa kau masih ingat wajah ibumu? Apa ibumu mirip aku?" Adira bertanya, penasaran.
"Tidak, " jawab Ricardo cepat.
"Kalian sama sekali tak mirip." Ricardo menghembuskan nafas gusar,
"Kalau kau mirip ibuku, aku tak kan perduli padamu." jawab Ricardo pelan. Ia menatap wajah Adira lekat-lekat.
"Aku akan biarkan kau dijual, aku benci ibuku." ucap Ricardo dengan nada yang tajam.
Kata-kata itu membuat Adira merasa semakin menyesal telah bertanya. Ia memukul kepalanya sendiri, merasa bodoh karena menyinggung topik yang begitu menyakitkan.
"Ais.. Adira bodoh! Kenapa gak berpikir lebih dulu?" gumamnya dalam hati,
Sementara Ricardo hanya memperhatikan reaksi Adira dengan rasa bersalahnya, mencoba memahami alasan di balik pertanyaan Adira.
"Sebenarnya kenapa?," tanya Ricardo dengan hangat, tangannya menyelipkan rambut yang menghalangi wajah Adira ke telinganya.
"Ha?," ucap Adira.
"Kenapa tiba-tiba ingin tau tentang ku?," tanya Ricardo meminta penjelasan.
"Bu, bukan apa-apa kok, " jawab Adira.
Sejenak keduanya pun diam. Adira lalu mengubah posisi duduknya, mengarahkan tubuhnya ke arah Ricardo dan duduk bersila.
Karna Adira masih penasaran tentang wajah wanita di sketsa itu, ia memutuskan untuk bertanya lagi.
"Bagaimana dengan wanita? Apa dulu kau punya kekasih? Oh! Atau sekarang kau punya?" tanya Adira dengan penuh rasa ingin tahu.
Ricardo semakin bingung, alisnya mengkerut.
"Kau tak kan percaya kan, jika aku jawab kalau aku belum pernah menyentuh wanita," jawab Ricardo menatap Adira serius.
"Sampai saat ini, kau adalah satu-satunya wanita yang bisa ada di dekatku."
Kata-kata itu mengguncang perasaan Adira.
Sedikit tak percaya mengingat kehidupan mafia pasti tak jauh dari wanita penghibur.
"Sungguh?" tanyanya, tak percaya.
"Ya," Ricardo menjawab sambil mengangguk, matanya tak lepas dari tatapan Adira.
"Lantas..." Adira tiba-tiba terdiam, tidak melanjutkan perkataannya.
"Siapa wanita yang ada di sketsa itu? Wanita dengan rambut pendek itu bukan aku, kan?" ucap Adira hanya dalam hati.
Adira tak berani bertanya pada Ricardo tentang buku sketsa yang telah diam-diam dilihat nya. Adira takut sikapnya yang telah lancang memasuki ruangan pribadinya bisa merusak hubungan diantra mereka yang sudah semakin akrab ini.
"Apa kau masih mau bertanya lagi?," tanya Ricardo dengan nada hangat.
"Enggak," jawab Adira menggelengkan kepalanya.
"Kalau kau tak ingin bertanya lagi..." Ricardo menatap wajah Adira dan mengelus pipi kirinya dengan lembut.
"Apa aku boleh bertanya tentangmu?" lanjut Ricardo bertanya.
"Tentu." jawab Adira dengan hati yang berdebar karna sentuhan lembut di pipinya.
Ricardo menggeser duduknya lebih dekat lagi ke Adira,
"Siapa yang membuatmu begini?" tanya Ricardo dengan sedikit menunduk dan tatapan yang dalam.
"Ha?, " jawab Adira terkejut, tak mengerti maksud Ricardo.
"Kau terlihat sangat menutup diri dan kau juga punya panic attack." lanjut Ricardo.
"Oh," jawab Adira, mendengar pertanyaannya.
"Panic attack itu sejak tiga tahun lalu, karna ayahku meninggal. Aku...paling dekat dengan ayah ku." ucap Adira dengan suara yang mulai bergetar, menahan air mata yang hampir tumpah.
"Maaf," ucap Ricardo menyesal.
"Gak pa-pa..Harus nya aku sudah terbiasa. Tapi..Gak tau kenapa rasanya masih saja sakit, " ucap Adira dengan air mata yang mulai jatuh di pipinya.
Adira menunduk lebih dalam, menyembunyikan wajahnya di balik rambut panjangnya.
"Kata orang, seiring berjalannya waktu bakal bisa sembuh. Tapi kenapa aku masih saja merasa sakit," Adira terisak menangis.
Melihatnya dalam keadaan seperti itu, Ricardo merasakan hatinya tercabik. Dia menyesal telak bertanya,
"Adira.. " ucap Ricardo dengan nada hangat.
Ricardo lantas menegakkan badannya dan menarik kepala Adira yang tertunduk ke dalam pelukannya.
Dada yang bidang itu terasa hangat dan kokoh, Adira menjadi nyaman dan menangis sejadi-jadinya. Sudah sangat lama tak ada yang memeluknya seperti ini. Satu-satu nya pelukan yang dirasanya sepanjang hidupnya, adalah pelukan dari sang ayah. Adira jadi sangat merindukan ayah nya.
"Ricardo.. " ucap Adira menarik badannya dari pelukan Ricardo.
"Huummm?," jawab Ricardo dengan tangan nya yang mengapus air mata Adira lembut.
"Apa aku berlebihan?," tanya Adira.
"Tidak," jawab Ricardo sambil mengelus kepala Adira.
"Kehilangan seseorang yang dekat dengan kita memang semenyakitkan itu, hanya yang belum pernah merasa kehilangan saja yang bisa bilang ini berlebihan." jelas Ricardo dengan nada hangat.
"Sakit nya gak sembuh-sembuh... " ucap Adira sambil menangis lebih kencang lagi.
Ricardo kembali menarik Adira dalam pelukannya.
"Tak apa.. menangis lah.. " kata Ricardo sambil mengelus lembut belakang kepala Adira.
"Maaf...Karna pertanyaan ku, kau jadi teringat lagi.. " ucap Ricardo.
Hembusan napas Ricardo yang lembut menyapu rambut Adira. Adira memejamkan matanya, merasakan hangatnya pelukan itu yang menghapus rasa dingin dan sepi yang menyertai kesedihannya selama ini.
"Jadi... "
....
Bersambung...
(ehemmm/Shhh//Shy/)