Terdengar Musik yang terus di putar dengan kencang di sebuah bar hotel, disertai dengan banyaknya wanita cantik yang menikmati serta berjoget dengan riang. Malam yang penuh dengan kegembiraan, yang tak lain adalah sebuah pesta bujang seorang gadis yang akan segera menikah dengan pujaan hatinya. Ia bernama Dara Adrianna Fauza, gadis cantik dan manis, anak sulung seorang pengusaha sukses.
"Dar, gue ngak nyangka banget Lo bakalan nikah. Selamat ya bestie?" Ucap salah seorang gadis yang merupakan teman SMA dara.
"Iya. Makasih yah bestie. Gue doain semoga Lo cepet nyusul yah? Biar gantian, gue yang di undang." Ucap Dara sambil tersenyum.
Dara yang merasa haus pun segera mengambil sebuah jus untuk di minum, ia pun meminumnya.
Pesta terus berjalan dengan lancar, semua teman dara menikmati pesta dengan bahagia. Seketika dara yang sedang bersama dengan teman-temannya pun menjadi pusing. Mata menjadi sangat berat, pandangannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab
"Tidak ada masalah apapun, Tuan. Anda sebaiknya mengajak Nyonya Dara jalan-jalan ke tempat menyenangkan. Nyonya Dara pasti merasa suntuk di rumah terus-terusan," saran Faizal.
Brama bernapas lega sambil mengusap wajah dengan kedua telapak tangan.
"Tinggalkan kami," usir Brama.
Setelah Faizal keluar, Brama kembali bertanya.
"Apa yang terjadi? Kenapa kamu sampai menangis seperti ini? Kamu bisa mengatakan semuanya sama aku kalau kamu punya masalah. Apa Aleta atau kakaknya baru saja menghubungi kamu dan mengatakan sesuatu yang buruk?" Tanya Brama.
Dara menggeleng pelan, kemudian berbaring miring. Brama menarik pundak Dara agar menghadap ke arahnya. Dara segera menyentak tangan Brama dan memejamkan mata tanpa mau bicara apa pun.
"Aku akan mengambilkan buah-buahan kesukaan kamu." Ucap Brama mengusap lembut rambut Dara, kemudian keluar dari kamar.
Di sebuah ruangan besar, Brama mengumpulkan semua pelayan dan petugas keamanan di kediaman Pranaja. Semua orang berdiri menunduk dengan wajah tegang. Tak ada satupun yang berani membuka mulutnya.
Wajah Brama terlihat sangat murka. Dia berjalan mondar-mandir dengan lambat sambil menatap semua pelayan di barisan depan, sepuluh orang yang memiliki posisi lebih tinggi dari pelayanan lainnya.
"Istri saya baru saja menangis setelah saya meninggalkan dia hanya dua puluh menit. Saya tidak akan memaafkan dan melepaskan satu orang pun yang sudah berani membuat istri saya menangis." Ucap Brama terdengar sangat dingin.
"Siska, apa yang kamu lakukan sama majikan kamu? Kenapa kamu tidak menjaga istri saya sesuai dengan tugas kamu?" Tanya Brama berhenti di depan Siska.
Pelayan pribadi Dara itu menunduk semakin dalam hingga hanya dapat melihat sepatunya sendiri.
"Maafkan saya, Tuan. Tapi, Tuan Brama sendiri yang menyuruh kami keluar dari kamar Tuan dan tidak mengizinkan siapa pun lewat di depan pintu kamar Anda." Ucap Siska.
"Saya juga tahu itu! Tapi, bukan berarti kamu bisa lalai menjaga istri saya." Ucap Brama masih dalam keadaan emosi.
"T-tuan, mungkin Nyonya Dara bertemu dengan Tuan Aldo," sahut salah satu pelayan. Semua pelayan di rumah itu tahu jika mereka harus menyembunyikan pernikahan Brama dan Dara di depan semua orang, termasuk keluarga Pranaja yang lainnya.
"Apa? Aldo ke sini?" Tanya Brama.
"B-benar, Tuan. Saya tadi melihat Tuan Aldo sedang mencari Tuan dan Nyonya besar Pranaja." Ucap pelayan itu.
"Apa kamu yang meminta Aldo untuk datang ke kamar saya?"tanya Brama sembari mendekati pelayan itu dengan tatapan mengintimidasi.
"Tidak, Tuan! Saya hanya berpapasan dan melihat Tuan Aldo saja waktu melewati ruang tamu." Ucap pelayan itu.
Brama mengepalkan tangan sangat erat. Meskipun tak ada yang tahu kemana Aldo berkeliaran di kediaman Pranaja, Brama bisa segera tahu jika air mata Dara ditujukan pada keponakannya itu.
Dara sampai menangis sesenggukan karena pria lain, Brama tak dapat menerimanya!
Sekembalinya ke kamar, Brama langsung bertanya tanpa basa-basi.
"Apa yang dia katakan sampai membuat kamu menangis?" Tanya Brama.
Dara menduga, Brama baru saja mencari tahu alasan dirinya menangis. Pria itu mengatakan akan membawakan buah di tangannya. Akan tetapi, Brama kembali ke kamar hanya membawa sebuah pertanyaan.
"Brama pasti sudah tahu kalau Aldo datang ke sini?" Batin Dara.
Dara tak ingin memperpanjang masalah dengan memberitahu Brama tentang kata-kata kasar Aldo padanya. Namun, jika dia tak memberitahu apa yang telah dikatakan Aldo, Brama tak akan dapat mengantisipasi jika Aldo menuduh Brama telah tergoda oleh Dara.
Reputasi suaminya akan ternoda karena dianggap membawa dirinya pulang ke rumah. Lagi pula, tak ada gunanya menyembunyikan sesuatu di belakang seorang Brama Pranaja.
"Aldo mengira aku datang ke sini karena mencoba merayu kamu agar aku tidak dipecat dari Pranaja Group. Bukankah masalahnya sudah selesai? Kenapa Aldo mengira aku akan di pecat dari perusahaan Kamu?" Ujar Dara.
Brama diam-diam menghela nafas lega. Dara ternyata tidak menangisi keponakannya karena masih berharap padanya. Istri cantiknya itu menangis karena di sangka merayu dirinya.
Biarpun Brama merasa tenang oleh penjelasan Dara, dia tetap tak terima setelah tahu Aldo menjelek-jelekkan istrinya. Brama tak mau menunjukkan kemarahannya di depan Dara dan membuatnya khawatir. Dia akan bicara dengan Aldo nanti agar bersikap lebih sopan kepada Dara.
"Kamu tidak perlu menangis hanya karena masalah sepele. Aku akan mengatakan kepada Aldo kalau aku yang menyuruh kamu datang untuk menyelesaikan pekerjaan kantor di sini." Ucap Brama.
Bukannya tenang, Dara justru semakin sedih mendengar ucapan Brama yang sebenarnya berniat menghiburnya. Dara tak terhibur sedikit pun.
Sepele? Apakah perasaan Dara hanya sepele di mata Brama?
"Dia mengatakan kalau aku wanita murahan! Itu bukan masalah sepele untuk aku!" Pekik Dara tanpa sadar.
Dara dan Brama saling menatap dalam diam. Setelah melihat reaksi Brama ketika dia mengucapkan itu, Dara baru sadar telah salah bicara.
Otot-otot di leher Brama mulai terlihat, rahang tegasnya mengeras, dan sorot matanya semakin tajam memandang.
"Dia mengatakan apa? Kamu wanita murahan?" Tanya Brama lagi dengan raut wajah yang penuh dengan kemarahan.
"Astaga! Kenapa aku bisa keceplosan?" Batin Dara menyesal.
Brama menangkap dagu Dara dan menaikkannya sebelum Dara menunduk.
"Apa benar Aldo mengatai kamu sebagai wanita murahan?" Tanya Brama lagi dengan geram.
"T-tidak! Aku salah bicara." Ucap Dara berbohong.
Melihat mata indah itu tak dapat melihat lurus padanya, juga bibir mungil merah muda yang berkedut-kedut, Brama sangat yakin jika Dara tidak salah bicara.
Aldo sudah melewati batasnya dan Brama tak terima istrinya di sebut wanita murahan. Walaupun keponakannya sendiri, Brama akan memberi Aldo pelajaran!
"Aku ada urusan sebentar. Siska akan menemani kamu sampai aku pulang." Ucap Brama melepaskan dagu Dara, lalu berdiri.
Dara gegas menarik lengan Brama. Setiap kali ada suatu masalah, Brama pasti akan pergi untuk menyelesaikan urusannya.
Dara menduga jika Brama masih mempercayai ucapannya yang pertama. Brama bisa saja mendatangi Aldo sekarang.
Itu tidak boleh terjadi! Brama bisa kelepasan bicara kepada Aldo dan membongkar pernikahan mereka! Dara harus mencegah Brama bertemu dengan Aldo sekarang, bagaimana pun caranya!
"Ada apa lagi?" Tanya Brama dingin. Dalam benak Brama, hanya ada satu tujuannya, yaitu membungkam mulut Aldo dengan kepalan tangannya.
"T-tuan..." Ucap Dara reflek memanggil Brama dengan sebutan itu lagi karena merasa terintimidasi oleh tatapan tajam Brama.
"Maksud aku, suami aku. Aku ingin kamu menemani aku sekarang." Ucap Dara dengan suara yang terdengar sumbang dan bergetar.
Dara memejamkan mata karena sangat malu dengan kata-kata yang baru saja keluar dari mulutnya.
"Apa yang sudah aku katakan? Suami aku? Kenapa aku bisa mengatakan itu?" Batin Dara yang kian menyesal mengatakannya. Mendadak, Dara berharap jika Brama keluar saja dari kamar itu.
"Dia mungkin memang benar-benar punya urusan penting, dan bukan mau menemui Aldo. Kenapa dia masih disini? Cepat pergi!" Batin Dara yang hanya berani mengusir Brama dalam hati.
Pria itu sedang berdiri mematung. Kepala Brama mendadak kosong, amarahnya pun tiba-tiba menghilang.
Begitu mendengar Dara menyebutnya suami, semua rasa sebelumnya berganti dengan desiran aneh yang menggelitik rongga dada hingga ke perutnya. Sebuah perasaan familiar yang tak pernah dirasakannya.
Brama melepaskan tangan Dara dengan lembut, lalu mendudukkan istrinya ke ranjang. Dara masih memejamkan mata dengan erat dan wajahnya merah padam. Sangat menyenangkan untuk dilihat lama-lama.
"Buka mata kamu," perintah Brama.
Dara menggeleng dan semakin kuat memejamkan mata. Sedetik kemudian, dia merasakan benda hangat dan kenyal membelai matanya.
Brama mengecup lembut ke dua mata Dara cukup lama. Kedua tangannya menangkup wajah Dara, lalu menyatukan dahi dan ujung hidung mancung mereka.
"Panggil aku dengan sebutan itu sekali lagi," bisik Brama.
Hawa panas dari napas Brama menerpa bibir Dara. Tanpa membuka mata pun, dia tahu jika sebentar lagi bibir pria itu akan bersentuhan dengan bibirnya.
"Aku akan mendatangi Aldo dan menghajar mulutnya hingga berdarah," ucap Brama dengan tegas.
Dara sontak membuka mata. Dugaannya salah, Brama malah menjauhkan wajahnya.
"Apa kamu mengkhawatirkan mantan kamu itu?" Tanya Brama.
"Aku tidak khawatir dengannya. Tapi, jangan pukuli Aldo. Dia bisa curiga sama kamu, tidak boleh ada yang tahu kalau kita sudah menikah." Ucap Dara.
Brama mundur menjauhi Dara, tanpa beranjak dari tempatnya duduk. Dia melipat tangan di depan dada dan seakan-akan sedang berpikir keras.
"Tidak bisa! Dia sudah menghina kamu sebagai istri aku, Dara Pranaja. Artinya, dia juga menghina aku. Aku akan tegaskan kepada Aldo jika kamu adalah istri aku dan dia harus bisa menghormati kamu." Tegas Brama.
Dara menggeleng-geleng sambil kembali menautkan tangan di lengan Brama agar tidak pergi menjalankan rencananya.
"Kita tidak boleh mengatakan kepada siapa pun tentang pernikahan ini. Keadaan akan menjadi semakin buruk jika kamu melakukan itu." Ucap Dara.
"Kamu tidak bisa mencegah apapun yang akan aku lakukan." Ucap Brama berdiri seraya melepaskan tangan Dara dari lengannya.
Dengan langkah lebar, Brama berjalan menuju pintu. Dara melompat dari ranjang, lalu menyusul Brama. Dia kembali memegangi Brama, tetapi pria itu selalu berhasil melepaskan tangannya.
"Kamu tidak boleh pergi ke mana-mana!" Ucap Dara memeluk Brama dari belakang dengan erat.
Brama tersenyum miring. Semudah itu dia memancing Dara agar bergerak mendekati dirinya. Dia lalu melepaskan tangan Dara yang sekuat tenaga sedang membelit perutnya.
Brama pura-pura tak dapat melepaskan tangan Dara.
"Kamu tidak mengizinkan aku pergi?" Tanya Brama.
"Benar! Jangan pergi." Ujar Dara setengah merengek karena dirinya ketakutan jika Brama akan tetap bertindak gegabah dan mengacaukan segalanya.
Dengan sekali sentakan, tangan Dara terlepas dari perutnya. Brama berbalik, kemudian berkata.
"Kalau kamu tidak mau aku pergi, kamu harus mencegah aku dengan baik, istriku." Ucap Brama.
Ya. Brama tak berniat menemui Aldo sekarang. Brama hanya ingin Dara mencegah dirinya pergi dan membuat Dara melakukan sesuatu padanya.
"Apa yang harus aku lakukan?" Tanya Dara.
"Lima menit...." Ucap Brama berjalan melewati Dara dan menghempaskan badan di atas ranjang.
"Aku akan memberi kamu waktu lima menit untuk mencegah aku keluar dari ruangan ini." Ucap Brama.
Dara tercengang hingga membeku di tempat. Bagaimana caranya Dara memulai lebih dulu?
Melihat Dara tak beranjak sedikit pun, Brama menambahkan.
"Kalau kamu gagal, aku akan merontokkan semua gigi keponakan aku dan mengatakan kepada seluruh dunia jika aku menikah sama kamu sebelum Aldo menikah dengan Ayra." Ucap Brama mengancam.
Badan Dara seperti bergerak dengan sendirinya menuju tempat Brama berada. Pipinya memanas ketika dia naik di atas pangkuan Brama.
"Hanya seperti ini saja kemampuan kamu mencegah aku pergi? Baiklah, aku akan pergi-" ucap Brama tersenyum miring sambil bangun terduduk.
Dara memejamkan mata dan menyambar bibir Brama dengan bibirnya. Jantungnya berdetak kencang karena Brama tak membalas ci*mannya. Dara menggigit kecil bibir Brama dan memainkan lidahnya di sana, tetapi Brama tetap diam saja.
Ketika Dara membuka mata, pria itu sedang memejamkan mata.
"Kenapa berhenti? Kamu ingin aku pergi dari sini?" Tanya Brama.
Dara akhirnya tahu jika Brama menikmati ci*mannya meskipun diam tak membalas. Dia sudah hafal dengan suara rendah dan berat suaminya ketika sedang menginginkan dirinya.
Tangan lentik dan halus itu gemetaran ketika membuka kancing kemeja Brama. Dara gugup setengah mati karena belum pernah memulai lebih dulu.