NovelToon NovelToon
RanggaDinata

RanggaDinata

Status: tamat
Genre:Teen / Tamat / Cintapertama / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Bad Boy / Idola sekolah
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: patrickgansuwu

"Rangga, gue suka sama lo!"

Mencintai dalam diam tak selamanya efektif, terkadang kita harus sedikit memberi ruang bagi cinta itu untuk bersemi menjadi satu.



Rangga Dinata, sosok pemuda tampan idola sekolah & merupakan kapten tim basket di sekolahnya, berhasil memikat hati sosok wanita cantik yang pintar dan manis—Fira. Ya itulah namanya, Fira si imut yang selama ini memendam perasaannya kepada kapten basket tersebut.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon patrickgansuwu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3. Ketika Harapan Menyentuh Realita

Hari kemenangan itu masih terasa segar di ingatan Fira, seolah baru terjadi kemarin. Setiap kali dia mengingat momen ketika Rangga berjalan mendekatinya dengan senyum lebar di wajahnya, hatinya berdebar tak karuan. Bahkan beberapa hari setelah pertandingan, Fira masih sering tersenyum sendiri saat duduk di bangku belakang kelas, memikirkan betapa ajaibnya hari itu.

Namun, di balik perasaan bahagianya, ada keraguan yang mulai merayap pelan-pelan. Apakah semua ini nyata? Apakah Rangga benar-benar memperhatikannya, atau hanya bersikap ramah karena Fira sering datang ke latihan dan mendukung tim? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuinya. Dia tidak ingin terlalu berharap, tapi sulit baginya untuk mengabaikan perasaan yang semakin tumbuh di hatinya.

Selama seminggu setelah pertandingan, interaksi Fira dengan Rangga terasa lebih sering. Rangga akan menyapanya di koridor, terkadang di kantin, bahkan sekali dua kali mengajaknya berbicara setelah latihan selesai. Meski percakapan mereka masih seputar basket atau pelajaran di sekolah, Fira merasa ada sesuatu yang berbeda. Setiap kali mereka berbicara, Rangga selalu tersenyum dengan hangat, dan tatapan matanya—ah, Fira tak bisa menolak getaran di hatinya setiap kali Rangga menatap langsung ke matanya.

Pada suatu sore yang biasa, ketika Fira kembali duduk di tribun setelah bel sekolah berdering, Rangga datang lebih awal sebelum latihan dimulai. Fira yang sedang membuka buku matematikanya, kaget saat mendengar suara langkah kaki mendekat. Saat ia mengangkat kepalanya, ia melihat Rangga berdiri di depannya, tersenyum.

“Lo belajar matematika di sini?” Rangga bertanya sambil tertawa kecil. “Gue kira lo lagi nonton latihan.”

Fira tersenyum malu, menutup bukunya. “Enggak, gue cuma nunggu latihan mulai. Ada PR yang belum gue selesaikan.”

Rangga duduk di samping Fira tanpa ragu, hal yang tak pernah Fira bayangkan sebelumnya. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat. "Gue nggak nyangka lo jago matematika juga," lanjut Rangga, "kayaknya gue perlu bantuan lo buat pelajaran itu."

Fira tertawa kecil. “Jago sih nggak, tapi gue lumayan suka matematika.”

“Kalo gitu, kapan-kapan ajarin gue ya?” jawab Rangga sambil menyandarkan punggungnya ke bangku, matanya memandang lapangan kosong di depan mereka. “Gue selalu kesulitan di soal-soal hitung-hitungan.”

Fira hanya bisa mengangguk, berusaha tetap tenang meskipun jantungnya seperti ingin meloncat keluar dari dadanya. Rangga, kapten basket yang selalu terlihat percaya diri dan mandiri, kini meminta bantuannya untuk sesuatu. Rasanya hampir seperti mimpi.

Namun, sebelum Fira sempat mengatakan apa-apa, suara panggilan dari pelatih tim basket terdengar, memanggil Rangga ke lapangan untuk memulai latihan. Rangga berdiri dengan cepat, lalu menatap Fira sekali lagi sebelum pergi. “Jangan lupa ya, gue tunggu pelajarannya.”

Fira hanya mengangguk lagi, kali ini dengan senyum yang sulit disembunyikan. Ketika Rangga berlari ke arah lapangan, Fira menutup bukunya dan mencoba kembali fokus. Namun, pikirannya melayang ke percakapan tadi. Apakah ini hanya percakapan biasa, atau ada sesuatu yang lebih?

•••

Hari-hari berikutnya, Rangga benar-benar menepati janjinya. Di suatu jam istirahat, saat Fira sedang makan bersama Dinda di kantin, Rangga mendekati meja mereka dengan nampan di tangan. "Fira, bisa bantuin gue buat matematika setelah pulang sekolah nanti?" tanyanya tanpa ragu.

Dinda, yang duduk di samping Fira, hampir menjatuhkan sendoknya karena terkejut. Matanya melebar, menatap Rangga dan kemudian Fira bergantian. Fira, di sisi lain, hanya bisa mengangguk dengan kikuk, meski di dalam hati dia merasa terkejut sekaligus senang. "Iya, boleh. Gue juga pulang agak sore nanti."

Setelah Rangga berlalu, Dinda langsung mencondongkan tubuhnya ke arah Fira. "Apa-apaan ini, Fir? Lo kenal deket sama Rangga? Lo enggak pernah cerita ke gue!"

Fira tertawa canggung, merasa sedikit bersalah karena tidak memberitahu Dinda sebelumnya. “Enggak juga, Din. Kita cuma ngobrol soal basket dan pelajaran. Dia minta gue bantuin matematika aja.”

Dinda mengangkat alisnya. “Ngobrol soal basket? Fir, ini Rangga! Lo tau kan, seberapa banyak cewek yang naksir dia? Lo beneran enggak ada perasaan apa-apa?”

Fira terdiam sejenak. Dia tidak bisa begitu saja menyangkal perasaannya, terutama kepada sahabat terdekatnya. Namun, dia juga tak ingin terlalu cepat berharap. “Ya... gue juga enggak tau, Din. Gue suka ngobrol sama dia, tapi gue enggak yakin dia ngerasain hal yang sama.”

Dinda menatap Fira dengan penuh rasa ingin tahu, tapi dia memilih untuk tidak mendesak lebih jauh. "Yah, kalau lo butuh apa-apa, gue selalu di sini buat lo."

•••

Sore harinya, Fira dan Rangga duduk di meja pojok perpustakaan. Fira sibuk menjelaskan soal-soal matematika yang cukup rumit, sementara Rangga mendengarkan dengan serius, sesekali menggaruk kepalanya yang kebingungan. Fira tertawa kecil ketika Rangga mengeluh bahwa dia tidak akan pernah mengerti rumus-rumus itu.

"Lo sebenarnya paham, Rangga. Lo cuma perlu lebih sering latihan aja," kata Fira sambil menyodorkan kertas soal.

Rangga menatap Fira sejenak, lalu tersenyum. “Makasih banget udah mau ngeluangin waktu buat gue. Gue beneran enggak ngerti matematika. Lo sabar banget ngajarin.”

Fira tersipu, merasa senang meskipun mencoba menutupinya. “Sama-sama. Gue juga seneng bisa bantu.”

Sesi belajar mereka berlanjut selama beberapa minggu, dan setiap kali, Fira merasa semakin nyaman berada di dekat Rangga. Mereka mulai berbicara tentang banyak hal—tentang hidup, impian, dan harapan mereka masing-masing. Fira mulai melihat sisi Rangga yang berbeda, lebih dari sekadar kapten basket yang populer. Rangga adalah orang yang cerdas, penuh semangat, tapi juga bisa sangat santai dan rendah hati. Hal itu membuat Fira semakin sulit menahan perasaannya.

Suatu sore, setelah latihan dan sesi belajar matematika mereka selesai, Rangga tiba-tiba membuka topik yang tak terduga. Mereka duduk di bangku taman sekolah yang sepi, menikmati angin sore yang sejuk.

"Fira, lo pernah mikirin masa depan lo bakal kayak gimana?" tanya Rangga tiba-tiba.

Fira terkejut dengan pertanyaan itu. “Maksudnya?”

“Ya, lo tau kan… masa depan kita setelah lulus sekolah. Gue sering mikir soal itu belakangan ini. Gue suka basket, tapi gue juga tau gue enggak bisa ngandelin basket buat masa depan gue. Gue mau masuk kuliah, tapi belum yakin mau ambil jurusan apa.”

Fira terdiam, merenungkan pertanyaan Rangga. Dia sendiri tak terlalu memikirkan hal-hal jauh ke depan. Selama ini, hidupnya cukup sederhana—belajar, sekolah, dan menyimpan perasaan terhadap Rangga di dalam hati. Tapi sekarang, mendengar Rangga berbicara tentang masa depan membuat Fira mulai berpikir tentang apa yang sebenarnya ia inginkan.

"Gue juga belum tau sih. Gue suka matematika, mungkin mau jadi guru atau sesuatu yang berhubungan sama itu. Tapi ya, kadang gue juga bingung," jawab Fira dengan jujur.

Rangga mengangguk, seolah memahami kebingungan Fira. “Yah, kita lihat nanti aja. Tapi apapun yang lo pilih, gue yakin lo bakal sukses.”

Fira tersenyum kecil, tapi hatinya dipenuhi dengan kebahagiaan. Dalam sekejap, percakapan itu terasa begitu alami, begitu dekat. Untuk pertama kalinya, Fira merasa seperti ada kesempatan nyata baginya dan Rangga, seolah jarak yang selama ini terasa tak terjangkau perlahan mulai menyempit.

Malam itu, saat Fira pulang ke rumah dan berbaring di tempat tidurnya, ia tersenyum. Di bawah kerlip lampu kamarnya, ia membiarkan dirinya bermimpi sedikit lebih tinggi. Mungkin, hanya mungkin, harapan yang selama ini ia jaga dalam hati mulai berubah menjadi kenyataan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

---

Demikian bab ketiga dari cerita ini, semoga kamu menikmatinya!

1
Rea Ana
wes fir.... fir... semoga kau tak stress, hidup kau buat tarik ulur, pusing dibuat sendiri
Rea Ana
fira labil
Rea Ana
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!