Revisi
Ada beberapa hal yang dirasa kurang memuaskan, jadi diputuskan untuk merevisi bagian awal cerita.
Petugas kepolisian Sektor K menemukan mayat di sebuah villa terpencil. Di samping mayat ada sosok perempuan cantik misterius. Kasus penemuan mayat itu nyatanya hanya sebuah awal dari rentetan kejadian aneh dan membingungkan di wilayah kepolisian resort kota T.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bung Kus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah di tengah kebun tebu
Tangan dan kaki Tabah telah selesai diobati. Meski disarankan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut di rumah sakit daerah, Tabah menolaknya. Andre sudah berusaha membujuk, tetapi seniornya itu berkepala batu.
"Daripada menghabiskan waktu untuk hal yang tidak perlu, lebih baik kita melanjutkan penyelidikan. Aku datang kesini untuk meminta keterangan pada perempuan yang kita temukan di villa kemarin. Namun nyatanya dia tidak bisa ditanyai saat ini," ucap Tabah menyambar jaketnya. Meski berlubang di bagian siku, jaket berwarna abu-abu tua itu dikenakannya sembari melangkah keluar dari ruang perawatan. Andre menyusul seniornya sambil geleng-geleng kepala.
"Pak Dhe, kenapa kali ini kulihat kamu sangat bersemangat menyelidiki kasus? Sejujurnya terbiasa melihatmu menghabiskan waktu dengan bermain zuma membuatku lupa jika kamu memiliki sisi pekerja keras seperti ini," ucap Andre. Nada bicaranya datar, tetapi berhasil membuat Tabah merasa kesal.
"Aku tidak semalas itu Ndre," protes Tabah. Andre hanya nyengir mendengarnya.
"Aku merasa bersyukur bertugas di wilayah dengan tingkat kriminalitas yang rendah. Aku menikmatinya, bekerja santai, yang penting kebutuhan keluarga tercukupi. Dengan adanya satu kasus ini yang kurasa luar biasa, aku hanya ingin menyelesaikannya secepat mungkin. Aku ingin wilayah kita aman dan pekerjaan kembali seperti hari kemarin," jelas Tabah.
"Tapi mungkin kasus kali ini merupakan jalan Tuhan untuk membuatmu maju Pak Dhe. Mungkin ini waktunya untukmu naik jabatan. Dan menjadi waktu untukku mengajukan mutasi," sambung Andre. Tabah menghentikan langkah kemudian menoleh dengan ekspresi heran.
"Mutasi? Jelaskan padaku nanti. Tapi yang jelas kuminta kamu bersama denganku bersungguh-sungguh menyelesaikan kasus ini." Tabah menatap Andre dengan sorot mata tajam. Garis rahangnya tampak mengeras.
"Tentu saja. Lalu, sekarang kita kemana? Biar aku yang memboncengmu Pak Dhe. Dengan kondisi siku terluka begitu, aku akan mengantarmu sampai ke tempat tujuan," balas Andre bersungguh-sungguh.
"Kita selidiki tempat tinggal Hendra," jawab Tabah singkat. Andre mengangguk setuju.
Tabah melangkahkan kaki sambil melamun. Dia menimbang-nimbang haruskah menceritakan soal perempuan berkebaya putih pada Andre? Bukankah Andre sangat percaya dengan hal yang berbau mistis?
"Ndre? Apakah kamu pernah melihat hantu?" tanya Tabah kemudian.
"Hah?" Andre mengernyit. Tidak menduga seniornya itu akan menanyakan soal hantu.
"Yasudah lupakan saja," sergah Tabah mengibaskan tangannya. Mereka sudah sampai di parkiran kantor kepolisian.
Andre segera menyambar motornya dan membonceng Tabah. Meskipun Andre menarik gas cukup dalam, tetapi motor hanya bergerak pelan. Berat badan Tabah membuat motor kehilangan tenaga.
Tiga puluh menit dalam perjalanan, motor Andre memasuki jalanan semen di pedesaan yang terkesan sepi. Di tengah area perkebunan tebu yang cukup luas, berdiri sebuah rumah dengan genteng berwarna biru mencolok. Di tengah halamannya terdapat pohon asem berdahan banyak yang terlihat ditata rapi. Sayang daunnya tumbuh liar.
Andre menepikan motornya tepat di bawah pohon asem. Tabah turun terlebih dahulu dan langsung melangkah menuju ke pintu depan. Bagian teras yang berlantai keramik tampak kotor dengan sampah daun berserakan. Sekilas pandang Tabah dapat menyimpulkan jika rumah tersebut sudah lama tidak dihuni.
"Kondisi rumah yang serupa dengan villa kemarin. Terbengkalai, tak terurus," keluh Tabah mengedarkan pandangan.
Andre diam tak menyahut. Pandangannya menyapu setiap sudut rumah. Dia merasakan sensasi yang sama dengan saat berada di villa desa Karang. Ada hawa dingin yang menjalar di bagian belakang lehernya.
Terdengar suara kendaraan mendekat. Sebuah truck pengangkut tebu masuk ke halaman rumah. Dua orang yang berada di dalam truck tampak menatap Andre dan Tabah dengan ekspresi bingung. Mungkin mereka heran ada orang yang berkunjung ke rumah terbengkalai di tengah ladang tebu.
Dua pekerja kebun tebu turun dari truck. Mereka mendekati Tabah dan Andre. Kemudian mengulurkan tangan untuk bersalaman. Sebuah kebiasaan yang mengakar kuat di desa. Grapyak, dan santun.
"Maaf, kami titip truck disini," ucap laki-laki yang mengenakan kaos oblong. Dia adalah sopir truck, dengan lengannya yang tampak kekar. Sedangkan rekannya seorang pemuda kerempeng mengenakan topi kain jeans ber merk seger.
"Kami bukan pemilik rumah. Jadi tidak perlu meminta ijin pada kami," sahut Tabah. Dua pekerja kebun tebu tampak tersenyum.
"Kami tahu. Hanya saja kami pikir Njenengan berdua hendak membeli rumah ini," jawab sopir truck.
"Apakah rumah ini dijual?" tanya Andre kemudian.
"Waah soal itu, kami juga kurang tahu. Karena Kang Hendra ah maksud saya pemilik rumah ini sudah lama tidak terlihat pulang, saya kira rumah dijual," jawab pemuda bertopi jeans.
Tabah merogoh dompet. Kemudian menunjukkan kartu tanda anggota kepolisian. Dua pekerja kebun tebu ekspresinya langsung berubah. Mungkin mereka terkejut ada petugas kepolisian yang datang memeriksa rumah yang sudah lama kosong.
"Jika tidak keberatan. Ada beberapa hal yang ingin kami tanyakan soal Hendra. Mohon bantuannya sebentar saja," ucap Tabah. Meskipun kalem, tetapi perkataan Tabah terasa seperti sebuah perintah. Dua pekerja kebun tebu diam mematung. Mungkin ada penyesalan di hati mereka telah menyapa dua orang yang ternyata petugas kepolisian. Sekarang waktu mereka untuk bekerja akan sedikit tertunda.
Semua orang duduk di teras rumah. Angin bertiup semilir. Sejuk, sekaligus membuat bulu kuduk berdiri. Deretan tebu yang mengapit rumah, seolah menjadi pagar hidup.
"Dengan siapa Hendra tinggal di rumah ini?" tanya Tabah sembari membuka buku catatannya.
"Setahu kami sendirian Pak. Memangnya Kang Hendra kenapa? Tersandung kasus?" Sopir truck balik bertanya.
"Tidak. Tolong jawab saja pertanyaan dari kami," sergah Tabah yang membuat sopir truck mengatupkan mulutnya.
Setelah hampir dua puluh menit menjawab beberapa pertanyaan, akhirnya dua pekerja kebun tebu berpamitan. Mereka melangkah gontai keluar dari halaman rumah Hendra. Seolah tenaga habis terkuras untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dua petugas kepolisian.
"Aku sama sekali tidak memiliki gambaran tentang kasus ini," keluh Andre menutup catatannya.
Tabah diam mengamati tulisan tangannya yang terlihat berderet rapi. Dari percakapannya dengan pekerja kebun tebu akhirnya diketahui jika Hendra selama ini tinggal sendirian di rumahnya. Hendra seorang pendatang, yang dulunya merupakan warga desa Karang. Tidak jelas apakah di desa Karang Hendra memiliki sanak saudara atau tidak.
"Kenyataan bahwa Hendra dulu adalah warga desa Karang tentu bukanlah kebetulan semata," gumam Tabah. Andre mengangguk setuju.
"Sangat membingungkan. Mbah Min, maksudku kepala desa Karang mengatakan sama sekali tidak mengenal Hendra. Tetapi ternyata Hendra adalah warga pindahan dari sana. Ada yang aneh dari kepala desa berwajah menyebalkan itu," sambung Andre.
"Kita bisa berkoordinasi dengan Dinas kependudukan nanti. Yang jelas rumah ini sudah lebih dari satu bulan tidak ditempati. Jadi sepanjang waktu itu, Hendra tinggal di villa bersama perempuan itu?" Tabah berdiri dari duduknya. Memasukkan buku catatan ke dalam tas.
"Waktunya kita berpindah tempat, Ndre," ajak Tabah.
Andre melompat turun dari teras rumah. Pada saat itulah dia menyadari ada sebuah benda cokelat kehitaman yang menyembul dari dalam tanah. Sesuatu yang memantik rasa penasaran di hati Andre.
lanjut bung...tetap semangat....
jngn jngn ini dukunn nya ntar lawannya Mbah Tejo.
ahh komentar ku jngn jngn mulu wkwkwkwk.
Aku curiga sama Lilis omm... bkn suudzon tapi ntahlah Lilis kek manipulatif.
hmmm,,, aq masih blm bisa terima bang Andre sama Lilis ....,,