Semua cintanya sudah habis untuk Leo. Pria tampan yang menjadi pujaan banyak wanita. Bagi Reca tidak ada lagi yang pantas dibanggakan dalam hidupnya kecuali Leo. Namun bagi Leo, Reca terlalu biasa dibanding dengan teman-teman yang ditemui di luar rumah.
"Kamu hoby kan ngumpulin cermin? Ngaca! Tata rambutmu, pakaianmu, sendalmu. Aku malu," ucap Leo yang berhasil membuat Reca menganga beberapa saat.
Leo yang dicintai dan dibanggakan ternyata malu memilikinya. Sejak saat itu, Reca berjanji akan bersikap seperti cermin.
"Akan aku balas semua ucapanmu, Mas." bisik Reca sambil mengepalkan tangannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sri Rusmiati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Minder
Wiguna Nata Sumardi?
Mendengar nama itu, semua yang ada di ruangan menatap Leo dengan wajah bingung? Tidak ada yang bersuara. Tiba-tiba suasana ruangan menjadi hening.
"Heh, anak cantik kok dikasih nama laki?" tanya Bu Lena marah.
"Anak aku sama Reca cowok Bu," jawab Leo.
"Hah?" ucap Bu Lena terkejut.
Bukan hanya Bu Lena, Mba Ara juga terkejut. Apalagi nama Wiguna itu pemberian dari mendiang ayahnya. Entah harus bahagia atau sedih, Mba Ara tidak menyangka anak Reca laki-laki.
"USG hasilnya cewek kan?" tanya Bu Rani bingung.
"Iya, Bu. Tapi kan kecanggihan alat itu gak bisa menandingi kecanggihan Tuhan. Ini bayinya ganteng. Persis banget kayak bapaknya," jawab Leo penuh percaya diri.
Reca hanya tersenyum. Awalnya respon Reca dan Leo juga sama. Mereka terkejut saat dokter menyatakan anak mereka adalah laki-laki. Padahal beberapa kali pemeriksaan, hasil USG tidak pernah berubah. Dokter selalu mengatakan jika Reca menganduk anak perempuan. Tapi takdir berkata lain, mereka dikaruniakan anak laki-laki yang sangat tampan.
Kebingungan itu berlangsung beberapa menit saja. Setelah itu mereka semua merayakan kebahagiaan luar biasa ini. Ini juga momen Mba Ara berkenalan dengan keluarga Reca dan Leo. Berusaha berbaur sebaik mungkin agar bisa diterima di keluarga mereka berdua.
"Terima kasih ya Nak Ara sudah baik sekali sama anak saya," ucap Bu Rani.
"Justru Reca yang sangat baik sama saya. Kalau tidak ada Reca, saya gak tahu akan seperti apa hidup saya. Ibu benar-benar hebat karena berhasil mendidik anak seperti Reca," puji Mba Ara.
Mba Ara senang, ternyata Reca sering menceritakan dirinya pada ibunya. Sebegitu baiknya Reca. Sejak saat itu, Mba Ara kembali bersemangat. Ia berjanji akan membahagiakan orang tua Reca dan Leo. Bahkan sejak banyak bercerita, Mba Ara berniat memberikan hadiah setiap bulannya.
"Nak Ara, ibu titip cucu dan mantu kesayangan ibu, ya. Kalau ada apa-apa jangan lupa kabari ibu. Jangan kayak anak ibu yang satu itu ya," sindir Bu Lena.
"Lagian Ibu tahu dari mana? Aku mau telepon udah ada di sini aja," ucap Leo.
"Kamu pikir Ibu gak bisa lihat statusmu? Buat status aja bisa. Giliran ngabarin orang tua, lupa. Kebanyakan makan micin nih anak," ucap Bu Lena.
"Lah, aku yang salah. Ibu yang masak. Aku sig tinggal makan," ucap Leo.
Nah begini nih. Udah jadi bapak juga masih kayak bocah. Jawab aja kalau ngomong sama orang tua. Karma itu tak seindah kurma ya Leo," ucap Bu Lena sambil menjewer telinga Leo.
Mba Ara hanya tersenyum melihat Leo yang terlihat meringis. Dalam ruangan itu, Mba Ara merasakan kehangatan sebuah keluarga. Benar-benar hangat sampai akhirnya ia merasa tidak sendiri. Ada mereka dalam hidupnya. Mba Ara diterima baik di keluarga Reca dan Leo.
Pah, ini yang Papa maksud kan? Ini yang Papa bilang kalau aku gak sendiri kan? Papa bener. Mereka ada buat aku. Papa jangan khawatir lagi ya. Aku gak sendiri sekarang.
"Mba, kok melamun? Kenapa?" tanya Reca.
Lamunan Mba Ara seketika buyar. Dengan cepat menggeleng agar mereka tidak bertanya semakin jauh. Mengembalikan obrolan agar tidak membahas apapun tentang dirinya. Saat ini hatinya masih rapuh. Ia masih selalu menangis saat membahas ayahnya. Ini bukan momen untuk membahas kesedihannya.
"Permisiiii," teriak laki-laki bertubuh tinggi.
Saat pintu ruangan terbuka, semua mata tertuju pada sumber suara.
"Jadi berasa artis deh dilihatin begini," ucapnya.
"Ngapain ke sini?" tanya Leo.
"Dih, nengokin keponakan tersayang dong. Nanti kalau udah gede, dia juga pasti jadi brand ambassador di toko kue gue. Sini cantik, biar Kakak gendong." Reno mendekat ke arah Bu Lena yang sedang menggendong Wiguna.
Bu Lena menyerahkan bayi itu dengan tatapan bingung. Reno menggendong bayi itu dengan sangat hati-hati. Sesekali matanya menatap sekeliling. Ia tersenyum saat melihat Bu Lena menatapnya lekat.
"Ibu sehat?" tanya Reno sambil mengulurkan tangannya.
Bu Lena menyambut uluran tangan Reno. Ia tidak menjawab. Hanya mengangguk pelan.
"Ibu, ini Reno. Masih ingat gak? Bestinya Leo," ucap Reno.
"Ah ya ampun. Reno? Kenapa jadi kurus begini?" tanya Bu Lena.
Bu Lena memang mengenali wajah Reno. Hanya saja tubuhnya berbeda jauh. Dulu Reno sangat gendut. Berat badannya mencapai seratus lima kilo. Sekarang badannya jauh lebih kurus bahkan hampir sama dengan Leo.
"Diet Bu," jawab Reno.
"Yia harus diet lah. Kalau gendut terus gak bakal laku-laku dia," ucap Leo.
Satu ruangan tertawa, tapi tidak dengan Reca. Semenjak hamil, Reca mengalami kenaikan berat badan yang sangat luar biasa. Apalagi Reca mengingat ucapan Leo beberapa waktu lalu saat dirinya masih hamil. Leo sempat protes dengan penampilan Reca.
Keadaan Reca saat ini memang sedang sangat sensitif. Beruntung Mba Ara menyadari sikap Reca. Dengan cepat ia mengalihkan pembahasan.
"Boleh gantian gendong bayinya?" pinta Mba Ara.
Reno yang awalnya kurang memperhatikan keberadaan Mba Ara, mengernyitkan dahinya. Ia melihat Reca dan Mba Ara bergantian. Memastikan jika perempuan yang bicara padanya saudara Reca atau bukan.
"Ekhem," deham Leo.
"Ah boleh," ucap Reno.
Tidak ada percakapan sama sekali antara Reno dan Mba Ara. Ternyata diam-diam Reno memperhatikan Mba Ara. Sudah hampir tiga puluh menit Reno mencuri pandang pada Mba Ara. Rasa penasarannya tidak bisa dibendung lagi.
"Bro, keluar cari angin dulu yu!" ajak Reno.
"Sendirian aja sana. Ngapain ngajak-ngajak," ucap Leo.
"Jangan gitu lah. Kita kan besti," ucap Reno.
"Jangan ngaku-ngaku!" bantah Leo.
Merasa terlalu lama, Reno menarik tangan Leo agar segera keluar dari ruangan itu. Reno membawa Leo ke tempat yang cukup jauh dari ruangan tadi.
"Bro, yang tadi siapa? Kok gue gak kenal?" tanya Reno.
"Gak bakal kenal lah. Dia itu bos gue," jawab Leo.
"Bos? Kok bisa elu punya bos secantik dan semuda itu sih?" tanya Reno.
Leo menceritakan singkat tentang kisah Mba Ara. Dari mulai gagal menikah hingga ditinggal ayahnya. Reno menyimak dengan baik semua kata demi kata yang terucap dari mulut sahabatnya itu.
"Kenapa? Naksir lu?" tanya Leo.
"Tadinya sih iya. Tapi kayaknya gak jadi," jawab Reno.
"Loh, kok bisa gitu? Minder ya? Katanya bos. Cocok dong bos sama bos," goda Leo.
Reno menggeleng. Perusahaan sebesar milik Mba Ara tidak bisa disamakan dengan toko kue miliknya. Meskipun ada sepuluh cabang, itu tetap tidak membuktikan Reno sepadan dengan Mba Ara. Selain itu, kegagalan urusan asmara Mba Ara akan membuat Reno sulit masuk. Kalaupun masuk, ia harus bertarung dengan trauma masa lalunya.
"Kata pepatah sih perempuan cuma jatuh cinta sekali. Selebihnya cuma ngelanjutin hidup," ucap Reno.
Reno sudah cukup trauma juga dengan kisah asmara. Puluhan kali ditolak perempuan karena badannya yang gendut dan kerjanya hanya tukang kue rumahan. Dulu ibunya adalah penjual kue rumahan, sedangkan Reno sering mempromosikan jualan ibunya. Ia sering COD untuk mengantarkan pesanan pelanggannya.
Setelah ibunya meninggal, Reno memutuskan untuk mendalami usaha itu. Resep yang sudah dikantongi Reno dipraktekkan dan membuahkan hasil. Toko pertama buka di kampung halamannya. Berkat jasa media sosial, kue buatannya sudah semakin terkenal hingga Reno bisa menambah cabang usahanya.
maaf ya
semangat