"Kita putus!"
"putus?"
"ya. aku mau kita menjadi asing. semoga kita bisa menemukan kebahagiaan sendiri-sendiri. aku pergi,"
"Silahkan pergi. tapi selangkah saja kamu melewati pintu itu ... detik itu juga kamu akan melihat gambar tubuh indahmu dimana-mana,"
"brengsek!"
"ya. itu aku, Sayang ..."
***
Bagai madu dan racun, itulah yang dirasakan Eva Rosiana ketika jatuh dalam pesona Januar Handitama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eva Rosita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
Dengan kaca mata hitam yang masih bertengger dihidung mancungnya, Janu berjalan pelan menghampiri teman yang tadi menghubunginya. Si teman yang dituju itu seketika berdiri saat melihat sosok Janu yang sudah muncul, berdecak pelan karena Janu terlihat tidak membawa apa-apa ditangan.
“Lo kagak bawa apa-apa?” tanyanya ke Janu, dan yang ditanya malah mengerutkan dahinya tipis.
“Harus?”
“Aturan jenguk orang sakit ya bawa sesuatu, anjir. Buah kek, roti kek. Lo malah bawa badan doang,”
Janu mengedikan bahunya tak peduli, “Yang mau jenguk juga siapa,” gumamnya yang berjalan lebih dulu dari Evan.
Ya, yang ditemui Janu itu si Evan. Mereka sedang ada di rumah sakit sekarang, mau menemui si Gilang. Tadi memang Janu bilang akan menjenguk Gilang, dan sebagai teman yang sangat mengerti jika Janu itu sedikit tidak waras, Evan dengan suka rela menawarkan diri untuk menemani Janu.
Evan itu tahu maksud kata ‘menjenguk’ dari Janu, bukan kegiatan yang mengunjungi orang sakit dengan empati. Pasti menjenguk maksud Janu itu berbeda dengan yang lain, jadi Evan ikut bertujuan agar temannya itu tidak berbuat gila lagi ke Gilang.
Sudah cukup tangan kanan Gilang yang dibuat melecehkan Eva itu Janu patahkan.
“Bajingan itu dirawat dimana?” tanya Janu tanpa harus menoleh atau balik badan ke Eva. Langkahnya masih tegap dan santai.
Bibirnya Evan mencebik, sedikit mempercepat langkah agar bisa mengimbangi temannya yang songong itu. Tidak tahu letak kamar Gilang tapi malah jalan duluan.
Sampailah mereka pada kamar tempat Gilang dirawat, ternyata di depan kamar itu ada dua cowok yang merupakan teman Gilang. Sedang duduk. Spontan, mereka berdiri dan menatap tajam untuk menyambut kedatangan Janu dan Evan.
Sedang yang disambut masih terlihat santai tanpa terganggu dengan tatapan tajam kedua cecunguknya Gilang.
“Mau ngapain lo kesini?” tangannya Janu dicekal, membuatnya berdecak pelan tak suka. “Jawab. Bisu lo?!” sentaknya karena Janu hanya diam saja.
Janu tidak suka dibentak, Janu juga tidak suka orang lain ikut campur dengan urusannya. Apalagi sampai lancang menghalanginya.
“Lepasin tangan lo, kalo kagak mau gue patahin seperti ketua lo yang banci itu?!” desis Janu, melirik tangannya yang masih dicekal oleh teman Gilang.
Oh, ayolah. Tidakkah mereka tahu jika pemilik netra bak obsidian itu sudah menatapnya. Tanda jika dia tak mau diganggu. Evan saja sudah meringis melihat temannya yang agaknya menunjukkan gejala mengeluarkan sosok iblis dalam tubuhnya.
Janu itu tidak pernah main-main dengan ucapannya. Tak pernah pikir panjang pula jika bertindak. Persetan meski didepannya ini adalah Kakak tingkatnya dikampus.
Mungkin satu cecunguk Gilang ini kurang jauh mainnya, sampai tidak tahu Janu itu sosok yang seperti apa jika sudah emosi.
“Ahk!”
“Gue bilang lepasin tangan lo, sialan!”
Lihat apa yang terjadi sekarang? tangan yang awalnya mencekalnya itu sudah berganti dengan tangan Janu yang memegang kendali, dengan satu gerakan saja tangan itu dipelintir membuat teman Gilang memekik kesakitan.
“Jan, udah. Inget tujuan lo kesini,” Evan tepuk bahu Janu, menyuruh temannya itu untuk menyudahinya. “Jan! ini rumah sakit!” timpalnya sambil berseru karena Janu masih tak mau mengindahkan tegurannya. Ringisan tercetak lagi diwajah Evan melihat teman Gilang masih mengerang mengadu sakit, sementara teman satunya lagi tak bisa apa-apa.
“Yang bilang ini pasar senen siapa?” sarkas Janu ke Evan setelah menghempaskan tangan kurang ajar itu. Lalu dia melenggang pergi begitu saja, masuk ke kamar yang menjadi tujuan awalnya.
Tak ada etika si Janu mengetuk pintu atau mengucap salam, cowok bertato itu langsung membuka pintu. Terkesan acuh walau disana ia temui beberapa orang yang menatapnya dengan pandangan kritik.
“Mau ngapain lo, setan?” Gilang berseru murka melihat siapa yang datang.
Sebenarnya Gilang ini tak ada nyali jika sudah berurusan dengan Janu, tapi emosinya membara begitu saja mengingat Janu lah yang membuatnya terkapar di keranjang pesakitan ini.
“Cih, setan teriak setan!” gumam Janu pelan namun penuh penekanan.
Langkahnya berjalan mendekat ke arah ranjang Gilang, tanpa diminta, orang-orang yang awalnya berdiri di samping ranjang itu menyingkir. Memberi akses untuk Janu mendekat. Tentu dengan raut yang ketakutan.
Santai sekali Janu memasukkan kedua tangannya ke saku, badan sedikit menunduk untuk berbisik ke dekat telinga Gilang.
“Jangan ganggu Eva. Sekali lagi gue liat lo ganggu dia ... gue bun*h lo!” bisiknya penuh dengan ancaman. Seringaian puas tercetak tatkala mata menangkap gelagat lawan yang ketakutan.
Apa hanya itu saja? oh, tentu tidak. Sebelum pergi, Janu memberikan salam kenang-kenangan agar Gilang taka akan pernah melupakan momen yang indah ini.
“Ngerti, Gilang?” tanyanya seraya tersenyum tapi sorot matanya memandang murka. Tangannya juga ikut berpartipasi untuk sebuah tanya itu, menekan dan meremas erat tangan Gilang yang sudah ia buat patah.
Gilang berteriak menyuarakan sakitnya. Tangan itu jauh dari kata mendingan, bahkan jika di ibaratkan sebuah luka, itu masih sangat basah. Tapi Janu dengan hati membuat tangan itu yang mungkin akan kembali di obati.
Meski dalam kondisi pesakitan dan berteriak, Gilang tetap menganggukkan kepalanya. Karena dia tahu jika Janu tidak akan melepaskan tangannya jika dia belum menjawab pertanyaan itu.
Teman Gilang yang lain? mereka sudah berseru meminta Janu melepaskan Gilang, namun satu gerakan kepala menoleh ke belakang menatap mereka bergantian, sudah cukup sebagai arti jika mereka hanya bisa diam dan menatap iba temannya yang kesakitan.
“Good,” ucap Janu yang melihat anggukan dari Gilang. Dan dengan begitu dia mau melepaskan cengkramannya ditangan Gilang yang sudah patah. “Oh ya, satu lagi. Gara-gara lo gaji Eva ditahan. Lo urusin. Besok gue mau denger, kalo duitnya Eva udah bisa keluar,”
Tanpa merasa bersalah sama sekali, Janu melenggang pergi di ikuti Evan dibelakangnya. Sementara Gilang masih berteriak, antara marah dan sakit yang menjadi satu.
Untuk masalah uang Eva, Janu bisa saja memberi gadis itu uang. Bahkan nominalnya bisa jauh lebih besar dari gaji seminggu itu. Tapi Janu tahu jika selain keras kepala, Eva tidak suka dibantu. Lebih tepatnya itu cewek tidak suka dikasihani.
“Mau kemana sekarang lo?” tanya Evan. Mereka sudah ada di parkiran. “Ke tempat Eva lagi?” lanjutnya yang hanya di balas gumaman oleh Janu. “Gue ikut!”
“Ngapain?” Janu yang sudah mau masuk mobilnya, seketika berhenti dan menoleh ke Evan. Ada gurat tidak suka disana.
“Mau jenguk gue. Kan kata lo si Eva sakit,”
“Nggak usah. Pulang sana!”
“Yaelah, Jan. Gue jug—iya, iya. Gue pulang,” kalimat protesan Evan kembali tertelan lantaran mendapat tatapan tajam dari Janu. “Posesif amat. Jadi pacar aja belom,” gerutunya seraya memanuver langkah kakinya ke arah mobilnya sendiri.
Diwaktu yang sama tapi ditempat yang berbeda, Eva masih ditemani oleh ketiga temannya yang sedari tadi mengoceh tidak jelas. Dia hanya diam menjadi pendengar untuk saat ini, tenaganya masih belum ada untuk meladeni ocehan mereka.
Smartphonenya yang sudah berusia tua itu berdenting, ada pesan masuk dari Janu.
Janu : Mau makan apa?
Tanpa sadar bibir Eva tersenyum simpul. Rupanya cowok bertato yang tadi mengganggu jantungnya sudah selesai urusannya, dan akan menemuinya lagi.
Me : Gue nggak laper.
Janu : Udah siang ini. Lo harus minum obat kan?
Janu : Gue beliin sop ayam aja ya. Lo nggak mungkin mau makan bubur lagi.
Me : terserah lo aja deh.
Janu benar, jika Eva disuruh makan bubur lagi, rasanya mual.
Janu : Temen-temen lo masih ada disitu?
Me : Masih.
Janu : Okey. 20 menit lagi gue nyampe, jangan tidur dulu.
Me : Hati-hati.
Ternyata tak sampai 20 menit Eva menunggu, Janu sudah datang dengan membawa dua tentengan di tangannya. Bukan hanya membawa soto ayam, Janu juga membawakan pizza untuk ketiga teman Eva. Lengkap dengan minuman sodanya juga.
Wahya seneng dong temen-temennya Eva, apa lagi si Eva sendiri yang diam-diam tersenyum.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sudah seminggu yang lalu Eva sakit. Dan semenjak kejadian itu hubungan Janu dan Eva semakin intens saja. Setiap hari Janu akan menjemput atau mengantarkan Eva kemana saja. Entah itu pergi kuliah, pergi kerja. Bahkan setiap malam Janu selalu mengajak Eva makan malam bersama.
“Jan, gue bisa pergi sendiri loh,”
“Lo risih ya, gue, anterin?”
“Bukan begituu,”
“ya terus?”
“Ck. Lo emang nggak ada kesibukan? gue nggak mau ya, Cuma gara-gara nganterin gue, terus kepentingan lo jadi ketunda. Bukannya gue geer dan merasa sok penting sih, tapi kan—“
“Lo emang penting, Va,” potong Janu, “dan lo santai aja. Kalo gue ada disini, berarti urusan gue kelar,”
Sudah berapa kali percakapan ini terjadi setiap Eva merasa sungkan jika Janu terlalu sering menjemputnya dan mengantarkannya kesana kemari.
Dan anehnya, si Janu itu seperti tahu kapan jamnya si Eva akan pergi.
Malam ini Janu sedang duduk dengan Budi dan yang lain. Menyaksikan Eva yang sedang bernyanyi di atas panggung kecil yang ad disana. Eva sudah kembali bekerja lagi di cafe Budi karena masa cuti yang ia ajukan sudah habis. Dan masalah gaji di tempat kemarin juga sudah kelar, Eva sudah menerimanya dengan utuh. Itu juga karena Gilang tidak berulah atau meminta tanggung jawab perusahaan tempat Eva menjadi pegawai lepas.
Tentu saja Gilang diam, dia mana berani bermain-main lagi dengan Janu.
Usai manggung, Janu mengajak Eva untuk berkeliling mengendarai motor sportnya. Puas berkeliling mereka berakhir di apartemen milik Janu.
Ngomong-ngomong apartemen, Eva sudah tidak asing lagi dengan tempat ini. Hampir tiap hari dia di ajak main kesini oleh Janu. Karena Janu bilang, dia tidak betah jika main di kos Eva. Terlalu berisik katanya.
Sekarang mereka sedang duduk di balkon, kegiatan yang kerap meraka lakukan seminggu ini. Menikmati coklat panas dengan gedung-gedung tinggi sebagai pemandangan, dan langit malam yang lumayan banyak bintang. Itu pun jika tidak mendung.
“How’s your day?”
Eva tersenyum tipis mendengar pertanyaan Janu. Cowok ini setiap malam meskipun mereka bersama, selalu tak pernah lupa dengan satu kalimat tanya itu. Janu seperti ingin memastikan jika harinya selalu baik-baik saja.
Cukup sederhana pertanyaan itu, tapi cukup juga Eva merasa lebih dari nyaman.
Eva menoleh kesamping dimana ada Janu yang duduk disampingnya, “Good,” bahkan lebih karena ada lo, Jan. Lanjutnya dalam hati.
Tak mau denial lagi, memang dia merasa jauh lebih baik harinya dengan kehadiran Janu yang selalu ikut peran.
Kedua netra itu bertemu dengan netra obsidian namun meneduhkan yang ternyata juga sedang menatapnya. Tercetak senyum manis dari Eva yang turut sumbang membuncahnya hati Janu setiap berdekatan dengan gadis itu.
Yang pertama memutus tatapan itu si Janu, karena dia tiba-tiba beranjak dan masuk ke dalam. Entah mau apa, Eva tak tahu. Janu tak mengatakan apa-apa.
Selapas Janu masuk, Eva berdiri. Mendekat ke railing, berdiri disana dengan kedua tangan yang berpegangan ke besi itu. Melihat ke bawah, sudah cukup malam tapi masih banyak saja pengendara yang memadati jalan.
Mendengar suara langkah yang mendekat, Eva balik badan. Bersandar ke besi railing balkon, bersedekap dada sambil mengamati Janu.
“Mau main gitar?” tanyanya.
“Em-hmm,”
“Mau gue yang nyanyi?” tawar Eva.
“Nope,” tolak Janu, “gue aja. Karena lagu ini buat lo,” ucapnya.
Eva melipat bibirnya menahan senyum. Detik selanjutnya kepala itu ia anggukan dengan gerakan pelan, “Okey,” gumamnya.
Janu duduk ditempat sebelumnya, dengan gitar yang ada dipangkuannya, bersiap untuk mempersembahkan satu buah lagu, yang sebenarnya ingin dia lakukan beberapa hari yang lalu ke gadis itu.
Jari jemari Janu mulai bergerak memetik gitarnya. Janu mulai bernyanyi.
How do I tell you i need you
When you steal the breath in my lungs?
Suara Janu terdengar indah di iringi suara gitar yang masih mengalun dalam kendalinya.
Butterflies dari Abe Parker, Eva tahu lagu ini. Lagu ini mengartikan ... waw, pikiran Eva mendadak buntu, hanya terporos pada apa yang ada didepannya sekarang. Akankah sekarang? batinnya.
Tangan yang awalnya terlipat didepan dada, perlahan mengendur dan jatuh begitu saja. Eva terpaku, mendadak gugup karena mata Janu terus tertuju padanya.
Am I the only one that’s catching butterflies?
Lirik dan mata Janu itu seakan bertanya, apakah masih Janu saja yang merasakannya atau dia sudah merasakannya juga. Eva bisa menangkap itu.
Dan jangan ditanya bagaimana jantung Eva sekarang. Dia sudah tahu bagaimana perasaan Janu pun dengan perasaannya sendiri. Eva juga sudah menduga jika Janu akan mengungkapkannya lagi. Tapi Eva tak mengira jika akan segugup ini ternyata.
I'm hopin' maybe you can tell me now
Am I
Look in my eyes
Do you get butterflies?
Janu mengakhir lagunya. Namun matanya masih tak mau mengakhiri untuk menatap Eva. Lima detik lamanya mereka diam saling memandang tanpa ada yang bergerak sama sekali. Detik berikutnya Janu meletakkan gitarnya di kursi sebelahnya. Berdiri, melangkah mendekat menghampiri Eva yang sedang mematung. Terpaku dengan manusia di depannya.
Janu ambil kedua tangan Eva yang terkulai lemas, membawa ke genggamannya yang hangat.
“So, tell me beautiful. Apa gue akan ditolak untuk yang kedua kalinya?”
Eva membasahi bibir bawahnya, bertanya ke diri sendiri kenapa tiba-tiba lidahnya keluh saat ingin memberikan jawaban atas pertanyaan Janu tadi. Atau ini memang reaksi tubuhnya karena terlampau gugup.
Usapan lembut jempol Janu di punggung tangannya membuat Eva sadar, jika cowok itu tengah menunggu jawabannya sekarang.
Karena lidahnya susah di ajak bicara, Eva menjawabnya dengan gelengan pelan.
“Jadi gue nggak ditolak lagi?”
“Eng- enggak,” pelan sekali suara Eva terdengar. Bahkan gadis itu sedang gagap, membuat bibir Janu berkedut.
“So?”
“Jan ...” rengekan pertama kali yang Janu dengar dari seorang Eva. Gadis itu merengek karena Janu menggodanya. Bibirnya sudah mencebik karena malu bercampur kesal. Janu jelas tahu apa jawabannya, tapi cowok itu seperti sengaja terus menggodanya.
Ah, bahagia sekali Janu. Dan semakin kuat perasaannya melihat gadisnya yang ternyata bisa manja juga. Lucu sekali.
Janu terkekeh dan langsung memeluk Eva. Memeluknya dengan erat sambil menggoyangkan badan ke kanan dan ke kiri dengan gerakan pelan. Sebagai wujud betapa bahagianya dia sekarang.
Perasaannya sudah terbalas. Eva benar-benar menjadi gadisnya. Ini sudah nyata.
“I love you,” bisiknya yang membuat Eva tersenyum lebar dalam dekapannya.
Cup
Kecupan pertama sebagai pacar. Sebenarnya bukan pertama sih, Janu pernah mencuri kecupan di kening Eva waktu gadis itu tertidur.
“I love you, Eva,”
Untuk kedua kalinya, Janu mengatakannya. Mengatakan jika dia mencintai Eva.
kak kenapa ga di fizo aja sih novel ini..