Di usianya yang beranjak remaja, pengkhiatan menjadi cobaan dalam terjalnya kehidupan. Luka masa lalu, mempertemukan mereka di perjalanan waktu. Kembali membangun rasa percaya, memupuk rasa cinta, hingga berakhir saling menjadi pengobat lara yang pernah tertera
"Pantaskah disebut cinta pertama, saat menjadi awal dari semua goresan luka?"
-Rissaliana Erlangga-
"Gue emang bukan cowo baik, tapi gue bakal berusaha jadi yang terbaik buat lo."
-Raka Pratama-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caramels_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 05
“Kak, bangun woy!” Daeren melompat-lompat di tempat tidur Rissa seperti anak kecil. Matahari telah terbit sejak beberapa menit yang lalu. Namun, Rissa juga belum terbangun dari mimpinya.
“Kak, lo nggak sekolah?” Daeren bertanya tepat di gendang telinga Rissa. Sontak ia langsung terbangun dan menatap sinis adiknya itu.
“Heh! Nggak sopan banget sih sama kakak sendiri!” gerutu Rissa.
“Hehe, habisnya tumben kakak belum bangun. Udah jam setengah tujuh nih.”
“HAH? SETENGAH TUJUH?! Ya udah ih minggir, gue mau mandi terus siap-siap dulu!” Rissa pun beranjak dari kasurnya lalu berlari ke kamar mandi, sedangkan Daeren memilih untuk menunggunya di lantai bawah.
...****************...
Beberapa menit kemudian, Rissa turun dari kamarnya dengan terburu-buru. Ia mengerutkan kening melihat adiknya begitu santai mengenakan kaos sambari mengunyah sepotong sandwich. Sedangkan jarum jam telah menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit.
“Lo nggak berangkat sekolah?”
“Sekolahku libur, soalnya guru-guru lagi ada acara”
“Enak banget, yaudah kalo gitu gue berangkat dulu. Lo jaga rumah, jangan main terus!” perintah Rissa.
“Siappp, oh ya kak ini ada titipan buat lo,” Daeren menyodorkan sepucuk surat yang dibungkus amplop berwarna biru muda.
“Dari siapa?”
“Ntar juga tau, cepetan berangkat gih!” Daeren mendorong kakaknya ke teras rumah agar segera berangkat. Ia melambaikan tangan melihat Rissa perlahan menjauh dari halaman rumah.
Sesampainya di depan sekolah, gerbag megah itu sudah tertutup rapat. Rissa melihat jam tangannya telah menunjukkan pukul tujuh lebih lima menit.
Artinya, ia sudah terlambat selama lima menit. Rissa mencari cara agar bisa masuk ke dalam tanpa ketahuan penjaga sekolah maupun guru yang sedang bertugas piket hari ini. Ia memilih untuk berjalan ke arah belakang sekolah. Saat ia melihat sebuah tangga dari bambu bersandar di pagar sekolahnya, ia memutuskan untuk menaiki tangga tersebut.
Sudah mencapai separuh dari anak tangga, tiba-tiba tangga yang ia panjat bergoyang hingga menyebabkan Rissa kehilangan keseimbangan. Alhasil ia terjatuh dari tangga bambu tersebut. Akan tetapi, ia tidak merasakan sakit. Perlahan ia membuka matanya dan ternyata tubuhnya tak sampai menyentuh tanah sebab saat ini seseorang sedang menahannya.
“Lo ngapain sih manjat-manjat tangga kayak gitu?” tanya cowok tersebut dengan posisi masih menggendong Rissa ala bridal style. Jarak yang tercipta diantara mereka semakin dekat ketika Rissa menoleh ke arahnya. Hal itu membuat jantung Rissa berdegup tak karuan hingga tanpa sadar ia masih diam untuk beberapa saat.
“Woy!” gue tau kalau gue ganteng, tapi jangan liatin gue terus dong! Badan lo berat tau,” ujar Raka membuyarkan lamunan Rissa. Sontak ia langsung turun sebab malu ketahuan memandangi wajah cowok tersebut.
Seseorang yang menyelamatkan adalah Raka, entah kebetulan atau bagaimana cowok tersebut bisa datang di waktu yang tepat.
“Gue mau masuk sekolah, jadi gue mau naik tangga itu,” gerutu Rissa.
“Tumben banget liat lo telat, biasanya datang pagi-pagi kayak mau ngebantuin tukang bersih sekolah,” Raka terkekeh melihat wajah Rissa semakin cemberut.
“Gue bangun kesiangan.”
“Oh, kalau mau masuk tuh bukan lewat sini, tapi lewat sana.” Raka menarik pergelangan tangan Rissa agar mengikutinya ke suatu tempat. Ia menunjukkan sebuah pintu tersembunyi yang tertutupi oleh semak-semak.
“Lo kok tau kalau ada pintu disini?” Rissa mengangkat sebelah alisnya karena bingung bagaimana bisa Raka menemukan pintu di balik semak-semak.
“Waktu itu gue gak sengaja nemuin pintu ini sama teman-teman gue gara-gara telat berangkat sekolah,” Raka menjelaskan awal mula ia menemukan pintu rahasia itu. Rissa hanya mengangguk-angguk mendengarnya.
“Lo mau masuk ngga?”
“Mau lah.”
“Yaudah ikut gue! Hati-hati kalau lewat, soalnya banyak duri di antara semak-semak itu,” Raka membuka pintu tersebut diikuti Rissa yang berjalan di belakangnya. Tangan mereka masih bergandengan sampai masuk ke area belakang sekolah.
“Akhirnya sampai juga,” ujar Rissa bernapas lega. Raka melihat jam di pergelangan tangannya yang menunjukkan sebentar lagi bel istirahat berbunyi.
“Habis ini jam istirahat, lo mau masuk ke kelas?” Rissa menggeleng.
“Yaudah, yuk ke kantin,” ajak Raka dan mendapat persetujuan dari Rissa.
“Eeittsss bentar, nih tangan lo lepasin dulu dari tangan gue!” Rissa melirik tangan mereka yang masih setia bergandengan.
“Sorry,” Raka melepas genggaman tangannya disertai ringisan. Setelah itu, mereka berjalan beriringan ke arah kantin.
Mereka tak pernah membawa tas ke sekolah sebab sudah menjadi kebiasaan seluruh murid di SMA ini menaruh bukunya di loker yang ada di kelas kecuali ketika ada kebutuhan yang harus dibawa, mereka akan menenteng tas ke sekolah.
...****************...
Mereka duduk di bangku pojok kantin, Raka terus berusaha mengajak Rissa berbincang namun hanya ditanggapi seadanya oleh Rissa. Perlahan, candaan yang dilontarkan Raka melelehkan dinding es di hati Rissa.
Tidak ada yang pernah tahu takdir tuhan akan berjalan seperti apa. Luka masa lalu akan terhapus oleh orang-orang baru yang perlahan hadir diantara perjalanan waktu. Perbincangan serta candaan itulah awal dimana bibit-bibit rasa mulai tumbuh.
Dunia adalah panggung sandiwara. Akan tetapi, ada pelaku antagonis di setiap adegannya dan kali ini mereka dipaksa oleh takdir untuk memainkan perannya. Di lubuk hati mereka masing-masing, rasa perlahan hadir tanpa sadar dan berharap tak pernah muncul lagi goresan luka hingga akhirnya menewaskan bibit cinta.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...