Buku Merah Maroon seolah menebar kutukan kebencian bagi siapapun yang membacanya. Kali ini buku itu menginspirasi kasus kejahatan yang terjadi di sebuah kegiatan perkemahan yang dilakukan oleh komunitas pecinta alam.
Kisah lanjutan dari Rumah Tepi Sungai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bung Kus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jendela Dunia
Anggoro menyingkap tumpukan ransel yang menimbun tubuhnya. Dia mengatur napas. Dadanya masih terasa berdebar tidak beraturan. Anggoro yakin sosok yang mengenakan jas hujan berwarna hitam tadi adalah seorang penjahat.
"Cairan merah di lengan orang tadi pasti darah," gumam Anggoro. Dia bergidik ngeri.
Bukan hal mustahil jika di tengah hutan ada seorang psikopat yang berkeliaran. Apalagi dari dulu sudah tersiar kabar, hutan milik Zainul Rich Man adalah tempat pembantaian. Mungkinkah sosok itu menyergap Rana dan Bastian? Anggoro ketakutan membayangkannya.
Perlahan Anggoro mengintip keluar tenda. Suasana berubah temaram. Cahaya matahari tertutup mendung hitam. Tidak ada siapapun di tanah lapang itu.
Anggoro memilih duduk berdiam di tenda. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Menyusul Aldo dan kawan-kawannya ke rumah Bu Anggun tentu beresiko. Jarak antara tempat perkemahan dengan rumah Bu Anggun beberapa ratus meter. Bukan tidak mungkin Anggoro disergap saat berjalan sendirian.
"Sial tidak ada sinyal!" gerutu Anggoro kala melihat layar handphone nya. Ia merasa terjebak. Sebentar lagi turun hujan, malam pun segera datang. Berdiam di dalam tenda sendirian tentu bukan pilihan yang menguntungkan.
Anggoro berpikir sejenak. Ia mengambil tas ranselnya. Kemudian mengeluarkan beberapa baju ganti, dan mengambil sebuah palu yang digunakan untuk memasang pasak tenda. Anggoro memasukkan jas hujan ke dalam ransel. Sedangkan baju ganti dan buku-bukunya dibiarkan berserakan.
Anggoro memutuskan untuk menyusul rekan-rekannya ke rumah Bu Anggun. Dia merasa harus bergerak cepat, tetapi perlu membawa alat yang bisa digunakan untuk membela diri. Untuk itulah ranselnya hanya diisi jas hujan saja. Palu kecil digenggamnya dengan erat.
Saat keluar dari dalam tenda, Anggoro disambut dengan suara guntur menggelegar. Angin pun bertiup lebih kencang dari sebelumnya. Setelah mengedarkan pandangan sejenak, Anggoro berjingkat setengah berlari menuju ke rumah Bu Anggun.
Ada sedikit penyesalan di hati Anggoro. Ia merasa seharusnya tidak perlu merajuk setelah dipukul Aldo tadi. Bukankah dia sudah terbiasa menjadi samsak hidup? Kenapa merajuk saat berada di tengah hutan? Seandainya saja dia membuang ego, dan ikut gerombolan Aldo ke rumah Bu Anggun, Anggoro tidak perlu bertemu sosok berjas hujan hitam yang berlumuran darah.
Sambil terus mengayun langkah, Anggoro sibuk dengan perdebatan di hatinya. Bagaimana jika ternyata sosok berjas hitam itu menargetkan orang-orang yang ikut perkemahan? Tapi kenapa? siapa? Anggoro kesal tidak mencoba mengintip wajah di balik jas hujan hitam.
"Atau mungkin aku yang berpikir berlebihan? Bisa saja yang memakai jas hujan tadi Rana atau Bastian. Mungkin juga Pak Nafi'. Lalu soal darah, mungkin aku salah lihat. Apa hutan ini mulai membuatku gila?" gumam Anggoro sendirian. Baru berlari beberapa meter saja, napasnya terasa sesak. Ia berhenti di bawah pohon akasia besar. Merapatkan tubuhnya pada batang berukuran jumbo itu.
Dalam keadaan hening, terdengar bunyi gemericik air sungai. Kebetulan tenggorokannya terasa kering. Ketakutan memang mencekik Anggoro sehingga untuk bernapas saja terasa sulit. Dia butuh membasahi mulutnya dengan air, menghilangkan dahaga sebelum pikirannya semakin gila.
Sementara itu, Aldo dan gerombolannya berada di ruang tamu rumah Bu Anggun. Yuzi dan Nana mulai membaca koleksi novel karya Zainul Rich Man. Buku bersampul merah maroon seperti warna darah kental berada digenggaman gadis juara beladiri nasional.
"Apa asyiknya membaca buku?" gerutu Aldo tiba-tiba.
"Untuk mengisi waktu luang, tidak ada yang salah bukan?" balas Nana ketus.
"Hey, bukankah cerita ini terlalu menyeramkan? Bahkan aku baru membaca di bagian prolog nya," sela Yuzi sembari menunjukkan buku di tangannya.
"Buku-buku Zainul Rich Man merupakan best seller untuk genre cerita misteri. Aku pernah membacanya dulu di perpustakaan. Buku itu sama dengan yang dibawa Pak Dolah," jawab Putra. Remaja itu berdiri di ambang pintu keluar.
"Ohh, yang terlempar saat di mobil tadi," sambung Gery manggut-manggut.
"Menjual karya fiksi untuk membangun kekayaan di tengah hutan seperti ini, hanya orang bodoh yang tertarik membacanya," balas Aldo terkekeh.
"Tunggu, lihatlah buku yang satu ini," sergah Nana. Meletakkan buku di atas meja dan menunjukkan halaman yang membuatnya antusias.
"Disebutkan seorang psikopat hendak membalas dendam atas kematian adik perempuannya. Beberapa remaja ditengarai bertanggungjawab atas kematian gadis SMA berkulit seputih salju."
Nana membaca sepenggal kalimat pada halaman depan. Ia mengedarkan pandangan pada teman-temannya. Wajah Aldo tampak memerah. Rahangnya mengeras.
"Kembalikan buku itu ke rak. Bacaan Tai Ngasu macam itu hanya untuk menakut-nakuti!" bentak Aldo.
"Aku memang paling bodoh di pelajaran sekolah. Tapi insting petarungku paling tajam Aldo. Bayangkan, bagaimana jika ternyata Pak Dolah adalah anggota keluarga gadis itu. Sapu tangan cukup menjadi penguat teoriku bukan? Bagaimana jika buku ini memberinya inspirasi?" ucap Nana bersungguh-sungguh.
Aldo merebut buku di tangan Nana dan melemparkannya ke lantai. Pada saat yang sama terdengar bunyi guntur menggelegar. Dan kebetulan Bu Anggun datang dari ruang belakang. Perempuan cantik itu membawa baskom berisi air keruh kemerahan.
"Kenapa melempar buku?" tanya Bu Anggun kalem. Akan tetapi tatapannya terasa tajam menusuk. Nana buru-buru memungut buku sembari meminta maaf.
"Maafkan kami. Kami berdebat soal isi buku ini. Dan teman saya sepertinya terbawa emosi," ucap Nana membungkuk. Bu Anggun menarik napas dalam-dalam.
"Buku adalah jendela dunia. Tapi mungkin bagi kalian generasi sekarang, handphone yang mengambil alih perannya," keluh Bu Anggun.
"Yap betul. Sayangnya, tidak ada sinyal di tempat ini. Kami kehilangan jendela," sambung Aldo cengengesan.
"Ada pemancar wifi di belakang rumah. Tapi ada sedikit masalah pada kabelnya. Mungkin jika kalian bisa memperbaikinya smartphone kalian itu bisa kembali smart," balas Bu Anggun mengimbangi gurauan Aldo.
"Coba tunjukkan pada kami. Siapa tahu kami bisa melakukan sesuatu, Bu." Gery menimpali. Rupanya Si jago basket itu pun tidak tahan berlama-lama tidak berselancar di dunia maya.
"Kalian lihat sendiri aku sedang sibuk kan?" Bu Anggun menjulurkan baskom di tangannya. Aroma amis menguar.
"Apa-apaan?" Aldo mengibaskan tangan.
"Jangan-jangan itu makanan untuk ikan aligator?" Putra terlihat antusias.
"Ya benar. Daging dan sedikit darah segar. Apakah kamu bersedia membantu?" Bu Anggun tersenyum lebar. Deretan giginya tampak putih bersih. Benar-benar cantik. Perempuan dewasa yang nyaris sempurna bagaikan bidadari. Bahkan remaja SMA di hadapannya pun semua mengakui kecantikannya.
"Biar. . .biar saya saja yang memberi makan ikan. Saya pernah memelihara ikan aligator," jelas Putra sedikit gagap.
"Baiklah. Untuk yang lain ikut aku ke belakang. Atau mungkin ada yang mau tetap disini membaca buku?" tanya Bu Anggun mengedarkan pandangan. Baik Yuzi maupun Nana mengembalikan novel ke dalam rak. Sepertinya mereka berdua enggan untuk melanjutkan membaca cerita bernuansa gelap itu.
Bu Anggun segera menyerahkan baskom di tangannya pada Putra. Kemudian mengajak Aldo dan lainnya menuju ke belakang rumah.
Wah, ada kuku? Kuku siapa yah 🤔🤔🤔
Mak Ijah kali ya yang grubak-grubuk mutusin kabel..