"Dengerin saya baik-baik, Ellaine! Kamu harus jauhin Antari. Dia bakal kuliah di luar negeri dan dia bakal ngikutin rencana yang saya buat. Kamu nggak boleh ngerusak itu. Ngerti?"
Gue berusaha ngontrol napas gue. "Nyonya, apa yang Ella rasain buat dia itu nyata. Ella—"
"Cukup!" Dia angkat tangannya buat nyuruh gue diam. "Kalau kamu beneran sayang sama dia, kamu pasti pengen yang terbaik buat dia, kan?"
Gue ngangguk pelan.
"Bagus. Karena kamu bukan yang terbaik buat dia, Ellaine, kamu tahu itu. Anak dari mantan pelacur, pecandu narkoba nggak pantas buat cowok kayak Antari."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Kembang Api
...Ellaine...
...────୨ৎ────જ⁀➴...
Kakek akhirnya bangun.
Gue yang paling terakhir sampai di rumah sakit karena lagi ada di kampus waktu dikabarin, terus busnya lama banget sampai sini. Nggak bisa bohong, gue lega banget pas tahu kakek udah sadar. Tapi tetap aja, gue nggak bakal tenang sebelum lihat sendiri kalau dia beneran baik-baik saja.
Pas gue dekati kamar kakek, gue kaget lihat Zielle duduk di luar. Wah, Anan serius banget sama cewek ini sampai bawa dia ke sini.
Seneng sih, tapi... ke mana yang lain?
Gue berdiri di depannya dan kasih senyum.
"Halo."
"Halo."
Gue nggak menutupi kekhawatiran di suara gue. "Kakek bagaimana?"
"Kayaknya sih baik-baik aja."
Gue hembuskan napas panjang, lega banget.
"Syukurlah, gue langsung ke sini begitu tahu."
Dia memperhatikan gue dengan rasa penasaran. "Lo kenal sama kakek?"
"Iya, gue udah tinggal di rumah itu seumur hidup gue. Nyokap gue dulu sering ngerawat dia sebelum akhirnya… ya lo tahulah, sebelum dia masuk panti jompo. Kakek itu orang yang spesial buat gue."
"Kebayang sih. Gimana rasanya hidup bareng keluarga Batari?"
Gue ketawa kecil.
Kalau saja lo tahu, Zielle.
"Cukup… menarik."
"Nggak kebayang sih, pasti lo dulu naksir salah satu dari mereka." Muka gue langsung panas, gue nunduk. "Serius? Siapa? Asal bukan Anan aja sih, masih aman."
Gue baru mau jawab, tapi tiba-tiba suara langkah hak tinggi makin deket ke arah kita. Gue langsung nengok nyari asal suaranya.
Nyonya Astuti.
Akhirnya dia muncul juga.
Dia jalan dengan pede pakai high heels merah runcing, rok putihnya cuma sampai lutut, dan bluesnya... astaga, belahannya norak banget. Ini rumah sakit, bukan pesta. Dandanannya heboh banget, dan rambutnya dicepol ketat. Tatapannya langsung nyerang Zielle.
"Kamu siapa?" tanyanya dengan nada meremehkan, kayak gitu tuh emang kerjaannya.
Zielle diam saja.
"Saya nanya, kamu siapa?"
Zielle nelan ludah sebelum jawab.
"Nama Saya Zi-Zielle."
Terus dia nyodorin tangan dengan ramah.
Duh, Zielle… lo nggak tahu ya, ibu ini orangnya bagaimana?
Nyonya Astuti Batari cuma ngelirik tangannya sebentar terus balik menatap dia.
"Oke, Zi-Zielle," katanya sambil ngeledek. "Ngapain kamu di sini?"
Gue langsung berdiri di samping Zielle, pasang badan buat jawab. "Dia ke sini sama Anan."
Begitu dengar nama Anan, Nyonya Astuti langsung angkat alis. "Kamu becanda? Ngapain juga Anan bawa cewek kayak dia?"
Terus dia mendelik. "Kenapa nggak nyonya tanya sendiri aja? Oh iya, lupa… komunikasi sama anak-anak emang bukan keahlian Nyonya."
Nyonya Astuti langsung merapatkan bibirnya. "Jangan mulai pakai nada itu, Ellaine. Kamu nggak mau cari masalah, kan?"
"Kalau gitu berhenti memperhatikan dia kayak gitu. Nyonya bahkan nggak kenal dia."
"Saya nggak punya waktu buat ngurusin kalian. Mana suami saya?"
Gue langsung nunjuk ke pintu, pengen banget dia cepet pergi dari sini. Akhirnya, dia masuk ke dalam, bawa pergi aura negatifnya.
Zielle kelihatan pucat. "Gila, tuh ibu nyebelin banget."
Gue senyum kecil. "Lo nggak tahu seberapa parahnya dia."
"Tapi lo kayak nggak takut sama dia."
"Gue tumbuh di rumah itu, jadi udah kebal sama orang-orang yang suka nakut-nakutin."
"Kebayang sih… Tapi gue kira karena dia bos lo, lo bakal..."
"Ngebolehin dia nginjek-nginjek gue?" potong gue. Dia udah bukan bos gue. Sekarang gue kerja buat Pak Batari, dan dia selalu jagain gue dari si penyihir itu. Apalagi setelah..." gue berhenti sejenak. " Udahlah, gue kebanyakan cerita tentang diri gue. Mending lo cerita tentang lo deh."
Kita duduk.
"Nggak banyak yang bisa diceritain, selain gue udah jatuh ke pesonanya keluarga Batari."
"Ya, gue bisa lihat itu. Tapi yang lebih mengejutkan, lo berhasil bikin si tolol itu ngakuin perasaannya."
"Dari mana lo tahu?"
"Karena lo ada di sini," jawab gue jujur. "Kakek Bahari itu orang yang paling penting buat mereka. Kalau lo sampai dibawa ke sini, itu berarti sesuatu."
"Gue udah sering denger cerita tentang beliau, jadi gue pengen banget ketemu langsung."
"Semoga aja bisa segera. Dia orang yang luar biasa."
Kita lanjut ngobrol, dan sekarang gue paham kenapa Anan jatuh sama dia. Zielle ini enak diajak ngobrol, dan ekspresinya bener-bener polos. Apa yang dia pikirin langsung kelihatan dari wajahnya. Gue suka dia.
Setelah beberapa lama, Anan keluar dari kamar bareng Antari dan Asta. Begitu mata gue ketemu sama Antari, langsung canggung. Dia tutup bibirnya rapat, terus langsung muter badan, pergi ke arah lorong.
Gue cari mata Asta, tapi dia malah pura-pura nggak lihat gue. Satu-satunya interaksi yang dia kasih cuma senyum tipis buat Zielle sebagai salam.
"Ayo cari kopi.... Kakek nanyain lo, Ellaine. Lo harus masuk kalau bokap-nyokap gue udah keluar," kata Asta tanpa sekalipun natap gue, lalu dia nyusul Antari.
Main cuek-cuekan, ya?
Oke, keluarga Batari, gue bisa hadapi ini.
Anan juga nggak lihat ke arah gue, cuma langsung genggam tangan Zielle. "Ayo, penyihir."
Gue nggak tahu kenapa, tapi gue ngerasa harus minta maaf. Kayaknya gue nggak sengaja bikin situasi jadi kayak gini, dan mungkin gue nggak selesaikan dengan cara yang terbaik.
"Maaf, ya." Anan akhirnya ngelirik gue.
"Ini bukan salah lo." Gue tahu dia jujur, Anan nggak pernah bohong. "Kemarahan dia bukan tanggung jawab lo, Ellaine."
Jelas dia ngomongin Antari. Dari semua Batari, dia yang paling gampang kebakar emosinya.
Gue lihat mereka jalan pergi, pas banget Pak Batari keluar dari kamar, bareng Nyonya Astuti yang mukanya datar banget tanpa ekspresi.
Gue pengen bilang kalau ibu ini keterlaluan, tapi ya… setelah sekian lama, gue udah tahu nggak bisa ngarep apa-apa dari Nyonya Astuti.
Pak Batari nunjuk pintu. "Dia nyariin kamu dari tadi, sejak dia sadar."
Ada nada cemburu di suaranya.
Serius?
Menurut gue, dia nggak punya hak buat iri sama perhatian ayahnya, apalagi setelah dia sendiri yang membiarkan kakek masuk panti jompo.
Pak Batari kasih senyum kecil sebelum akhirnya pergi bareng istrinya.
Gue masuk dan lihat Kakek Bahari yang terbaring di ranjang rumah sakit. Hati gue langsung nyesek, dan tanpa pikir panjang, gue lari buat meluk dia.
"Dasar kakek kepala batu!" Air mata gue langsung ngalir tanpa bisa gue tahan. Kakek cuma ketawa kecil dan membelai punggung gue pelan.
"Kakek baik-baik aja, Kakek baik-baik aja."
Gue mundur dikit, bibir gue gemetar nahan nangis. Gue pegang wajahnya dengan kedua tangan dan cium keningnya. "Ella sayang banget sama Kakek!"
Dia taruh tangannya di atas tangan gue, mata kita ketemu. Gue kaget lihat matanya berair. Kakek itu bukan tipe orang yang gampang nangis. "Kakek juga sayang banget sama kamu, Ellaine."
Gue kaget, dan kayaknya dia bisa baca ekspresi gue. "Kenapa? Kamu jauh lebih Kakek anggep anak dibanding burung pemakan bangkai yang ngaku anak Kakek itu. Kalau bukan karena kamu dan Asta, Kakek nggak bakal kuat di panti jompo itu." Dia usap pipi gue lembut. "Makasih, Nak."
"Kakek..." Suara gue pecah.
Dia senyum, garis-garis di wajahnya makin kelihatan.
Kita ngobrol lama sampai gue sadar udah waktunya bus terakhir lewat. Kakek bakal balik ke rumah Batari buat pemulihan, dan gue seneng banget karena itu berarti gue bisa jagain dia, nggak perlu khawatir dia sendirian di panti lagi. Gue peluk dia erat sebelum keluar dari kamar.
Pas gue keluar, Nyonya Astuti masih berdiri di luar sendirian.
Pak Batari belum balik?
Dia melihat gue dari ujung kepala sampai kaki.
"Kamu tumbuh jadi cewek yang cukup menarik, Ellaine." Nada bicaranya manis, tapi gue bisa dengar racun di baliknya. "Kamu harusnya manfaatin itu buat dapetin apa yang kamu mau, biar kamu nggak stuck jadi pembantu seumur hidup."
Gue kasih senyum palsu. "Gue nggak bakal pernah serendah Nyonya. No, thanks."
Dia ketawa. "Oh ya? Saya kira kamu udah mulai menggoda si tua Bahari."
Tangan gue langsung mengepal. "Nyonya lagi ngomongin diri Nyonya sendiri, ya? Nggak semua orang kayak Nyonya, untungnya."
"Kayak saya? Atau kayak ibumu?" Dia melangkah maju, matanya tajam. "Atau kamu lupa bagaimana dia jual diri cuma buat narkoba? Saya itu selalu penasaran, dia pernah jual kamu juga nggak? Buat dapetin obat-obatan itu ?"
...PLAKKKKK...
Tamparan gue bergema di lorong sepi itu. Gue ngomong pelan tapi tajam. "Nyonya boleh ngata-ngatain Ella, tapi jangan pernah bawa-bawa Mama Ella lagi."
"Kamu pikir kamu siapa berani nyentuh saya?!" Dia geram, tangannya langsung naik buat nampar balik, tapi gue tangkap pergelangannya di udara.
Gue langsung lepasin tangannya dengan kasar.
"Ella pergi dulu, Nyonya."
Tatapan penuh kebenciannya masih gue rasain di punggung gue pas gue muter badan dan pergi.
Gue hampir saja ketinggalan bus terakhir. Sepanjang jalan pulang, gue cuma mandang ke luar jendela, lihatin lampu-lampu kota yang terus berganti. Gue seneng, karena sekarang gue ada di titik di mana gue udah nggak takut sama Nyonya itu lagi. Gue bukan lagi cewek kecil yang dulu, lima tahun lalu…
Pikiran gue membawa ke masa itu...
...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...
....Pas gue pulang ke rumah Batari habis kelas tambahan di sekolah, gue lihat ruang perapian menyala. Aneh, soalnya lagi musim kemarau. Gue hampir aja langsung masuk ke kamar sebelum sadar ada seseorang duduk di depan api.
Nyonya Astuti.
"Oh, selamat malam, nyonya. Ella nggak lihat kalau Nyonya di situ." Gue coba ngomong sesopan mungkin, berharap interaksi ini bisa cepat selesai.
"Ellaine, saya udah nungguin kamu."
Suaranya halus, tapi senyumnya terlalu palsu buat bisa bikin gue tenang. Dia nunjuk ke kursi di depan dia. "Duduk."
Gue nurut, duduk di depannya, mau nanya ada apa. Tapi sebelum sempat buka mulut, mata gue langsung ngelirik benda yang ada di pangkuannya.
Itu buku harian gue.
"Saya nggak nyangka bisa nemuin ini di kamar kamu. Saya cuma iseng masuk, tapi ternyata ada di atas mejamu, gitu aja, kebuka." Dia geleng-geleng kepala. "Umur mu udah lima belas tahun, Ellaine, tapi masih segoblok ini."
Tenggorokan gue seret. "Nyonya nggak seharusnya ambil barang pribadi orang lain."
"Ini rumah saya. Saya bisa ngambil apa pun yang saya mau." Gue udah mau membantah, tapi dia potong duluan. "Kamu sepertinya lupa ya, Ellaine? Ini rumah Saya. Saya udah baik banget nerima kamu sama Ibumu, padahal kita semua tahu bagaimana kelakuan dia di jalanan."
Muka dia nunjukin ekspresi jijik. "Dan kami bener-bener bersyukur buat itu, Nyonya."
"Oh ya? Seberapa bersyukur kamu, Ellaine?"
Bulu kuduk gue meremang. "Sangat bersyukur."
"Bagus. Itu berarti kamu bakal nurut sama apa yang saya suruh tanpa banyak cingcong." Dia buka salah satu halaman di buku harian gue dan mulai baca keras-keras. "Hari ini Antari megang tangan gue lagi, dan rasanya jantung gue mau meledak. Dia lama banget megangnya, dan gue panik sendiri takut dia nyadar tangan gue basah karena keringatan."
Dia mendecak pelan. "Duh, so sweet ya."
Gue langsung nunduk, malu banget. Tapi dia nggak berhenti. Dia balik halaman lain dan lanjut baca.
"Antari ngajak gue nonton kembang api akhir pekan ini. Katanya dia mau ngomong sesuatu yang penting. Gue harap dia bakal nembak gue. Walaupun dia lebih tua, dan nyokap pasti bakal marah, gue nggak peduli. Apa yang gue rasain ini beneran, kayak di film-film."
Gue langsung ngangkat kepala, panik. "Nyonya, tolong..."
"Saya rasa ini udah cukup. Kamu tinggal di rumah ini, dan kamu malah naksir anak saya?" Suara dia dingin banget, bikin bulu kuduk gue berdiri. "Dengerin saya baik-baik, Ellaine. Kamu harus jauhin Antari. Dia bakal kuliah di luar negeri dan dia bakal ngikutin rencana yang saya buat. Kamu nggak boleh ngerusak itu. Ngerti?"
Gue berusaha ngontrol napas gue. "Nyonya, apa yang Ella rasain buat dia itu nyata. Ella—"
"Cukup!" Dia angkat tangannya buat nyuruh gue diam. "Kalau kamu beneran sayang sama dia, kamu pasti pengen yang terbaik buat dia, kan?"
Gue ngangguk pelan.
"Bagus. Karena kamu bukan yang terbaik buat dia. Ellaine, kamu tahu itu. Anak dari mantan pelacur ,pecandu narkoba nggak bakal cukup buat cowok kayak Antari."
Darah gue langsung naik ke kepala. "Ella rasa, Antari yang harus mutusin, bukan Nyonya."
Muka dia langsung berubah, tatapannya tajam.
"Hati-hati sama nada bicara mu, Nak. Saya berharap kamu bakal ngerti dengan cara halus." Dia menghela napas panjang, "Tapi baiklah, kita pake cara kasar. Saya udah ngomong sama suami, dan kalau kamu nggak mau nurut, sayangnya, kamu dan Ibumu harus angkat kaki dari rumah ini malam ini juga."
Dingin.
Dingin banget.
Darah gue serasa membeku.
Keluar dari rumah ini?
Kembali ke jalanan?
Gue tahu banget bagaimana dunia luar. Gue tahu banyak cowok yang masih nyariin nyokap gue. Dia udah bersih dari narkoba beberapa tahun ini. Gue nggak bisa biarin dia jatuh lagi. Kita nggak punya siapa-siapa di luar. Bahkan buat tidur semalem aja, duit kita nggak bakal cukup.
Nyonya Astuti menyilangkan kakinya, senyum menang. "Oh? Saya bikin kamu berada di posisi sulit, ya? Gampang kok. Kamu tinggal pilih. Ibumu, atau cinta monyet kamu itu."
Gue nggak perlu mikir lama.
Nyokap.
Selalu.
Dan dia tahu itu.
"Baik, Nyonya, Ella bakal jauhin dia seperti yang nyonya minta." Gue berdiri karena bisa ngerasa mata gue mulai berkaca-kaca.
"Saya mau tidur."
Malam itu gue nangis dalam diam sampai air mata gue habis, sampai dada gue sakit tiap kali tarik napas dalam-dalam.
Pas malam pesta kembang api tiba, itu jadi malam terbaik dalam hidup gue. Gue ngabisin malam itu bareng dia. Antari beliin gue gulali, es krim, bahkan boneka babi kecil yang akhirnya dia bayar karena kita gak pernah berhasil menangin dari permainan di pasar malam.
Waktu buat lihat kembang api akhirnya tiba. Kita duduk di rumput, diam-diam nikmatin pertunjukan itu.
Gue ngelirik ke Antari, wajahnya kelihatan makin cakep diterangi warna-warni kembang api. Tapi bukan itu yang bikin gue suka banget sama dia. Gue suka dia karena dia jadi dirinya sendiri sama gue. Dia selalu baik, selalu ngerti, selalu ada di tiap mimpi buruk gue, di saat gue lemah.
Dia bahkan pernah mukulin orang-orang yang nge-bully gue di sekolah, entah karena gue miskin atau karena mereka tahu apa yang dulu nyokap gue lakuin.
Dia selalu ada buat gue, dengan tatapan hangatnya dan senyum damai itu.
Gue pengen momen ini bertahan lama, karena gue tahu, setelah malam ini, semuanya bakal berakhir.
Gue balik melihat ke langit, asyik sama warna-warninya, sampai tiba-tiba gue ngerasain tangannya di atas tangan gue. Jantung gue langsung deg-degan, tapi gue gak narik tangan gue.
Jangan bilang apa-apa, Antari.
Please, biarin kita kayak gini sebentar lagi.
Gue noleh buat lihat dia, dan sebelum gue sadar, dia udah gerak cepet banget. Tiba-tiba dia megang wajah gue, terus nyium gue. Bibirnya yang lembut nempel di bibir gue, dan rasanya... gue langsung meleleh di tempat.
Itu ciuman pertama gue…
Gue seneng banget karena itu sama dia.
..."Lo cuma harus milih, nyokap lo atau cinta yang lo tulis di buku harian lo."...
Ngelawan semua yang hati gue bilang, gue dorong dia, menjauhinya. Gue pasang ekspresi setenang mungkin, pura-pura gak peduli.
Gue buka mulut buat ngomong sesuatu, tapi gak bisa. Kalau gue ngomong, gue bakal langsung nangis.
Ekspresi kecewanya bikin hati gue sakit. Gue lihat dia berdiri, terus pergi ninggalin gue.
"Antari…" Gue panggil dia, suara gue goyah, tapi dia udah pergi.
Maaf, Antari.
Maafin gue....
...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...
Begitu turun dari bus dan sampe rumah, gue langsung masuk kamar. Nyokap gue udah tidur. Gue duduk di sampingnya, memperhatikan dia. Dia emang pernah salah, tapi dia tetap nyokap gue. Gue bakal selalu milih dia.
Mata gue jatuh ke meja samping tempat tidur. Di situ ada boneka babi kecil yang Antari beliin buat gue pas malam kembang api itu. Gue ambil dengan dua tangan, dada gue sesak karena kangen dan nyesek.
"Waktu malam kembang api itu, gue sebenernya mau jadi pacar lo, Antari," kata gue pelan ke boneka itu.
Gue mau kita terus sama-sama.
akhirnya jadi tau asal luka di tangan antari dan memar di wajah asta
penasaran dgn part yg antari mukulin asta 🤔