Mardo, pemuda yang dulu cuma hobi mancing, kini terpaksa 'mancing' makhluk gaib demi pekerjaan baru yang absurd. Kontrak kerjanya bersama Dea, seorang Ratu Kuntilanak Merah yang lebih sering dandan daripada tidur, mewajibkan Mardo untuk berlatih pedang, membaca buku tua, dan bertemu makhluk gaib yang kadang lebih aneh daripada teman-temannya sendiri.
Apa sebenarnya pekerjaan aneh yang membuat Mardo terjun ke dunia gaib penuh risiko ini? Yang pasti, pekerjaan ini mengajarkan Mardo satu hal: setiap pekerjaan harus dijalani dengan sepenuh hati, atau setidaknya dengan sedikit keberanian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riva Armis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13: Api Kerja
Kami berjabat tangan. Gue merasa tangan cewek itu dingin banget. Hanya karena tertutupi bajunya aja jadinya dinginnya gak seberapa. Dia kemudian berjalan ke arah pintu yang tadi kekunci sendiri. Dia bisa keluar, dan pintu kembali normal. Gue rasa rumah gue perlu banyak renovasi.
"M-mau ke mana?"
"Sini, deh."
Gue mengikuti dia ke kamar mandi. Pedang gue masih tertancap di dindingnya.
"Ambil pedangnya. Nanti temboknya makin parah."
Gue mencoba menarik kembali pedang gue, dan buset! Nempel banget! Melihat gue yang kehabisan tenaga, tangannya membantu menarik pedang gue. Walau masih terasa berat, tapi gue merasa ada pergerakan. Kami menarik lebih kuat dengan seluruh tenaga, dan akhirnya pedang tercabut! Gue mental sampai keluar kamar mandi.
"Seru, ya!" kata cewek itu.
Gue memegangi punggung gue yang sakit karena terbentur pintu.
"I-iya ... seru."
Cewek itu membantu gue berdiri. Setelah gue memasang sarung pedang dan meletakkannya di meja, gue menyadari kalau cewek itu menghilang!
"H-halo ...."
Gue melihat ke semua sudut. Gak ada siapa-siapa.
"D-dea?"
Keran air tiba-tiba nyala lagi! Dea keluar dari kamar mandi sambil tersenyum.
"K-kamu ... maling gayung, ya?"
Dia tertawa.
"Enggak, lah. Aku suka aja dengerin suara keran air di rumah kamu ini."
Dia berjalan ke meja makan, membuka kulkas gue yang isinya cuma ada salju freezer dan bungkus nasi.
"Kamu belum makan, ya?" tanya gue.
Dia mengangguk.
"Bentar, ya. Tunggu di sini."
Gue masuk ke kamar, membuka sarung bantal dan mengumpulkan uang receh yang gue simpan di sana. Gue senang banget. Gue pikir uang gue cuma tinggal 4 ribu. Ternyata 5 ribu! Dea duduk di kursi sambil melihat sekeliling.
"Tunggu dulu, ya. Aku mau beliin kamu makanan."
"Ikut ...."
"Eh ... j-jangan! Kamu di sini aja. Aku gak lama, kok."
Dia tersenyum. Gue segera pergi ke warung. Semoga aja masih buka. Walaupun gue gak kenal siapa dia, tapi ketika gue melihat dia buka kulkas tadi, gue seakan mengerti perasaannya. Gue tahu rasanya kelaparan tengah malam dan gak ada makanan sama-sekali. Namun, gue, kan laki-laki. Gue bisa menahan lapar dan ngelanjutin tidur. Kemudian gue sampai di warung yang banyak bapak-bapak lagi ngopi sambil nonton bola.
"Mardo! Sini, sini ngopi dulu."
"Makasih, Pak. Lain kali, ya."
"Mau beli apa, Do?" tanya bapak pemilik warung.
Gue mengeluarkan uang receh yang dari tadi gue genggam dan menunjukkannya pada bapak itu.
"Mie instan 2 bungkus mau?" tanya bapak itu.
Gue tersenyum lebar. Artinya uang gue cukup!
"Eh, Do. Kamu kerja apa sekarang?" tanya bapak-bapak yang lagi nonton bola.
Gue meletakkan jari telunjuk di depan bibir, lalu mendekatkan diri ke bapak-bapak itu.
"Saya sekarang mata-mata, Pak."
6 orang bapak-bapak itu hening dan berpandangan. Lalu ....
"Oh ... mata-mata!? Bagus itu, Do!"
Pemilik warung menyerahkan kantong plastik berwarna hitam.
"Ini, Do."
"Makasih, ya, Pak. Pulang dulu."
Gue berjalan agak cepat, lalu sedikit berlari dengan senyum gembira. Dea masih duduk di kursi ketika gue datang. Gue mengangkat plastik hitam itu dan meletakkannya di atas meja, di depan Dea. Kami membuka plastik hitam itu. Terdapat dua bungkus mie instan dan dua butir telur ayam. Gue senang banget! Gue dikasih bonus! Dea menatap gue sambil tersenyum.
"Yuk kita masak," kata Dea.
Gue sedang menyiapkan panci. Ketika Dea mengambil mie instan itu, senyum di bibirnya memudar.
"Do ... kamu beli ini di mana?"
"Di warung depan. Langganan aku."
"Lihat ini, deh."
Dea menunjukkan bungkus mie itu. Sebuah tanggal kadaluarsa.
"Sekarang tanggal berapa?" tanya gue.
"22."
"23 besok, dong!?"
Gue melihat jam, sudah hampir jam 12 malam.
"Bukan besok, dong! 14 menit lagi!"
Gue agak sedih sebenarnya. Kalau cuma buat gue sendiri, sih gak apa-apa. Gue aja sering makan roti kadaluarsa biar dapat harga murah.
"Dia jahat, Do! Dia jahat! Dia jahat! DIA JAHAT, DO!"
Dea tiba-tiba mengeluarkan asap merah! Asap itu terbang menabrak jendela hingga pecah! Listrik tiba-tiba padam. Karena kaca jendela pecah, gue bisa melihat kalau rumah orang-orang juga jadi gelap. Gak lama, terdengar teriakan, disusul suara ledakan dan cahaya merah! Kebakaran!
Orang-orang keluar rumah dengan panik. Kebakarannya jadi semakin gede dan cepat banget! Kalau dikira-kira dari arahnya, gue punya firasat kalau itu tempat gue beli mie instan tadi! Kacau! Gue pengin pergi keluar dan kampret banget pintu gue kekunci sendiri lagi! Gue berlari mengambil pedang dan menebas pintu depan! Gila! Pintu gue malah belah dua!
Gue berlari ke arah cahaya api yang makin gede itu. Orang-orang panik dan berlarian. Mulai terdengar suara sirene pemadam kebakaran. Dan firasat gue benar! Warung yang baru aja gue datangi kebakaran, beserta rumah-rumah di sekitarnya. Seorang anak kecil teriak-teriak dan berlari ke orang-orang yang berkerumun.
"Bapak! Bapak masih di dalam! Bapak!"
Dari kobaran asap dan panasnya api, gue bisa melihat dengan samar kalau bapak pemilik warung sedang terjebak di sana! Gue nekat berlari menerobos dengan pedang di tangan kanan! Salah satu hal mustahil baru aja gue lakuin tadi, ketika gue membelah dua pintu gue sendiri. Dan kali ini, gue juga pengin membelah kobaran api. Gimanapun caranya! Kalau dilihat, gue malah jadi kayak orang gila. Mengayunkan pedang ke arah api yang berkobar. Dan tentu aja, gue cuma dapat panas dan gosong doang! Gue gak bisa menebas api.
Gue ditarik mundur oleh petugas pemadam kebakaran yang baru aja datang. Gue langsung dikasih handuk basah. Beberapa saat kemudian, gue melihat Dea berdiri di tengah kobaran api itu. Dia menangis sambil menatap gue. Selama ini dia selalu tersenyum setiap kali gue melihatnya. Ternyata, air matanya terasa begitu pilu saat gue menatapnya.
Hal aneh terjadi ketika pemadam kebakaran menyemprotkan air ke arah warung. Dea tiba-tiba terbang dengan asap merah seperti yang gue lihat sebelumnya, menahan semprotan air itu. Seperti ada payung raksasa yang gak kelihatan melayang di udara. Orang-orang tampak kebingungan.
Gue melihat bapak-bapak yang terjebak di warung itu sedang dikelilingi api yang semakin besar. Sekali lagi, gue berlari menerobos kobaran api itu. Dea memperhatikan gue dari udara. Masih ada air mata di pipinya. Gue mengayunkan pedang, berharap kali ini bisa menebas api itu. Lagi-lagi gak berhasil!
Gue teringat betapa baik hatinya bapak-bapak pemilik warung itu. Dia masih mau ngasih gue mie instan walau yang hampir kadaluarsa setiap kali gue pergi ke warungnya dengan uang yang sebenarnya kurang. Dia bukan orang jahat! Gue menggenggam pedang lebih kuat, mengambil posisi menebas dengan lebih yakin, dan gue gak tahu kenapa pedang gue jadi semakin berat. Gue segera mengayunkannya, dan terdengar sebuah suara yang gak asing.
"Lihat ini, Mardo!"
Pedang gue yang berwarna perak, mengeluarkan asap hitam dan menjadikannya semakin berat.
"Torgol!?"
Gue menebas kobaran api itu! Api yang tadinya bergelombang dengan hawa panas sekarang terbawa asap hitam ke udara. Gue punya jalan terbuka untuk berlari ke warung itu. Bapak-bapak itu pingsan dengan bajunya yang sebagian sudah terbakar.
"Kita padamkan apinya dulu, Mardo."
"Ya!"
Dengan sekali hentakan pedang, gue berhasil memadamkan seluruh api di warung dan sekitarnya. Torgol keluar dari pedang gue, membawa bapak itu pergi dan melemparnya ke petugas pemadam kebakaran. Gue berlari ke arah Torgol, tapi asap merah Dea jauh lebih cepat menerjangnya! Mereka kemudian menghilang.
Semua orang di sekitar masih panik dan kebingungan kenapa apinya bisa terangkat ke udara dan padam sendiri tanpa sempat terkena air. Gue berlari mengikuti intuisi, berharap bisa menemukan Torgol dan Dea. Dan berharap semuanya baik-baik aja.