Setelah aku selamat dari kecelakaan itu, aku berhasil untuk bertahan hidup. Tetapi masalah yang kuhadapi ternyata lebih besar daripada dugaanku. Aku tersesat dihutan yang lebat dan luas ini. Aku mungkin masih bisa bertahan jika yang kuhadapi hanyalah binatang liar. Tapi yang jadi masalah bukanlah itu. Sebuah desa dengan penduduk yang menurutku asing dan aneh karena mereka mengalami sebuah penyakit yang membuat indera penglihatan mereka menjadi tidak berfungsi. Sehingga mereka harus mencari "Cahaya" mereka sendiri untuk mengatasi kegelapan yang amat sangat menyelimuti raga mereka. Mereka terpaksa harus mencari dan mencari sampai bisa menemukan mata mereka yang hilang. Dan akhirnya mereka bertemu dengan kami. Beberapa penumpang yang selamat setelah kecelakaan itu, harus bertahan hidup dari kejaran atau mungkin bisa kusebut penderitaan mereka atas kegelapan yang menyelimuti mereka. Berjuang untuk mendapatkan "Cahaya Mata" mereka kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Foerza17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tamu tak Diundang
Malam pun telah larut. Dinginnya angin malam memaksa masuk melewati celah ventilasi ruang, disertai suara nyanyian jangkrik yang nyaring memecah keheningan malam. Dan seperti biasa, mataku tidak bisa untuk terpejam.
"Huft gabisa tidur lagi," desahku sambil melipat tangan kananku yang ku gunakan sebagai bantalan untuk kepalaku.
Aku pun mencoba untuk memejamkan kedua mataku lagi berharap aku bisa terlelap dan segera pergi ke dunia mimpi. Beberapa menit kemudian, terdengar suara seperti benturan pintu yang berulang. Aku yang belum terlalu terlelap seketika langsung merasa terganggu dan terduduk sambil mengumpulkan nyawa untuk bangun dan segera untuk memeriksa suara yang mengganggu itu
"Baru aja bisa tidur, udah ada gangguan lagi," gerutuku sembari mengucek mata kiriku.
Setelah nyawaku terkumpul, aku berjalan dengan langkah gontai menuju pintu keluar dan menggapai gagang pintu dengan niat untuk membukanya. Tiba-tiba sebuah tangan mencengkram tangan kananku disertai suara berbisik ditelingaku.
"Jangan dibuka. Itu mungkin mereka yang datang," ternyata suara berbisik itu adalah suaranya Mas Doni dengan tatapan tajam memandang pintu seperti menganalisa benda apa yang ada dibaliknya.
"Ikut aku!" bisik Mas Doni sambil berjalan berjinjit agar tidak menimbulkan kegaduhan.
Kami berjinjit menghampiri sebuah jendela yang berada disamping pintu keluar. Kami pun mengintip dari sebalik jendela itu. Aku sangat terkejut dengan apa yang aku lihat.
"Ternyata beneran mereka," gumam Mas Doni sambil menyeka kaca jendela yang dipenuhi debu itu.
Sosok itu berpakaian seperti guru. Dengan baju cokelat yang mulai pudar, dengan memakai celana hitam bersabuk kulit serta memakai sepatu pantofel yang koyak dan berlumuran lumpur mengotori sampai ke lututnya. Sosok itu juga terlihat membentur-benturkan badannya seperti berusaha untuk memaksa masuk kedalam ruangan ini. Mas Doni terlihat memandang menyapu sekeliling dan melihat situasi.
"Ada yang lain gak ya? Keknya dia gak sendirian deh," bisik Mas Doni dengan ekspresi cemas terlihat jelas diwajahnya. Aku masih memandangi dengan seksama kearah sosok itu.
"Liat deh mas. Keknya dia matanya buta. Kelopak matanya kek ketutup gitu," bisikku sambil menunjuk kearah sosok itu. Mas Doni menyipitkan kedua matanya untuk melihat lebih jelas kearah sosok itu.
"Bener juga. Hm. Sepertinya aku ada ide," jawab Mas Doni sembari beranjak pergi.
Dia mulai membangunkan Mas Haris dan seperti berbicara kepadanya. Aku masih berdiam diri disamping jendela dan tidak bisa mendengar apa yang mereka berdua rencanakan. Kemudian mereka berdua menghampiriku yang masih berdiri disamping pintu keluar.
Mereka kemudian masing-masing berdiri disisi pintu kanan dan kiri. Mas Doni melepas bajunya dan menggulungnya di kedua tangannya. Mas Haris memasang kuda-kuda seperti bersiap untuk melakukan sesuatu.
"Lu siap, Ris?" tanya Mas Doni sembari mengibaskan kaos di kedua tangannya.
"Gas!" sahut Mas Haris sembari memasang kuda-kuda bersiap untuk menyerang.
Sosok itu tetap membenturkan tubuhnya kearah pintu berulang kali. Dengan sesuai ritmenya, perlahan Mas Doni menarik kebawah handel pintu membuat seakan-akan sosok itu berhasil membuka pintu ini.
Ketika pintu itu terbuka, sosok itu sedikit terdorong kedalam. Mas Doni dengan cepat menutup kepala makhluk itu dengan kaosnya yang sudah dia siapkan sebelumnya. Ternyata itu berfungsi untuk menahan suara teriakkan makhluk itu.
Selagi makhluk itu ditahan oleh Mas Doni, dia memberi kode ke Mas Haris untuk segera mengeksekusinya. Mas Haris seketika meraih kepala makhluk itu kemudian langsung mematahkannya. Mahkluk itu terkapar seketika. Aku memandangi makhluk yang telah terbaring dilantai itu seraya berkata.
"Makhluk yang mengerikan,"
"Kalian bangunin yang lain, gue coba untuk melihat-lihat situasi sekitar sini dulu. Takut kalo mereka tiba-tiba dateng," perintah Mas Haris sembari beranjak keluar. Kami hanya mengangguk dan segera menghampiri yang lain untuk membangunkannya.
Setelah yang lain bangun, kami kemudian beranjak pergi dari ruangan yang seperti aula ini. Tetapi Mas Haris masih belum kelihatan batang hidungnya.
"Dimana Mas Haris?" tanya Vivi sembari menguap menahan kantuk.
"Kurang tau juga. Padahal tadi dia pamitnya cuman buat keliling-keliling doang liat kondisi," jawab Mas Doni yang berjalan disampingnya.
Kami pun mulai menjauh dari bangunan itu dan segera menuju ke hutan yang ada disamping bangunan ini. Tiba-tiba terdengar teriakan yang sangat familiar ditelinga kami.
"CEPETAN KABUR! MEREKA SEMUA DATANG!"
Remang-remang dikejauhan terlihat Mas Haris yang berlari terbirit-birit menghampiri kami. Tetapi dia tidak sendirian.
"Gawat! Semuanya cepat bantuin Haris segera!" perintah Pak Bonadi sembari berlari menuju ketempat Mas Haris.
Mas Haris dikejar puluhan zombie dibelakangnya. Kami pun segera bergegas menghampirinya untuk segera membantunya. Tetapi Mas Haris seperti mengkode dengan tangannya agar tidak mendekat kesana.
Tetapi kami tidak menghiraukannya. Kami segera bergegas untuk membantu menghadapi puluhan zombie itu. Tetapi sekali lagi Mas Haris memberi kode dengan tangannya agar tidak kesana dan menyuruh kami untuk segera menjauh darinya.
Terlihat dari mulutnya seperti berkata untuk segera menjauh. Kami hanya terdiam membeku merasa bimbang apa yang harus kami lakukan saat ini. Pak Bonadi pun berkata.
"Kita harus segera pergi dari sini,"
"Tapi Mas Haris masih disana pak," sanggah Vivi.
"Kamu lihat sendiri kan dia menyuruh kita untuk segera menjauh," ucap Pak Bonadi dengan nada sedikit membentak. Vivi hanya terdiam mendengar ucapan Pak Bonadi tersebut.
Kami pun mulai bergegas menjauh dari lokasinya Mas Haris. Aku langsung menggendong Aini dipunggungku dan menoleh kearah Mas Haris dengan maksud untuk mengucapkan selamat tinggal dengan rasa yang bersalah.
Terlihat di bibirnya dia tersenyum kearah kami. Sorot matanya seakan-akan berkata terima kasih telah menurut akan perintahnya. Kemudian Mas Haris pun berlari kearah yang berlawanan dengan kami.
Ya. Dia berlari menuju ke sekumpulan zombie-zombie itu. Dia mengambil sebuah balok kayu yang dia gunakan sebagai senjata. Dia langsung menerjang kearah zombie-zombie itu dengan gagah berani. Para zombie mulai menyerang Mas Haris tanpa ampun.
Tetapi luar biasanya Mas Haris mampu mengimbangi serangan para zombie itu dengan ayunan balok kayu yang sangat lihai. Aku terperanjat melihat pertarungan itu. Mas Haris tampak tertawa lepas menghadapi mereka. Dengan raut wajah yang terlihat bahagia dia mengayunkan balok kayu itu dengan penuh semangat dan tanpa rasa takut sedikitpun.
Tetapi sayang, hanya beberapa menit pertarungan itu kita bisa tahu siapa pemenangnya. Mas Haris kehilangan balok kayunya saat menampar salah satu zombie sehingga balok kayunya terpental menjauh. Tak kehabisan akal dia menyerang hanya dengan tangan kosong. Tetapi Mas Haris tetaplah sendirian menghadapi mereka.
Dari arah belakang terdapat zombie yang melompat kemudian menubruk tubuh Mas Haris. Mas Haris pun terjatuh. Para zombie pun langsung mengerubutinya. Mas Haris mulai tercabik-cabik oleh puluhan zombie yang terlihat sangat kelaparan itu.
Pak Juari seketika mengeluarkan senapannya berniat untuk membantunya. Tetapi langsung ditahan oleh Pak Bonadi. Terdengar perdebatan hebat antara Pak Bonadi dan Pak Juari. Tetapi aku tidak mendengarnya.
Tubuhku membeku terperangah tak percaya melihat pemandangan yang mengerikan itu. Mas Haris mengorbankan tubuhnya sendiri untuk melindungi kami. Dalam benakku bertanya.
"Kenapa dia sampai mengorbankan dirinya sendiri demi kami?"
Tiba-tiba tetesan air mata Aini yang menetes mengenai pundakku pun menyadarkanku. Aku langsung tersadar dan berniat untuk pergi dari area ini segera.
"Lebih baik kita segera pergi aja, Pak! Jangan sia-siakan pengorbanan Mas Haris untuk kita," ucapku seraya melerai perdebatan Pak Bonadi dan Pak Juari yang masih berdebat itu.
Pak Juari hanya mengangguk berat. Kemudian kami bersama-sama meninggalkan area ini.