Kirana, wanita berusia 30 an pernah merasa hidupnya sempurna. Menikah dengan pria yang dicintainya bernama Arga, dan dikaruniai seorang putri cantik bernama Naya.
Ia percaya kebahagiaan itu abadi. Namun, segalanya berubah dalam sekejap ketika Arga meninggal dalam kecelakaan tragis.
Ditinggalkan tanpa pasangan hidup, Kirana harus menghadapi kenyataan pahit, keluarga suaminya yang selama ini dingin dan tidak menyukainya, kini secara terang-terangan mengusirnya dari rumah yang dulu ia sebut "rumah tangga".
Dengan hati hancur dan tanpa dukungan, Kirana memutuskan untuk bangkit demi Naya. Sekuat apa perjuangan Kirana?
Yuk kita simak ceritanya di novel yang berjudul 'Single mom'
Jangan lupa like, subcribe dan vote nya ya... 💟
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep. 20 - Tangis Naya di Hari Pertama Sekolah
Ep. 20 - Tangis Naya di Hari Pertama Sekolah.
🌺SINGLE MOM🌺
Langit terlihat cerah di atas halaman TK, riuh suara anak-anak terdengar di mana-mana.
Para orang tua menunggu di depan gerbang sekolah sambil tersenyum bahagia menyambut buah hati mereka.
Beberapa ayah terlihat menggendong anak-anak mereka sambil tertawa, suatu pemandangan yang hangat dan penuh kasih sayang.
Adapun Kirana, ia berdiri di tepi gerbang dengan wajah yang penuh semangat menanti Naya keluar dari kelas.
Sesaat kemudian, Naya muncul dari pintu kelas dengan langkah lambat. Namun, raut wajahnya yang biasanya ceria kini tampak berubah menjadi murung.
"Naya...!," panggil Kirana sambil melambaikan tangan.
Naya pun menoleh perlahan dan menatap Kirana dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia langsung berlari ke arah ibunya dan memeluknya dengan erat.
"Hu hu hu hu hu hu... 😭😭😭😭😭."
Naya menangis.
“Naya, sayang, kenapa? Kok nangis? Ada apa di sekolah?," tanya Kirana panik sambil mengusap kepala putrinya yang mulai terisak.
Namun Naya tidak menjawab. Ia hanya terus memeluk Kirana semakin erat sambil melirik ke arah teman-temannya yang sedang bercanda ria bersama orang tua mereka, yang sebagian dari mereka digendong oleh ayahnya dengan bahagia.
"Sayang, bilang ke Ibu. Ada yang gangguin Naya di kelas? Atau Naya nggak suka sama pelajarannya?,” tanya Kirana lagi dan mencoba berbicara dengan lembut.
Namun Naya hanya terus menggeleng pelan sambil tetap menangis. Setelah beberapa detik kemudian, akhirnya, dengan suara kecil, Naya berkata, “Aku mau ayah, Bu... Aku juga mau kayak mereka. Aku mau ayah gendong aku…”
Teg!!!
Mendengar ucapan Naya, Kirana pun tertegun. Kata-kata Naya seperti pisau yang menusuk hatinya.
Kirana menarik napas panjang dan berusaha menenangkan diri agar tidak ikut menangis. Dengan lembut, ia berlutut sehingga sejajar dengan Naya lalu berkata, "Naya, sayang... Ibu tahu, kamu kangen sama Ayah, ya?.”
Naya pun mengangguk kecil sambil menyeka air matanya. “Aku lihat teman-teman di gendong ayahnya... Mereka ketawa-ketawa, Bu. Aku nggak punya Ayah lagi... hiks hiks hiks...,” ucap Naya dengan suara terisak.
Kirana lalu memeluk Naya dengan erat. “Sayang, Ayah memang nggak ada di sini lagi, tapi Ayah selalu ada di hati kita. Ayah pasti bangga sama Naya yang hari ini sudah sekolah dengan hebat.”
“Tapi aku mau Ayah, Bu... Aku pengen Ayah gendong aku... hu hu hu... 😭😭,” ujar Naya sambil terisak lebih keras.
Kirana lalu mengusap pipi Naya yang basah oleh air mata. “Ibu tahu rasanya berat, Nak. Tapi kamu tahu nggak, Naya itu anak yang sangat kuat. Naya itu kebanggaan Ibu. Dan mulai sekarang, kalau Naya mau gendong, Ibu yang akan gendong kamu, ya?.”
Kirana pun mencoba mengangkat Naya ke gendongannya. Meski Naya sudah cukup besar, Kirana berusaha tersenyum ceria.
“Lihat, sekarang Naya digendong Ibu, kan? Yuk, kita pulang sambil Ibu gendong.”
Sepanjang perjalanan menuju parkiran, Naya masih memeluk leher Kirana erat-erat. Meski berat, Kirana tidak menunjukkan rasa lelahnya. Ia terus berbicara dengan lembut untuk menenangkan Naya.
“Naya tahu nggak, Ibu selalu bangga sama kamu. Kamu itu anak yang hebat. Hari ini kamu sudah belajar, bermain, bahkan berani di sekolah. Itu luar biasa, lho,” ujar Kirana sambil mencium pipi Naya.
“Makasih, Ibu... Aku janji nggak nangis lagi besok," ucap Naya yang mulai tersenyum kecil, meski matanya masih sembap.
**
Sebelum sampai ke rumah, Kirana sengaja mampir untuk memastikan keadaan ruko cateringnya, terlebih setelah beberapa hari ia fokus pada persiapan sekolah Naya.
Saat tiba di depan ruko, Kirana mendapati pintu sedikit terbuka. Dari sela pintu, ia melihat Rini sibuk berbicara dengan seseorang di dalam ruko.
Kirana mengintip dengan hati-hati tanpa membuat suara, rasa penasarannya pun terusik ketika melihat beberapa kardus berisi bahan-bahan makanan diangkut oleh pria asing ke mobil boks yang terparkir di depan ruko.
“Rini, ini sudah semua?,” tanya pria itu sambil menutup salah satu kardus.
“Sudah, ini yang kamu pesan. Ingat, jangan bilang siapa-siapa soal ini, ya. Aku kasih harga spesial karena stoknya bagus,” jawab Rini dengan santai.
Kirana pun terpaku dengan hati yang mulai bertanya-tanya. Ia mencoba berpikir positif, karena mungkin itu pesanan catering biasa yang Rini urus karena Kirana sedang sibuk.
Namun, semakin ia mendengar, semakin ia merasa ada yang tidak beres.
“Rini, kalau begini terus, aku pasti langganan sama kamu. Jangan lupa, minggu depan aku pesan lagi, ya,” ucap pria itu sambil menyerahkan amplop pada Rini.
Rini lalu menerima amplop tersebut dengan cepat dan memasukkannya ke saku celemeknya. “Tenang saja, stok di sini melimpah. Kamu tahu, bosku nggak terlalu awas kalau soal ini,” ujar Rini sambil tertawa kecil.
Hati Kirana mencelos mendengar ucapan Rini. Apakah bahan-bahan itu benar-benar untuk pesanan catering, atau Rini menjualnya untuk keuntungan pribadi?
Kirana berusaha menahan emosinya dan memutuskan untuk masuk setelah pria itu pergi.
“Ibu, kenapa kita nggak masuk?,” tanya Naya yang sedari tadi diam di samping Kirana.
“Sabar, Sayang. Ibu mau pastikan semuanya dulu,” jawab Kirana sambil mengelus kepala Naya untuk menenangkannya.
Setelah mobil boks itu pergi, Kirana melangkah masuk ke ruko dengan tenang. Sementara, Rini yang sedang membereskan kardus terkejut melihat kehadiran Kirana.
“Bu Kirana! Eh, saya kira ibu nggak mampir hari ini,” kata Rini yang terlihat gugup.
“Iya, tadi dari sekolah Naya, aku pikir sekalian mampir ke sini. Oh ya, tadi aku lihat ada mobil boks di depan. Apa ada pesanan besar?," tanya Kirana yang tersenyum tipis dan mencoba bersikap biasa.
Rini terdiam sejenak, matanya terlihat mencari alasan. “Iya, Bu. Itu pesanan tambahan dari salah satu pelanggan. Aku pikir ibu lagi sibuk, jadi aku urus sendiri.”
“Oh, begitu. Tapi, kenapa transaksinya terlihat terburu-buru? Apa pelanggan itu tidak mau menunggu di tempat biasa kita layani?."
Rini pun tergagap mendengar pertanyaan itu. “E-eh, dia... pelanggan lama, Bu. Dia nggak suka terlalu lama di tempat umum.”
Kirana lalu menatap Rini dalam-dalam.
“Rini, kamu tahu kan, semua bahan di sini sudah tercatat sesuai stok? Kalau ada yang keluar untuk pesanan, seharusnya aku tahu, apalagi soal pembayaran. Amplop tadi, itu uang pembayaran mereka, kan? Bisa aku lihat?.”
Rini mulai terlihat gelisah, tangan gemetarnya berusaha menyembunyikan amplop di saku celemeknya. “Aduh, Bu, tadi saya belum sempat catat. Tapi saya jamin semuanya aman kok," sangkalnya.
Kirana mencoba menahan amarahnya karena semua alasan Rini. “Rini, selama ini aku percaya padamu. Kalau memang ada hal yang perlu dijelaskan, aku harap kamu bicara jujur. Jangan sampai kepercayaan ini rusak karena kesalahan kecil.”
Setelah membisu beberapa saat, Rini akhirnya menangis. “😭😭😭 Bu Kirana, aku minta maaf! Aku... Aku memang menjual beberapa stok bahan untuk keuntungan pribadi. Aku tahu ini salah, tapi aku butuh uang tambahan untuk kebutuhanku sendiri...," ujar Rini dengan berurai air mata.
Kirana merasa kecewa, tapi ia tetap berusaha tenang. “Rini, kenapa kamu tidak bicara langsung denganku kalau kamu butuh uang? Aku selalu berusaha membantu kamu, tapi kenapa harus dengan cara seperti ini?.”
"Aku takut, Bu. Takut ibu marah atau kecewa...," jawab Rini seraya menunduk.
“Rini, aku kecewa, tapi aku minta, jangan mengulangi hal seperti itu lagi."
Bersambung...