Btari harus menjalani pernikahan kontrak setelah ia menyetujui kerja sama dengan Albarra Raditya Nugraha, musuhnya semasa SMA. Albarra membutuhkan perempuan untuk menjadi istru sewaan sementara Btari membutuhkan seseorang untuk menjadi donatur tetap di panti asuhan tempatnya mengajar.
Sebenarnya Btari ragu menerima, karena hal ini sangat bertolak belakang dengan prinsip hidupnya. Apalagi Btari menikah hanya untuk menutupi skandal Barra dengan model papan atas, Nadea Vanessa yang juga adalah perempuan bersuami.
Perdebatan selalu menghiasi Btari dan Barra, dari mulai persiapan pernikahan hingga kehidupan mereka menjadi suami-istri. Lantas, bagaimanakah kelanjutan hubungan kedua manusia ini?
Bagaimana jika keduanya merasa nyaman dengan kehadiran masing-masing?
Hingga peran Nadea yang sangat penting dalam hubungan mereka.
Ini kisah tentang dua anak manusia yang berusaha menyangkal perasaan masing
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RINDU?
Sementara dalam perjalanan kembali ke tempatnya menginap, Btari sama sekali tidak menyadari bahwa ponselnya berdering beberapa kali di dalam tas. Barra yang menelepon tampak kesal sekaligus khawatir. Ia duduk di meja kerjanya dengan tatapan penuh kegelisahan, menatap layar ponsel yang terus-menerus menunjukkan tanda panggilan tak terjawab.
"Ada apa sih, Bar? Kok dari tadi nelpon terus?" tanya Ryan, yang kebetulan masuk ke ruangan Barra.
Barra mengusap wajahnya dengan frustrasi. "Gue udah nyoba hubungin Btari berkali-kali, tapi dia nggak angkat. Padahal gue ada hal penting yang harus dia tahu."
Reza mengernyit, jelas bingung. "Penting apa sih? Sampai segitunya lo khawatir?"
Barra terdiam sejenak, lalu akhirnya berkata, "Gue dapat kabar dari kenalan gue di daerah tempat dia lagi proyek. Katanya ada laporan soal cuaca buruk yang bakal datang. Gue cuma mau kasih tahu dia supaya lebih hati-hati apalagi di musim hujan seperti sekarang."
Ryan mendesah, mencoba meredakan kegelisahan temannya. "Mungkin dia lagi sibuk atau ponselnya ketinggalan. Lo tenang dulu. Kalau penting banget, coba hubungi salah satu temannya di sana."
Barra menggeleng. "Gue nggak punya kontak mereka. Dan gue nggak suka situasi ini. Gue nggak bisa tenang kalau nggak tahu dia baik-baik aja."
Ryan menatap Barra dengan pandangan penuh tanya. Ia tahu hubungan Barra dan Btari hanyalah perjanjian kontrak, tetapi perhatian yang ditunjukkan Barra saat ini jelas lebih dari sekadar kewajiban formal.
"Kita lihat nanti, Bar," kata Ryan, mencoba menenangkan. "Kalau sampai malam nggak ada kabar juga, baru kita pikirin langkah lain."
Barra hanya mengangguk lemah, matanya kembali tertuju ke ponsel, berharap panggilannya akhirnya akan dijawab.
Barra menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil memandangi layar ponselnya. Semalam ia benar-benar lupa untuk menghubungi Btari. Telepon panjang bersama Nadea, kekasihnya, menyita seluruh waktunya. Kini, perasaan bersalah mulai menggelayut.
Pagi tadi, mamanya yang menelepon dan mengingatkan soal kondisi alam di lokasi proyek Btari. "Barra, Mama dengar cuaca di sana sedang tidak mendukung. Apalagi daerahnya kan dekat dengan perbukitan. Coba kamu pastikan Btari baik-baik saja," ucap sang mama dengan nada cemas.
Sejak itu, Barra mencoba menghubungi Btari, tapi hasilnya nihil. Panggilan tak terjawab semakin membuatnya gelisah. Di satu sisi, ia sadar hubungannya dengan Btari hanyalah kontrak, tetapi bayangan gadis itu yang terluka dan berada di tempat terpencil membuatnya tidak tenang.
Jauh dari tempat Barra sekarang, Btari baru sampai di rumah. Setelah Raka pamitan ia segera melangkah ke rumah. Setelah melepas sepatu di depan rumah tempat ia menginap, Btari segera menuju kamarnya. Ia meletakkan tas dan meraih ponselnya yang tergeletak di meja. Mata Btari sedikit membulat melihat banyak panggilan tak terjawab dari Barra.
“Hah, ada apa lagi?” gumamnya pelan, mengusap layar untuk mengecek pesan yang mungkin tertinggal.
Tak lama, ponselnya kembali berdering. Nama "Barra" tertera jelas di layar. Btari mendesah, lalu menjawab panggilan itu dengan nada yang terdengar cuek. "Halo, ada apa, Bar?"
Di seberang sana, suara Barra terdengar sedikit tegang. "Btari, kenapa dari tadi nggak angkat telepon? Kamu nggak apa-apa, kan?"
Btari mengernyit. "Aku baik-baik aja. Kenapa?"
Barra terdiam sejenak sebelum melanjutkan dengan nada lebih serius. "Aku dengar dari Mama kalau cuaca di tempatmu nggak mendukung. Ada apa-apa nggak? Jangan keluar sembarangan."
Btari tersenyum tipis meski tidak terlihat. "Aku baik-baik aja, Barra. Memangnya kamu khawatir?" tanyanya setengah bercanda, tetapi ada nada datar di baliknya.
"Aku khawatir, Bi. Kamu kan sudah tahu tempat itu rawan. Jangan anggap remeh," ujar Barra dengan nada yang mulai kesal.
"Udahlah, Bar. Jangan secemas itu. Kalau kekasihmu tau, dia bisa marah."
"Nadea tidak akan seperti itu, Bi. Dia tidak mungkin cemburu hanya karena itu. Lagipula dia kenal kamu. Nggak mungkin dia secemburu itu."
"Iya. Terserah kamu. Aku tidak mau kalau sikapmu yang terlalu berlebihan membuatku terlibat drama kalian berdua." Kata Btari datar.
"Lupakan itu, Btari. Kamu harus hati-hati disana. Kabari aku kalau ada apa-apa. Aku tidak mau orang-orang menyalahkanku kalau sampai terjadi apa-apa denganmu."
Btari berdecih sinis. Ternyata karena ini kecemasan Barra tadi. Validasi orang-orang sekitar.
Btari mendesah, merasa percakapan ini terlalu dramatis. "Barra, aku tahu batasanku. Kalau nggak ada apa-apa lagi, aku mau istirahat. Satu lagi, nggak perlu bersikap layaknya suami yang baik. Ingat, kita hanya suami-istri sementara."
Tanpa menunggu respons lebih lama, Btari mengakhiri panggilan. Ia meletakkan ponselnya di meja dan menghela napas panjang. Walaupun ada sedikit rasa bersalah, ia memilih untuk tidak terlalu memikirkan ucapan Barra. Dalam hatinya, Btari merasa tidak ingin terlalu bergantung pada pria itu—suami kontraknya yang seolah hanya ingin terlihat sebagai lelaki yang baik di hadapan semua orang.
"Kalau bukan karena aku memang butuh uang untuk panti, nggak bakalan Bar aku mau ikut permainan kamu sama pacarmu itu." Gumamnya.
...****************...
Di ruangannya yang biasanya tenang, Barra terlihat gusar. Tangannya mengetuk-ngetuk meja sambil melihat ponselnya yang baru selesai menelpon Btari. Nada bicara gadis itu sedatar biasanya. Namun ucapan terakhir Btari membuat Barra tidak suka. Gadis itu terlalu meremehkan kekhawatiranny.a. Padahal sudah seharusnya Barra khawatir. Apalagi mereka baru satu bulan menikah. Apa kata orang nanti kalau terjadi apa-apa dengan Btari? Setidak becus itukah dirinya menjadi suami?
Dari balik pintu, dua sahabatnya, Ryan dan Dika, melongok, kemudian masuk tanpa mengetuk. "Bar, lo kenapa sih? Dari tadi kelihatan uring-uringan," tanya Ryan sambil duduk di kursi depan meja Barra.
Dika, yang mengikuti dari belakang, ikut menimpali. "Iya, tadi uring-uringan karena Btari tidak angkat telepon. Nah sekarang apa... sesuatu yang lain?" tanyanya sambil mengangkat alis.
Barra menghela napas panjang, kemudian bersandar di kursi. "Nggak ada apa-apa," jawabnya singkat, meski jelas terlihat ia tidak meyakinkan.
"Jangan bohong, Bar," Dika menyelidik. "Lo gelisah kayak gini pasti karena Btari, kan? Lo lagi khawatir sama dia?"
Barra melirik tajam ke arah Dika tetapi akhirnya menyerah. "Iya, gue khawatir. Dia lagi di pedesaan buat proyek fotografinya, Cuaca disana lagi gak bagus. Barusa dia gue telepon, responnya malah terkesan meremehkan kekhawatiran gue. Mana ngingetin masalah status dia sama gue lagi. Mau gimanapun, dia kan tetap istri gue. Bisa malu gue kalau sampai terjadi apa-apa sama dia."
Dika mengerutkan kening, jelas bingung. "Tunggu, ini Btari yang kita omongin? Istri kontrak lo itu? Gue kira hubungan kalian biasa-biasa aja. Kenapa lo sampai segelisah ini?"
Ryan mengangguk. "Lagian lo musingin omongan orang atau emang khawatir sama dia?" Tanya Ryan.
"Dua-duanya lah. Abangnya juga udah kasih amanah buat jagain dia. Orang tua gue juga. Belum lagi nanti media. Gue nggak mungkin nggak peduli sama dia. Gimana pun juga, Btari sudah membantu menyelamatkan nama baik gue dan keluarga gue."
"Kalau emang peduli, harusnya peduli aja, Bar. Nggak usah bawa embel-embel nama baik. Btari bisa salah mengartikan hal itu." Nasehat Ryan. "Artinya kalau emang mau baik, ya udah baik aja. Jangan berharap validasi orang sekitar."
"Maksud lo apa, Yan?" Tanya Barra seperti tidak suka. "Lo mau bilang kalau kekhawatiran gue cuma karena untuk menjaga nama baik gue?"
"Lo selalu sibuk sama nama baik, Bar. Lo nggak sadar perbuatan lo bisa membuat orang-orang di sekitar lo terkena imbasnya." Jawab Ryan. Wajahnya serius.
Dika berdiri menengahi dua sahabatnya yang seperti tersulut emosi. "Sabar, Yan, Bar. Jangan marah-marah. Semua bisa diselesaikan dengan kepala dingin."
"Gak, Dik. Ini anak harus sadar. Dari awal perbuatan dia sama Nadea aja udah salah. Giliran nama baiknya dan keluarganya terancam karena skandal yang dia buat, dia panik. Tapi untuk proyek besar kita yang hampir gagal, dia nggak sepanik itu. Lo egois, Barra. Seharusnya gue nggak menyarankan untuk melibatkan Btari disini."
"Ada masalah apa sama lo sih, Yan? Kenapa jadi bawa-bawa Nadea juga?"
"Karena dia, penyebab semuanya, Albarra." Gertak Ryan.
Dika diam. Namun menatap keduanya. "Ryan nggak bermaksud bawa Nadea, Bar. Dia cuma nggak mau lo bilang peduli sama Btari tapi sebenarnya yang lo khawatirkan adalah nama baik sama karir lo aja." Kata Dika menepuk bahu Barra.
"Gue nggak sejahat itu. Bagaimana pun Btari adalah tanggung jawab gue. Gue nggak mau dia terluka."
Suasana mulai tenang. Ryan tidak lagi memasang wajah tegang. Sementara Barra pun begitu.
"Tapi ini lo yakin kesal sama Btari cuma karena itu? Bukan karena dia nggak ada ngabarin lo sejak dia sampai di lokasi?" Tanya Dika ingin tahu.
"Gue..... Iya, cuma karena itu. Lagian dia nggak ada kewajiban buat ngabarin gue setiap saat." Jawab Barra, terselip rasa lain di hatinya.
Bohong jika ia kesal hanya karena itu. Bohong jika ia merasa tidak ada yang berubah sejak Btari pergi. Dia, tiba-tiba rindu dengan kehadiran Btari.
ceritanya kayak beneran, jd senyum" sendiri