Ceritanya berkisar pada dua sahabat, Amara dan Diana, yang sudah lama bersahabat sejak masa sekolah. Mereka berbagi segala hal, mulai dari kebahagiaan hingga kesedihan. Namun, semuanya berubah ketika Amara menikah dengan seorang pria kaya dan tampan bernama Rafael. Diana yang semula sangat mendukung pernikahan sahabatnya, diam-diam mulai merasa cemburu terhadap kebahagiaan Amara. Ia merasa hidupnya mulai terlambat, tidak ada pria yang menarik, dan banyak keinginannya yang belum tercapai.
Tanpa diketahui Amara, Diana mulai mendekati Rafael secara diam-diam, mencari celah untuk memanfaatkan kedekatannya dengan suami sahabatnya. Seiring berjalannya waktu, persahabatan mereka mulai retak. Amara, yang semula tidak pernah merasa khawatir dengan Diana, mulai merasakan ada yang aneh dengan tingkah sahabatnya. Ternyata, di balik kebaikan dan dukungan Diana, ada keinginan untuk merebut Rafael dari Amara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
diana sedang duduk sambil memandangi ponsel nya,tangan nya mengepal kuat,
"kenapa dia baik baik saja,setelah aku merebut suami nya."gumam nya dengan mata yang tertuju kepada postingan amara beberapa menit yang lalau,dia memposting diri nya sedang duduk di kantor dan menandatangi dokumen,
Dia menghempaskan ponsel ke tempat tidur dan mulai mondar mandir di kamarnya. Hatinya dipenuhi oleh rasa iri yang tak bisa ia kendalikan.
Beberapa jam kemudian, Diana menelepon Rafael, berharap mendengar sesuatu yang menenangkan.
Diana berbicara di telepon"Rafa, kau di mana? Aku sudah menyiapkan makan malam."
Rafael menjawab dengan suara dingin"Aku sibuk, Diana. Jangan tunggu aku malam ini."
Telepon terputus begitu saja. Diana menatap layar ponselnya dengan ekspresi frustrasi.
"Sibuk? Atau kau sedang memikirkan Amara lagi?"
Dia membanting ponsel ke meja. Pikirannya dipenuhi oleh bayangan Amara yang masih tersenyum bahagia, sementara dirinya merasa kosong meskipun telah memiliki segalanya.
Beberapa hari kemudian, Diana memutuskan untuk menemui Amara. Ia membutuhkan jawaban.
Mereka bertemu di sebuah kafe yang tidak terlalu ramai. Amara datang dengan senyuman yang sama, membuat Diana merasa semakin terpojok.
Amara tersenyum ramah"Diana? Tumben kita bertemu. Ada apa?"
Diana berusaha tersenyum, namun nadanya sinis "Kamu kelihatan bahagia, Mara. Bahkan setelah semuanya... bagaimana kamu bisa seperti ini?"
Amara menyesap kopinya dengan tenang, lalu menatap Diana.
"Kebahagiaan itu bukan tentang apa yang orang lain ambil darimu, Diana. Tapi tentang bagaimana kamu tetap berdiri meski badai menghantammu."
Diana terdiam, hatinya tersengat oleh kata kata Amara.
Diana berkata dengan suara melemah"Tapi aku sudah mengambil segalanya darimu. Rafael, pernikahanmu... bagaimana kamu bisa tetap tersenyum?"
Amara tersenyum tipis "Karena aku tahu, kebahagiaan itu tidak bisa dicuri. Kalau aku terus larut dalam kesedihan, berarti aku membiarkan kalian menang. Tapi aku memilih untuk memulai hidupku yang baru, tanpa dendam, tanpa beban."
Diana tak mampu berkata kata. Amara berdiri, meletakkan uang di meja untuk membayar pesanannya.
"Hidup ini terlalu singkat untuk membenci, Diana. Aku harap kamu juga bisa menemukan kebahagiaanmu, bukan dari merusak hidup orang lain."
Amara pergi, meninggalkan Diana yang duduk terpaku. Kata kata Amara terus terngiang di kepalanya, membuat hatinya bergolak antara rasa iri dan penyesalan. Untuk pertama kalinya, Diana merasa bahwa kebahagiaan yang ia perjuangkan dengan cara yang salah justru membuatnya semakin jauh dari apa yang ia inginkan.
--
Amara berdiri di depan cermin besar di kamarnya, menatap bayangan dirinya yang tampak tenang di luar, namun rapuh di dalam. Meski semua orang memujinya karena tetap tersenyum dan terlihat kuat setelah perceraiannya, hanya dia yang tahu betapa sakitnya luka itu.
Pikirannya kembali ke pertemuannya dengan Diana di kafe beberapa hari yang lalu. Amara masih ingat bagaimana Diana menatapnya dengan sinis, seolah ingin menunjukkan bahwa dia telah memenangkan segalanya. Yang paling menyesakkan adalah saat pandangannya tanpa sengaja jatuh pada perut Diana yang membuncit tanda kehidupan baru yang tumbuh di rahim perempuan yang telah merebut suaminya.
Amara menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata. Dalam hatinya, dia merasakan campuran sakit, marah, dan kehilangan yang mendalam.
Amara berkata dalam hati "Tuhan, aku sudah kehilangan semuanya. Dan sekarang... mereka akan punya sesuatu yang tak pernah bisa aku miliki."
Tapi dia tahu, menunjukkan kelemahannya di depan Diana hanya akan membuat perempuan itu semakin puas. Jadi, Amara memilih untuk menelan rasa sakitnya dan tetap berdiri tegak.
--
Rafael duduk di ruang kerjanya, lampu-lampu redup menyinari meja penuh dokumen yang tak ia sentuh. Pandangannya kosong, pikirannya melayang jauh ke masa lalu ke momen-momen sederhana namun penuh makna bersama Amara.
Ia mengingat bagaimana Amara selalu menyambutnya dengan senyum hangat sepulang kerja, bagaimana perempuan itu membuat segalanya terasa lebih ringan hanya dengan keberadaannya.
Rafael berbicara dalam hati "Amara... apa yang aku pikirkan waktu itu? Mengapa aku bisa begitu bodoh membiarkanmu pergi?"
Hidup bersama Diana ternyata jauh dari apa yang ia bayangkan. Diana memang cantik dan memikat di awal, tetapi setelah mereka bersama, Rafael mulai melihat sisi lain Diana sifatnya yang egois, manja, dan selalu ingin menang sendiri.
Namun, rasa penyesalan Rafael semakin mendalam ketika ia menyadari sesuatu yang membuatnya terjebak. Di perut Diana kini tumbuh benih kehidupan yang ia ciptakan.
"Bagaimana aku bisa meninggalkan Diana sekarang? Aku sudah menghancurkan hidup Amara, dan aku tidak bisa melakukan hal yang sama pada anak ini."lirih nya
Rafael menghela napas panjang. Ia mencoba fokus kembali pada dokumen di depannya, tetapi pikirannya terus memberontak. Setiap sudut rumahnya kini terasa hampa, meskipun Diana ada di sana. Kehangatan yang dulu ia rasakan bersama Amara tak pernah bisa tergantikan.
Suatu malam, saat Diana sedang tertidur, Rafael berjalan ke balkon rumah mereka. Angin malam yang dingin menerpa wajahnya, tetapi pikirannya tetap bergolak. Ia mengeluarkan ponsel dan membuka galeri foto lamanya. Di sana, ia melihat foto Amara senyum perempuan itu seolah menembus hatinya yang kini penuh penyesalan.
Rafael berkata dalam hati "Amara, aku merindukanmu. Aku merindukan semua tentangmu. Tapi aku sudah terlalu jauh... aku tidak bisa kembali."
Air matanya jatuh tanpa ia sadari. Ia tahu, tak peduli seberapa besar keinginannya untuk memperbaiki semuanya, kenyataan sudah tidak bisa diubah.
Di sisi lain, Diana mulai menyadari perubahan sikap Rafael. Meski Rafael tetap memenuhi semua kebutuhannya, ada jarak emosional yang semakin hari semakin terasa.
"Rafa, kamu kenapa? Akhir akhir ini kamu terlihat begitu jauh."
Rafael hanya menggeleng, berusaha menyembunyikan perasaannya.
"Aku hanya lelah, Diana. Banyak pekerjaan."
Namun, Diana tahu itu bukan alasan sebenarnya. Dia mulai merasa takut, bahwa meskipun tubuh Rafael ada di sisinya, hati pria itu mungkin telah kembali kepada Amara.
Rafael terjebak di antara rasa bersalah, penyesalan, dan tanggung jawab. Setiap hari ia memikirkan bagaimana hidupnya akan berbeda jika ia memilih tetap bersama Amara. Tetapi kini, ada Diana dan bayi mereka yang mengikatnya di masa kini, meskipun hatinya tertinggal di masa lalu.
Rafael berkata dalam hati"Aku membuat pilihan ini. Sekarang, aku harus menanggung akibatnya, meskipun setiap detik terasa seperti hukuman."