Sabrina Alexandra, gadis bar-bar yang frontal dan minus akhlak, hidupnya mendadak jungkir balik. Pulang ke kampung halaman, tiba-tiba saja ia di nikahkan paksa oleh bapaknya, Abiyan Fauwaz, dengan seorang lelaki yang lebih tua 9 tahun darinya. Siapa lelaki itu? Gus Sulaiman Faisal Zahid-seorang ustaz dengan aura santun, tampilan alim, dan bahasa serba syariah. Masalahnya? Sabrina yang biasa bebas, santai, dan dikejar banyak pria, dipaksa menikah dengan lelaki yang mengatakan, "Saya melamar putri bapak, karena beliau sudah saya sentuh." WHAT?! Seorang Sabrina yang bahenol dan penuh pesona malah jadi rebutan ustadz tak dikenal?! "Bapak, apa-apaan sih? Aku gak kenal dia!" protes Sabrina sambil menjambak rambut sendiri. Tapi, bapaknya tak peduli. Demi menyelamatkan anaknya dari kehidupan yang sudah miring 180 derajat, Abiyan tetap bersikeras. Tapi Abiyan tak peduli. Dengan santai, ia menjawab, "Kalau kalian gak saling kenal, ngapain nak Aiman jauh-jauh buat lamar kamu? Pokoknya bapak tetap pada pendirian! Kamu harus menikah dengan dia!" "Bapak egois banget!!!" protes Sabrina. "Ini demi kebaikan kamu, agar gak terlalu tersesat ke jalan yang salah," jawab Abiyan tegas. Sabrina merasa dunia tak lagi adil. Tapi apa yang terjadi saat dua orang dengan dunia yang bertolak belakang ini dipaksa bersanding? Akankah Sabrina yang bar-bar ini berubah, atau justru Gus Sulaiman yang pusing tujuh keliling menghadapi Sabrina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11
Pak RT menerima kantong besar dari tangan Sabrina dengan senyum ramah. "Bilangin makasih ya sama Bu Gina, repot-repot antar kemari," ucapnya dengan nada hangat.
Sabrina tersenyum tipis sambil mengangguk. "Sama-sama, Pak RT. Saya pulang dulu ya. Semuanya maaf mengganggu, assalamualaikum," katanya cepat sebelum berbalik dan berjalan keluar dari pendopo.
Beberapa orang yang masih berkumpul di pendopo mulai bersiap-siap untuk pulang. Satu per satu warga meninggalkan tempat itu, hingga akhirnya hanya tersisa Pak RT, Ustadz Haidar, dan Ustadz Aiman. Mereka bertiga duduk santai, menikmati suasana siang yang semakin tenang.
Ustadz Haidar, yang sejak tadi tampak berpikir, akhirnya membuka pembicaraan. "Tadi itu siapa, Pak RT? Sepertinya wajahnya nggak asing saya lihat," tanyanya penasaran.
Pak RT tersenyum kecil sambil menjawab. "Oh, itu Sabrina, anak desa sini juga. Itu lho, yang semalam kita lihat sempat ribut sama tukang taksi di depan masjid."
Mendengar jawaban itu, alis Ustadz Haidar sedikit terangkat. "Oh, itu dia? Memang begitu ya kelakuannya?" tanyanya dengan nada penuh makna.
Ustadz Aiman yang duduk di sebelahnya tampak diam, tapi matanya sedikit menyipit, seakan mencoba mencerna informasi tersebut. Wajahnya tetap tenang, tapi jelas ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Pak RT mengangguk sambil menghela napas kecil. "Iya, begitulah. Sabrina itu memang terkenal bar-bar di sini. Anaknya sulit diatur, ya karena begitu sifatnya dari kecil. Mau gimana lagi, bawaan produk," katanya sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.
Namun, perhatian Ustadz Aiman tidak teralihkan. Dengan nada ringan, ia bertanya, "Kalau boleh tahu, rumahnya di mana, Pak RT?"
Pak RT menatap Aiman sejenak dengan dahi sedikit berkerut, heran dengan rasa ingin tahunya. "Kalau boleh tahu, kenapa ya, Ustadz? Kalau memang mau ambil sorban yang tadi dipakai Sabrina, biar saya yang ambilkan ke rumahnya Bu Gina."
Ustadz Aiman tersenyum, berusaha menutupi maksud sebenarnya. "Ah, nggak, Pak RT. Saya cuma tanya aja," jawabnya dengan nada santai.
Pak RT akhirnya mengangguk sambil menjelaskan. "Oh, kalau itu, rumahnya nggak jauh dari sini. Jalan kaki 10 menit juga sampai. Habis itu masuk gang yang ada tulisannya, rumahnya paling ujung kiri. Nah, itu rumahnya," jelasnya sambil memberi isyarat arah dengan tangannya.
Ustadz Aiman mengangguk-angguk mendengarkan. Ia tampak menyimak dengan baik, meskipun wajahnya tetap datar. Ustadz Haidar, yang duduk di sampingnya, melirik Aiman beberapa kali, tampaknya menyadari ada sesuatu yang disembunyikan oleh temannya itu.
Setelah beberapa saat, kedua ustadz itu akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah Pak RT, tempat mereka menginap sementara. "Kami pamit dulu ya, Pak RT. Nanti kami siap untuk kajian malam," kata Ustadz Haidar sambil berdiri.
Pak RT tersenyum dan mengangguk. "Silakan, Ustadz. Saya masih ada beberapa urusan sebentar. Nanti kalau sudah selesai, saya menyusul ke sana," katanya.
Keduanya pun berjalan meninggalkan pendopo, sementara Pak RT masih sibuk membereskan beberapa hal. Langkah Ustadz Aiman tampak lebih lambat dari biasanya, seakan pikirannya sedang tidak fokus. Ustadz Haidar menoleh ke arahnya, tersenyum kecil, lalu berujar pelan, "Kamu kelihatan aneh hari ini, Man."
Ustadz Aiman hanya tersenyum samar, tidak memberikan jawaban apa-apa, lalu melanjutkan langkahnya.
Ustadz Aiman menghela napas kecil sambil tersenyum tipis. Ia berusaha terlihat santai, meskipun jelas ada sedikit perubahan di wajahnya. "Ah, nggak ada apa-apa, Haidar. Aku cuma penasaran aja. Lagian, wajar kan nanya soal warga di sini?" jawabnya, mencoba mengelak.
Ustadz Haidar meliriknya tajam, seperti ingin menembus kebohongan itu. "Iya sih, tapi biasanya kamu nggak terlalu peduli sama hal-hal kayak gitu. Tiba-tiba aja tadi kamu tanya detail soal rumahnya. Ada apa? Jujur aja, Man," desaknya dengan nada menggoda.
Ustadz Aiman menghela napas pendek, berusaha tetap tenang meski tatapan Ustadz Haidar membuatnya sedikit tidak nyaman. "Nggak ada apa-apa, Haidar beneran, Aku cuma penasaran aja." jawabnya datar sambil melanjutkan langkah.
Haidar menatapnya dengan pandangan menyelidik. "Penasaran? Tumben banget kamu, Man. Biasanya nggak segitu perhatiannya. Apa karena tadi dia pakai sorbanmu?" goda Haidar sambil tertawa kecil.
Aiman hanya tersenyum samar. "Nggak. Itu soal kecil, nggak perlu dibahas," katanya singkat, suaranya terdengar biasa saja.
Namun, Haidar masih belum puas. "Kamu kelihatan beda hari ini. Serius deh, tumben kamu tanya sampai detail soal rumah orang. Biasanya nggak seperti ini."
Aiman mengangkat bahu tanpa menunjukkan emosi apa pun. "Nggak ada yang beda. Aku cuma tanya karena tadi kan dia masuk ke pendopo dengan cara yang... ya, mungkin kurang sopan. Sebagai tamu, wajar kalau aku bertanya soal warga, apalagi yang kelakuannya begitu."
Haidar mengangguk perlahan, meski ia masih merasa ada sesuatu yang disembunyikan. "Ya, mungkin kamu benar. Lagipula, tiap desa pasti ada aja yang begitu. Nggak perlu dipikirin banget, Man."
Aiman tersenyum tipis, tanpa menanggapi lebih lanjut. Ia sengaja membiarkan pembicaraan itu menggantung di udara, tak ingin membahasnya lebih jauh.
Haidar akhirnya mengalah, mengalihkan topik pembicaraan ke hal lain. Namun, ia sempat melirik Aiman lagi, merasa ada hal yang tak terucap dari rekannya itu. Tapi Aiman tetap menjaga sikapnya, terlihat santai dan tenang seperti biasa, seolah pembicaraan tadi tak memiliki makna apa pun baginya.
Sesampainya di rumah Pak RT, mereka disambut ramah oleh keluarga tuan rumah yang sudah menyiapkan teh hangat dan camilan.
Selepas salat Magrib, rumah Pak Kabay mulai dipenuhi oleh anggota keluarga dan tamu yang berkumpul untuk makan malam bersama. Suasana terasa hangat, diselingi canda dan tawa dari anak-anak kecil yang bermain di sudut ruangan. Ustaz Aiman dan Haidar duduk bersama Pak Kabay dan istrinya, Jenny, di meja makan yang telah penuh dengan hidangan khas desa.
Obrolan awalnya ringan, membahas kegiatan sepanjang hari, hingga akhirnya topik bergeser ke momen ketika Sabrina datang dengan membawa bingkisan dan sorban Aiman yang tersampir di pundaknya.
Jenny, yang sejak tadi mendengarkan dengan penuh rasa ingin tahu, akhirnya angkat bicara. "Jadi, sorban tadi benar milik Ustaz Aiman, ya? Kalau begitu, nanti saya bisa suruh orang untuk ambil ke rumah Bu Gina kalau ustaz mau."
Aiman tersenyum tipis, menatap Jenny dengan sopan. "Tidak usah repot-repot, Bu RT. Biar saya ambil sendiri saja, sekalian saya mau keliling desa bersama Ustaz Haidar, ya kan, Ustaz?"
Haidar, yang tak menyangka bakal diseret ke dalam rencana dadakan itu, langsung sedikit terbatuk, mencoba menutupi kegugupannya. Namun, ia segera mengangguk cepat. "I-iya, benar. Sekalian jalan-jalan sore, siapa tahu bisa mampir ke tempat lain juga."
Pak Kabay menatap mereka berdua dengan mata berbinar. "Wah, bagus kalau begitu. Desa kami memang indah kalau dijelajahi, apalagi sore hari. Tapi, kalau butuh panduan, kasih tahu saja. Jangan sampai kalian tersesat, ya."
Jenny tersenyum, merasa lega karena urusan sorban Aiman tidak perlu merepotkan siapa pun.