NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Sang Billionaire

Jerat Cinta Sang Billionaire

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikah Kontrak / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: DENAMZKIN

Sekar Arum (27) ikut andil dalam perjanjian kontrak yang melibatkan ibunya dengan seorang pengusaha muda yang arogan dan penuh daya tarik bernama Panji Raksa Pradipta (30). Demi menyelamatkan restoran peninggalan mendiang suaminya, Ratna, ibu Sekar, terpaksa meminta bantuan Panji. Pemuda itu setuju memberikan bantuan finansial, tetapi dengan beberapa syarat salah satunya adalah Sekar harus menikah dengannya dalam sebuah pernikahan kontrak selama dua tahun.
Sekar awalnya menganggap pernikahan ini sebagai formalitas, tetapi ia mulai merasakan sesuatu yang membingungkan terhadap Panji. Di sisi lain, ia masih dihantui kenangan masa lalunya bersama Damar, mantan kekasih yang meninggalkan perasaan sedih yang mendalam.
Keadaan semakin rumit saat rahasia besar yang disembunyikan Panji dan adik Sekar muncul kepermukaan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DENAMZKIN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

TOPENG KEPALSUAN

Setibanya di rumah, Sekar langsung menuju kamarnya untuk tidur, meninggalkan Panji sendirian. Panji menuju ruang kerjanya, menutup pintu di belakangnya, dan menghela napas panjang sambil bersandar pada pintu itu. Dia menarik napas dalam-dalam sambil memikirkan kejadian saat sarapan tadi. Sekar tidak akan membuat semuanya mudah. Panji mulai merasa bahwa jaraknya dengan Sekar semakin jauh. Bermesraan dengannya dan jatuh cinta adalah sesuatu yang sama sekali berbeda.

Ponselnya berdering, dan dia menatap ke meja kerjanya. Selama lima jam berikutnya, Panji sibuk menjawab telepon, mengirim email, dan membaca dokumen. Ketika bel pintu berbunyi, dia bangkit dari kursinya untuk membukakan pintu.

"Hei," kata Sinta sambil masuk ke dalam rumah. "Di mana Sekar?"

"Ya," jawab Panji, sedikit terkejut. "Mungkin sebaiknya kamu menelepon dulu sebelum datang."

"Kenapa? Apa aku mengganggu sesuatu?" kata Sinta dengan senyum nakal. "Aku sudah bilang pada Sekar kalau kami akan pergi belanja."

"Aku ingat soal itu," jawab Panji sambil mengangguk. "Aku akan memanggilnya."

Panji mundur dari pintu masuk dan berjalan menuju kamar Sekar, berharap saudara tirinya itu tetap di ruang tamu dan tidak mengikutinya. Ketika dia sampai di depan pintu kamar Sekar, dia mengetuk pelan.

"Sekar?" panggilnya dengan suara lembut. "Kamu sudah bangun?"

Tidak ada jawaban. Panji mencoba memutar kenop pintu, tetapi ternyata terkunci. Dengan alis berkerut, dia kembali ke ruang tamu dan melihat Sinta sedang merapikan rambutnya di cermin besar. Pelan-pelan, dia mengambil kunci utama dari meja dan kembali ke kamar Sekar.

Dia membuka pintu dengan kunci tersebut dan masuk ke dalam kamar yang gelap. Sekar terlihat sedang tidur nyenyak di tempat tidur, memakai pakaian santai yang longgar. Panji tersenyum kecil sambil memperhatikan lekuk tubuhnya yang lembut. Rambut panjang Sekar terurai di atas bantal, membuatnya terlihat santai dan juga memancarkan daya tarik yang memikat.

"Sekar, bangun!" katanya sambil menyentuh pahanya dengan lembut.

Panji tersenyum saat melihat Sekar mengerang pelan dan berguling, memperlihatkan lekuk tubuhnya dalam celana pendeknya. Dengan helaan napas, Panji berjalan ke kamar mandi dan mengisi segelas air.

"Kesempatan terakhir untuk bangun," katanya dengan suara pelan saat kembali ke sisi tempat tidur. Panji tersenyum licik sebelum menuangkan air ke wajah Sekar. Dia langsung terbangun, melompat dari tempat tidur dengan panik.

"Apa-apaan ini?" kata Sekar sambil mengusap wajahnya.

"Selamat sore, sayang," jawab Panji dengan santai.

"Bagaimana kamu bisa masuk ke sini?" tanya Sekar sambil merapikan rambutnya yang basah.

"Ini rumahku. Apa kamu benar-benar berpikir aku tidak punya kunci cadangan untuk semua pintu?" jawabnya sambil mengangkat alis.

Sekar langsung meraih bantal dan melemparkannya ke arah Panji. "Dasar brengsek!"

"Oke, oke, oke," katanya sambil tertawa, menangkap bantal itu dan melemparkannya kembali ke tempat tidur. "Sinta sedang menunggumu dibawah. Dia bilang dia ke sini untuk mengajakmu belanja."

Sekar menghela napas panjang sambil melihat jam, "Kenapa aku harus beli baju baru? Apa yang salah dengan pakaian yang sudah kupunya?"

"Karena pakaianmu membosankan," jawab Panji sambil mengeluarkan sesuatu dari saku belakangnya. "Ini, kamu akan butuh ini." Dia menyerahkan kartu kreditnya pada Sekar.

Sekar menatapnya dengan mata membelalak, "Maksudmu aku harus pergi sendirian?"

"Kamu akan baik-baik saja," kata Panji sambil tersenyum. Sekar mengambil kartu itu dengan ragu dan menatapnya.

"Berapa yang boleh aku habiskan?" tanya Sekar, menatap Panji.

"Tidak ada batasan," jawab Panji dengan santai, mengangkat bahu. "Beli saja apa pun yang kamu mau."

"Serius?" katanya sambil menatap kartu itu. "Bagaimana caranya kamu bisa hidup seperti ini?"

"Aku hanya menjalaninya saja," kata Panji dengan nada tidak percaya. "Kenapa kamu protes jika aku membelikan sesuatu untukmu?"

"Saat aku kuliah, ada saat di mana aku tidak makan karena harus membeli perlengkapan sekolah," kata Sekar sambil mengangkat kartu itu. "Aku bahkan tidak punya rekening bank sampai umur dua puluh dua tahun."

"Apa hubungannya itu denganku?" kata Panji, bingung.

Sekar mendengus kesal, lalu berbalik untuk mengambil celana jeansnya. "Katakan padanya aku akan keluar sebentar lagi, dan mulai sekarang, pintu yang terkunci bukan undangan untuk menggunakan kunci cadangan!"

"Ini rumahku, aku bebas keluar masuk sesuka hati," jawab Panji pelan sambil menggelengkan kepala, lalu keluar dari kamar, menutup pintu di belakangnya. Saat berjalan di lorong menuju ruang tamu, di mana Sinta sudah duduk di salah satu sofa, Panji berhenti sejenak untuk meletakkan kuncinya di atas meja. Ketika masuk ke ruang tamu, dia tersenyum saat pandangan mereka bertemu.

"Dia akan keluar?"

"Ya, dia hanya butuh waktu sebentar untuk bersiap," kata Panji santai sambil berjalan ke arah minibar. "Mau minum sesuatu?"

"Tidak."

Panji mengangguk, lalu berbalik menuju tangga. Dia baru menaiki tangga hingga anak tangga ketiga ketika suara Sinta memanggilnya.

"Kamu pikir berapa lama lagi kamu bisa terus seperti ini?" tanya Sinta dengan nada datar, bersandar santai di sofa.

"Apa maksudmu?" Panji berhenti di tengah langkah, menoleh ke arahnya dengan ekspresi lebih waspada.

"Menjalani pernikahan ini, berpura-pura menjadi pria baik-baik yang sebenarnya bukan dirimu?" kata Sinta sambil mengetukkan jarinya ke lututnya.

Panji menuruni tangga. "Aku tidak berpura-pura apa-apa," katanya sambil berjalan kembali ke ruang tamu.

"Benarkah? Karena si pangeran patah hati ini tiba-tiba saja menemukan cinta sejatinya dalam semalam dan mengubah cara hidupnya. Kebetulan sekali semua ini terjadi setahun sebelum Ayah pensiun," kata Sinta sambil mengangkat alis. "Panji, aku mengenalmu lebih baik dari itu."

"Aku tidak setuju. Justru aku akan bilang, kamu sama sekali tidak mengenalku," balas Panji sambil memasukkan tangannya ke saku.

"Panji, kamu pernah tidur dengan seluruh gadis cheerleader saat SMA dalam satu akhir pekan hanya untuk bersenang-senang. Apa kamu benar-benar mengharapkan aku percaya bahwa sekarang kamu sepenuhnya berkomitmen untuk hanya tidur dengan satu perempuan biasa ini selama sisa hidupmu?" Sinta melirik ke belakang bahunya untuk memastikan mereka masih sendirian. "Aku sudah sering menganggap perbuatanmu menjijikkan, tapi ini mungkin yang paling menjijikkan."

Panji menghela napas panjang. "Menurutmu apa yang sudah aku lakukan?"

"Aku pikir kamu membuatnya terpesona, aku pikir kamu membuatnya percaya omong kosongmu. Kamu bukan pangeran yang baik hati, kamu pria brengsek sejak lahir. Aku hanya akan duduk manis dan menunggu saat semua kebohonganmu akhirnya terbongkar."

Panji mengepalkan rahangnya, merasa lelah terus disebut brengsek.

"Sayang sekali," katanya sambil mengangkat bahu. "Aku mencintai istriku," tambahnya, melirik ke arah Sekar yang baru saja masuk ke ruangan.

"Hai," sapa Sekar, mengenakan jeans dan kaus, "Semuanya baik-baik saja?" tanyanya, menatap Panji lalu Sinta.

"Semuanya sempurna," jawab Panji sambil tersenyum ke arah Sinta. "Bersenang-senanglah."

Sekar mengangguk, sedikit bingung saat menatap keduanya. "Baguslah," katanya pelan.

"Ayo, kita pergi sekarang," kata Sinta sambil bangkit dari sofa dan meraih tangan Sekar. "Pakaianmu sangat klasik, benar-benar berani."

"Terima kasih?" kata Sekar ragu sambil mengikuti Sinta keluar, meraih tas bahunya saat berjalan. Ketika mereka tiba di luar, sebuah limusin pink sudah menunggu.

"Kita akan naik ini?" tanya Sekar, bingung.

"Iya," jawab Sinta dengan antusias, "Ini tidak seperti kita akan pergi ke pernikahan atau pemakaman."

"Benar," balas Sekar, memperhatikan Sinta masuk ke kursi belakang limusin, sementara seorang pria dengan setelan pink mengangguk padanya sebagai tanda hormat.

1
sSabila
ceritanya keren, semangat kak
jangan lupa mampir di novel baru aku
'bertahan luka'
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!