NovelToon NovelToon
Cahaya Yang Tak Pernah Sampai

Cahaya Yang Tak Pernah Sampai

Status: sedang berlangsung
Genre:Percintaan Konglomerat / Romansa / Roman-Angst Mafia / Pembantu / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga) / Trauma masa lalu
Popularitas:988
Nilai: 5
Nama Author: Queen Jessi

Rara Maharani Putri, seorang wanita muda yang tumbuh dalam keluarga miskin dan penuh tekanan, hidup di bawah bayang-bayang ayahnya, Rendra Wijaya, yang keras dan egois. Rendra menjual Rara kepada seorang pengusaha kaya untuk melunasi utangnya, namun Rara melarikan diri dan bertemu dengan Bayu Aditya Kusuma, seorang pria muda yang ceria dan penuh semangat, yang menjadi cahaya dalam hidupnya yang gelap.

Namun Cahaya tersebut kembali hilang ketika rara bertemu Arga Dwijaya Kusuma kakak dari Bayu yang memiliki sifat dingin dan tertutup. Meskipun Arga tampak tak peduli pada dunia sekitarnya, sebuah kecelakaan yang melibatkan Rara mempertemukan mereka lebih dekat. Arga membawa Rara ke rumah sakit, dan meskipun sikapnya tetap dingin, mereka mulai saling memahami luka masing-masing.

Bagaimana kisah rara selanjutnya? yuk simak ceritanya 🤗

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Queen Jessi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perusahaan Kusuma Corporat

Hari pertama Rara bekerja di perusahaan Arga dimulai dengan rasa gugup yang bercampur semangat. Ia melangkah masuk ke ruang kantor, berusaha menunjukkan kesan percaya diri. Namun, sambutan yang ia terima jauh dari hangat.

Para karyawan bersikap cuek, bahkan beberapa di antaranya tampak judes. Rara merasakan tatapan sinis dan bisikan-bisikan kecil di belakang punggungnya. Ia tidak tahu mengapa, tetapi suasana itu membuatnya merasa tidak diterima.

Tidak hanya itu, beberapa tugas yang diberikan padanya jauh di luar deskripsi pekerjaannya. Dari membuatkan kopi untuk karyawan senior hingga membersihkan meja rapat, semuanya dilimpahkan kepadanya. Meski hatinya kesal, Rara menahan diri. "Aku harus bisa tanpa bantuan Arga," pikirnya, mengingat janjinya pada dirinya sendiri.

Namun, cobaan Rara belum selesai. Saat istirahat siang, seorang wanita dengan penampilan anggun dan penuh percaya diri mendekatinya. Wanita itu adalah salah satu karyawan senior di divisi lain. Dengan senyum yang tampak ramah tetapi memiliki nada sinis, wanita itu memperkenalkan diri.

"Hai, kamu pasti Rara, karyawan baru kan?" tanyanya sambil melirik Rara dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Rara tersenyum tipis. "Iya, benar. Senang bertemu denganmu."

Wanita itu menyilangkan tangan di depan dada dan mendekat. "Oh, aku lupa memperkenalkan diri. Aku Clara. Dan, satu hal yang perlu kamu tahu. aku adalah kekasih Arga."

Rara membeku, tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata Clara membuat jantungnya berdegup kencang. Clara terus menatapnya dengan senyum yang penuh arti, seolah ingin menguji reaksi Rara.

"Jadi, kalau kamu ingin nyaman bekerja di sini," lanjut Clara dengan nada tajam yang disembunyikan di balik sikap ramahnya, "sebaiknya jangan macam-macam. Ingat posisimu."

Rara hanya bisa mengangguk kecil, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tidak ingin memberikan kesan bahwa ia terpengaruh oleh ucapan Clara, tetapi dalam hati, ia merasa bingung sekaligus terluka. Apakah ini bagian dari ujian untuk membuktikan dirinya, ataukah ada sesuatu yang lebih besar yang akan ia hadapi?

Rara menarik napas panjang, berusaha mengabaikan rasa tak nyaman yang timbul setelah pertemuan dengan Clara. Ia kembali ke meja kerjanya dan mencoba fokus pada tugas-tugasnya. Namun, pikirannya terusik oleh ucapan Clara. "Kekasih Arga?" pikirnya, sedikit tak percaya. Arga tidak pernah menyebut apa pun tentang Clara atau hubungan seperti itu.

Hari itu berjalan lambat, dengan berbagai tugas tambahan yang tidak ada habisnya. Rara merasa seperti sengaja diperlakukan lebih keras dibandingkan karyawan lain. Ia menahan semuanya, memilih untuk tidak mengeluh. Baginya, ini adalah tantangan yang harus ia hadapi.

Namun, sore harinya, Clara kembali muncul, kali ini membawa beberapa dokumen.

"Rara," panggilnya dengan nada yang dibuat-buat. "Tolong bawakan dokumen ini ke lantai atas. Oh, dan setelah itu, aku butuh kamu untuk membantuku mempersiapkan bahan presentasi."

Rara tahu itu bukan pekerjaannya, tetapi ia tidak ingin memicu konflik. "Baik, saya akan lakukan," jawabnya dengan sopan.

Clara tersenyum sinis. "Bagus. Kalau begini, mungkin aku bisa mempertimbangkan untuk tidak melaporkanmu pada Arga."

Ucapan itu membuat Rara terdiam sejenak, tetapi ia memilih tidak menanggapi. Ia mengambil dokumen dan pergi ke lantai atas.

Saat kembali, Rara menemukan Clara berbicara dengan beberapa karyawan lain, dan mereka melirik ke arahnya sambil tertawa kecil. Ia merasa seperti menjadi bahan pembicaraan, tetapi sekali lagi, ia menahan diri.

Malam harinya, saat Rara tiba di rumah, Arga sudah duduk di ruang tamu, membaca dokumen. Ia mengangkat wajahnya saat melihat Rara masuk.

"Bagaimana hari pertamamu?" tanyanya singkat.

Rara ragu sejenak sebelum menjawab. "Baik," katanya pelan, mencoba menyembunyikan rasa lelah dan frustrasinya.

Namun, Arga menangkap ada sesuatu yang tidak beres. "Ada masalah?"

Rara menggeleng, berusaha tersenyum. "Tidak, semuanya baik-baik saja. Aku hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri."

Arga menatapnya dengan pandangan tajam, tetapi tidak mendesak. "Kalau ada sesuatu, katakan padaku," ujarnya sebelum kembali fokus pada dokumennya.

Rara mengangguk dan pergi ke kamarnya. Dalam hati, ia merasa semakin berat menjalani hari-harinya. Namun, ia juga tahu bahwa ia harus kuat, karena ini adalah jalan yang telah ia pilih.

Keesokan harinya, Rara sedang sibuk menyelesaikan laporan dan tiba-tiba ponselnya bergetar. Nama Arga muncul di layar, menunjukkan bahwa ia sedang melakukan video call. Rara langsung panik. "Kenapa Arga menelepon di saat seperti ini?" pikirnya.

Ia segera mencari tempat tersembunyi, berakhir di ruang arsip kecil yang jarang digunakan. Setelah memastikan tidak ada orang, ia menjawab panggilan itu.

"aku sedang kerja Arga," kata Rara dengan suara pelan, mencoba menjaga agar tidak ada yang mendengar.

Di layar, wajah Arga muncul dengan ekspresi seperti biasa dingin dan tanpa basa-basi. "Aku hanya ingin memberitahu. Aku akan berangkat untuk perjalanan dinas hari ini. seharusnya aku pergi kemarin, tapi ada rapat mendadak."

Rara mengangguk. "Baik. Hati-hati di perjalanan."

Namun, di tengah percakapan mereka, Rara tidak menyadari bahwa seorang karyawan melewati ruang arsip dan mendengar sebagian dari pembicaraan itu. Penasaran dan mengetahui Rara sedang berbicara dengan siapa, karyawan itu langsung melapor kepada Clara.

Clara yang sudah merasa terganggu dengan kehadiran Rara, langsung bereaksi. Dengan wajah marah, ia segera menuju tempat Rara bekerja.

Tak lama setelah Rara selesai berbicara dan kembali ke mejanya, Clara mendatanginya dengan tatapan tajam. "Rara!" panggilnya keras, menarik perhatian beberapa karyawan lain.

Rara terkejut dan berdiri. "Ada apa, Mbak Clara?" tanyanya dengan sopan.

Clara melipat tangan di depan dada. "Jangan pura-pura tidak tahu. Aku dengar kamu tadi bicara dengan seseorang lewat video call. Dan aku juga tahu dengan siapa kamu berbicara. Kamu pikir, sebagai karyawan baru, kamu bisa melanggar aturan seenaknya?"

Rara terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.

Clara melanjutkan, suaranya semakin tajam, "Kamu bicara dengan Arga, kan? Jadi ini alasan kenapa kamu begitu santai bekerja di sini? Karena kamu punya koneksi langsung dengan pemilik perusahaan?"

Rara merasa darahnya berdesir. "Itu tidak seperti yang Anda pikirkan," katanya pelan, mencoba menjelaskan.

Namun, Clara tidak memberinya kesempatan. "Jangan berbohong, Rara. Kalau kamu memang punya hubungan spesial dengan Arga, katakan saja. Jangan berpura-pura jadi karyawan biasa sementara kamu menyelinap untuk bicara dengannya!"

Suasana kantor menjadi tegang. Beberapa karyawan mulai berbisik-bisik, dan Rara merasa terpojok. Ia ingin membela diri, tetapi kata-kata Clara yang tajam membuatnya sulit untuk berbicara. "Bagaimana aku menjelaskan ini tanpa membuat semuanya lebih buruk?" pikirnya.

Melihat Rara hanya diam tanpa memberikan jawaban, Clara semakin kehilangan kesabaran. Ia melangkah mendekat dengan ekspresi penuh amarah, suaranya meninggi sehingga menarik perhatian hampir seluruh karyawan di ruangan.

"Kamu benar-benar tidak tahu diri, ya, Rara!" seru Clara dengan nada tajam. "Baru beberapa hari bekerja di sini, tapi sudah berani melanggar aturan perusahaan. Tidak hanya itu, kamu bahkan memanfaatkan kedekatanmu dengan Arga untuk mendapatkan keuntungan!"

Rara menunduk, merasa semua tatapan di ruangan itu tertuju padanya. Ia mencoba membuka mulut untuk menjelaskan, tetapi Clara tidak memberinya kesempatan.

"Jangan pikir karena kamu punya akses langsung ke bos besar, kamu bisa seenaknya di sini!" lanjut Clara sambil melipat tangan di depan dada. "Kamu pikir ini tempat main-main? Ini perusahaan, bukan rumah pribadi Arga!"

Beberapa karyawan tampak menonton dengan rasa ingin tahu, sementara yang lain berbisik-bisik, mencoba memahami situasinya. Rara merasa seperti berada di bawah sorotan yang tak nyaman.

"Dan kamu tahu apa yang paling membuatku muak?" Clara mendekat lebih jauh, tatapannya menusuk. "Kamu bahkan tidak cukup berani untuk mengakui hubunganmu dengan Arga. Apa kamu sengaja bermain peran sebagai gadis polos untuk mencari simpati?"

Rara akhirnya mendongak, meskipun matanya menunjukkan campuran emosi antara marah dan sedih. "Cukup, Mbak Clara," katanya dengan suara yang sedikit bergetar. "Saya tidak melakukan apa pun yang Anda tuduhkan."

Namun, Clara tidak peduli. Ia melampiaskan emosinya lebih jauh. "Kamu pikir kamu siapa, hah? Datang ke sini, pura-pura bekerja keras, tapi di balik itu semua, kamu hanya memanfaatkan posisimu. Jika kamu benar-benar profesional, kamu tidak akan menyelinap untuk bicara dengan Arga di jam kerja!"

Rara menelan ludah, merasa terpojok. Ia ingin menjelaskan bahwa percakapannya dengan Arga tidak ada hubungannya dengan pekerjaan, tetapi situasinya sudah terlalu memanas.

Saat Clara hendak melanjutkan omelannya, tiba-tiba suara berat dan tegas menghentikan semuanya.

"Clara, cukup."

Semua orang menoleh, dan di ambang pintu berdiri Nanda, asisten pribadi Arga. Dengan tatapan dingin yang biasanya hanya terlihat dari Arga, Nanda melangkah ke tengah ruangan.

"Clara, jika ada masalah dengan karyawan, ada prosedur yang harus diikuti," katanya, suaranya stabil tapi penuh wibawa. "Ini bukan caranya."

Clara tampak terkejut, tetapi ia mencoba membela diri. "Tapi, dia—"

Nanda mengangkat tangan untuk menghentikannya. "Saya sudah dengar sebagian cerita. Sekarang, semua kembali ke meja masing-masing. Saya akan menyelesaikan ini."

Rara menatap Nanda dengan campuran rasa lega dan rasa bersalah. Ia tahu ini belum selesai, tetapi setidaknya untuk saat ini, tekanan dari Clara mereda.

Setelah suasana sedikit mereda, Clara mendengus kesal sebelum akhirnya kembali ke mejanya, meski tatapan tajamnya tetap tertuju pada Rara. Karyawan lain juga perlahan membubarkan diri, meskipun rasa ingin tahu mereka masih terasa di udara.

Nanda mendekati Rara yang masih berdiri kaku di tempatnya. Dengan nada lembut tapi tegas, ia berkata, "Ikut saya ke ruang meeting. Kita perlu bicara."

Rara mengangguk pelan dan mengikuti Nanda, merasa campuran antara lega dan gugup. Setibanya di ruang meeting, Nanda menutup pintu dan menatap Rara dengan serius.

"Rara," katanya, "aku tidak tahu persis apa yang sedang terjadi, tapi aku yakin ini semua berkaitan dengan hubungannya dengan Arga, benar?"

Rara menghela napas panjang, mencoba menjelaskan. "Tadi Arga menelepon untuk berpamitan sebelum perjalanan dinas. Aku tidak ingin suasana kantor jadi aneh, jadi aku cari tempat tersembunyi untuk menjawabnya. Tapi rupanya ada yang mendengar."

Nanda mengangguk kecil, seolah memikirkan sesuatu. "Dengar, aku tahu Arga. Dia tipe orang yang jarang peduli pada hal-hal kecil. Kalau dia sampai menghubungimu, pasti ada alasan penting. Tapi masalahnya, di perusahaan ini, nama Arga adalah sesuatu yang sensitif. Banyak orang di sini termasuk Clara yang merasa posisinya terancam hanya karena adanya rumor seperti ini."

Rara merasa hatinya semakin berat. "Aku tidak pernah bermaksud membuat masalah, apalagi memanfaatkan posisiku. Aku hanya ingin bekerja dengan baik, tanpa campur tangan Arga."

Nanda tersenyum tipis. "Aku percaya padamu. Tapi, untuk menghindari hal seperti ini terjadi lagi, aku sarankan kamu lebih hati-hati. Kalau memang ada hal penting yang harus dibicarakan dengan Arga, lakukan di luar jam kerja atau di tempat yang lebih aman."

Rara mengangguk, berusaha menerima saran itu. "Aku mengerti. Terima kasih, Nanda."

Nanda menepuk pundaknya dengan lembut. "Aku akan coba bicara dengan Clara nanti, tapi kamu harus bersiap. Clara bukan tipe orang yang mudah menyerah, terutama jika dia merasa posisinya terganggu."

Rara hanya bisa mengangguk lagi. Ia merasa lelah dengan semua drama ini, tetapi ia tahu ia harus kuat jika ingin bertahan.

Sementara itu, di ruangan lain, Clara duduk dengan wajah penuh amarah. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, berusaha menenangkan pikirannya. "Aku tidak akan membiarkan gadis itu merebut tempatku di hati Arga," pikirnya dengan penuh tekad.

1
Tomat _ merah
semangat thor cerita nya bagus, mmpir juga ya ke cerita aku yg "Terpaksa dijodohkan dengan seorang dosen"
Kelly Andrade
Gak bisa berhenti membaca nih, keep it up thor!
Luna de queso🌙🧀
Bawa pergi dalam imajinasi. ✨
Queen: Semoga suka ya kak sama alur ceritanya 🤗🤍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!