Dibesarkan oleh kakeknya yang seorang dokter, Luna tumbuh dengan mimpi besar: menjadi dokter bedah jantung. Namun, hidupnya berubah pada malam hujan deras ketika seorang pria misterius muncul di ambang pintu klinik mereka, terluka parah. Meski pria itu menghilang tanpa jejak, kehadirannya meninggalkan bekas mendalam bagi Luna.
Kehilangan kakeknya karena serangan jantung, membuat Luna memilih untuk tinggal bersama pamannya daripada tinggal bersama ayah kandungnya sendiri yang dingin dan penuh intrik. Dianggap beban oleh ayah dan ibu tirinya, tak ada yang tahu bahwa Luna adalah seorang jenius yang telah mempelajari ilmu medis sejak kecil.
Saat Luna membuktikan dirinya dengan masuk ke universitas kedokteran terbaik, pria misterius itu kembali. Kehadirannya membawa rahasia gelap yang dapat menghancurkan atau menyelamatkan Luna. Dalam dunia penuh pengkhianatan dan mimpi, Luna harus memilih: bertahan dengan kekuatannya sendiri, atau percaya pada pria yang tak pernah ia lupakan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 - Kedatangan Pria Misterius
Hujan turun deras sejak sore, membasahi tanah desa yang biasanya kering. Suara gemericik air di atap rumah batu mereka mengisi ruang rumah sederhana itu, menciptakan irama yang menenangkan. Namun, di balik ketenangan itu, Luna dan kakeknya, Antonius, merasa kecewa karena terpaksa menunda rencana untuk pergi ke kota besar. Mereka telah merencanakan perjalanan untuk membeli obat-obatan dan peralatan medis untuk klinik mereka, namun cuaca buruk memaksa mereka untuk tetap berada di rumah.
“Sepertinya kita harus menunggu sampai hujan reda,” kata Antonius sambil menatap keluar jendela, melihat langit kelabu yang masih menyimpan awan gelap.
“Bahkan jika hujan tak berhenti, kita harus tetap berangkat besok, Kek,” jawab Luna, tersenyum tipis. “Apa jadinya kalau klinik kita sampai kekurangan obat-obatan penting"
Kakeknya tertawa pelan, menatap cucunya dengan bangga. Mereka duduk di meja kayu, menikmati secangkir teh hangat yang masih mengepul. Suasana hangat di rumah itu terasa nyaman, jauh dari hiruk-pikuk dunia luar. Mereka berbicara ringan, bercanda seputar berbagai hal, hingga Antonis, dengan senyum nakal, mengajukan sebuah pertanyaan yang membuat Luna terdiam sejenak.
“Luna, coba jawab ini. Pada kasus cedera kepala traumatis yang menyebabkan tekanan intrakranial meningkat, apa yang harus kita lakukan untuk menurunkan tekanan tersebut dan mencegah kerusakan saraf lebih lanjut?”
Luna terkejut mendengar pertanyaan medis yang cukup rumit, tentang salah satu bidang yang belum terlalu sering ia dalami—bedah saraf. Namun, ia tidak gentar. Matanya berkedip cepat, berpikir sejenak, lalu dengan percaya diri, ia menjawab, “Untuk menurunkan tekanan intrakranial, kita perlu melakukan dekompresi melalui craniectomy jika diperlukan, serta memastikan jalan napas terbuka, menjaga tekanan darah dalam kisaran normal, dan memonitor tanda-tanda vital dengan cermat.”
Antonius mengangguk dengan wajah bangga, senyum kecil merekah di bibirnya. “Cerdas, Luna. Tidak sia-sia aku mengajarimu, kau bisa menjadi dokter yang hebat nantinya.”
Keduanya tertawa, suasana hati mereka ringan meskipun hujan terus mengguyur luar rumah. Tapi tawa mereka terhenti saat terdengar suara gedoran keras di pintu. Luna dan Antonius saling berpandangan, heran dan terkejut.
“Siapa itu?” tanya Luna dengan nada cemas.
Bergegas, Antonius bangkit dari kursinya dan membuka pintu. Seorang pria bertubuh tinggi dengan wajah pucat tampak berdiri di depan pintu, menggenggam bahu pria lain yang tampaknya semakin melemah. Pria kedua, yang mengenakan jas hitam, terlihat terluka parah. Darah mengalir deras dari luka di kepala dan perutnya, tubuhnya tampak terhuyung lemas.
“Tolong, siapapun, selamatkan tuan Lucius” pria pertama berteriak dengan suara terengah-engah, jelas kelelahan dan panik.
Antonius langsung mengambil kendali, langkahnya cepat dan tegas. “Bawa dia masuk, cepat!”
Luna yang terkejut dengan keadaan darurat itu segera bergerak, mengikuti kakeknya yang sudah memimpin pasien masuk ke dalam. Dengan cekatan, Antonius memeriksa luka pria yang lebih parah, dan Luna segera menyiapkan peralatan medis yang diperlukan. Dalam sekejap, suasana klinik yang biasanya tenang berubah menjadi penuh ketegangan.
“Luna, siapkan pembalut steril dan infus. Aku akan merawat luka kepala dan perutnya,” kata Antonius dengan suara tegas namun penuh pengertian, mengarahkan cucunya dengan tangan yang sudah terampil. Luna segera melaksanakan perintah dengan cekatan, meskipun dalam hatinya, ia merasa ketegangan yang luar biasa.
Seiring dengan tindakan medis yang mereka lakukan, Luna berpikir, ini bukan hanya ujian untuk kemampuannya, tetapi juga untuk kesiapan mereka menghadapi keadaan darurat yang bisa datang kapan saja..
Antonius, dengan ketenangan yang luar biasa, memeriksa lebih teliti luka-luka parah yang diderita pria itu. Luka di kepala dan perutnya terlihat sangat mengkhawatirkan, dan meskipun dia berusaha sebaik mungkin dengan peralatan terbatas di klinik mereka, Antonius tahu ini melebihi kapasitas mereka. Suasana semakin tegang.
"Ini lebih dari yang bisa kita tangani di sini, kita harus segera membawanya ke rumah sakit besar," kata Antonius, nada suaranya penuh kekhawatiran. Dia tahu, dengan sumber daya yang terbatas di klinik mereka yang sederhana, rumah sakit besar di kota adalah satu-satunya pilihan.
Namun, pria yang terluka itu menatap Antonius dengan mata penuh ketakutan. “Tidak... kami tidak bisa ke rumah sakit. Kami tidak punya waktu... dia tidak akan bertahan sampai ke sana...” suaranya tersendat, jelas menunjukkan kepanikan yang mendalam.
Antonius terdiam sejenak, memahami bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar ketakutan biasa yang ada di mata pria itu. Wajah pria itu, penuh peluh dingin dan kecemasan, mengungkapkan lebih banyak daripada yang dia katakan. Antonius mengangguk perlahan, seolah mengerti sepenuhnya maksudnya.
“Kita tidak punya pilihan lain,” katanya, suara tenang meski penuh keputusan. “Luna, panggil Magdalena dan Jefrey. Mereka bisa membantu kita.”
Luna yang sudah berada di dekat meja peralatan medis, mengangguk cepat. Tanpa ragu, ia berbalik dan berlari keluar dari klinik. Hujan deras masih mengguyur jalanan desa, tetapi Luna tak memperdulikan air yang membasahi tubuhnya. Dengan tekad yang kuat, ia melangkah cepat menuju rumah Magdalena dan Jefrey.
Jalan setapak yang licin dan berbatu tampak lebih gelap di tengah hujan. Namun, Luna tetap berlari, pikirannya penuh dengan rasa cemas dan tanggung jawab. Klinik mereka membutuhkan bantuan, dan ia tidak bisa membiarkan pasien itu kehilangan harapan.
Tiba di rumah Magdalena, ia segera mengetuk pintu dengan panik. Tak lama, pintu terbuka dan Magdalena, yang terlihat terkejut dengan kedatangan Luna yang basah kuyup, segera membuka pintu lebar-lebar.
“Luna? Ada apa?” tanya Magdalena khawatir.
“Kak Magda, Kakek butuh bantuanmu segera! Ada seorang pria terluka parah di klinik,” jawab Luna terburu-buru. “Cepat ikut denganku!”
Magdalena tidak berkata banyak. Tanpa ragu, ia segera mengambil jas lab dan peralatan medis, lalu mengikuti Luna menuju rumah Jefrey yang tak jauh dari sana. Hujan semakin deras, tetapi tidak ada waktu untuk mengkhawatirkan diri. Mereka harus segera kembali ke klinik.
Sesampainya di rumah Jefrey, keduanya bergegas keluar dan bergabung dengan Luna. Dengan penuh ketegasan, mereka berlari kembali ke klinik, mengharapkan bantuan mereka dapat membuat perbedaan bagi pasien yang hampir kehilangan nyawanya.
Di klinik, Antonius tetap bekerja cepat, mencoba mengatasi luka-luka dalam yang mengancam jiwa pria itu. Ia tahu, tanpa bantuan penuh dari perawat berpengalaman seperti Magdalena dan Jefrey, harapan untuk menyelamatkan pria itu akan semakin tipis.
Luna berdoa dalam hati, berharap mereka bisa tiba tepat waktu, dan berharap agar segala usaha mereka tidak sia-sia.
Luna, Magdalena, dan Jefrey berdiri di sekitar meja, mempersiapkan peralatan medis yang dibutuhkan untuk mengatasi kondisi yang semakin kritis. Luna memegang sebotol antiseptik, tangan gemetar, tetapi tekadnya kuat. Ia berusaha mengatur napasnya, berusaha untuk tetap fokus.
“Luna, kamu ambilkan pembalut steril dan alat jahitnya,” perintah Antonius dengan suara tegas. Luna segera bergerak, tangannya begitu cekatan mengambil pembalut dan jarum jahit, sementara Magdalena dan Jefrey mulai menyiapkan infus dan obat penghilang rasa sakit.
Antonius berjongkok di sisi pasien, memeriksa dengan seksama luka-luka di kepala Lucius yang begitu parah. “Kepala bagian kanan tergores cukup dalam, ini bisa menyebabkan pendarahan otak jika tidak segera diatasi,” katanya sambil memandang Luna dan Magdalena. "Kita harus segera menstabilkan tekanan darahnya dan menghentikan pendarahan."
Dengan tenang, Antonius mulai membersihkan luka di kepala Lucius dengan hati-hati. Luka itu cukup besar dan mengerikan, tapi Antonius sudah terbiasa dengan keadaan darurat seperti ini. Tangan tuanya bergerak dengan hati-hati, sementara Luna dan Magdalena bersiap dengan langkah yang penuh kewaspadaan. Setiap gerakan mereka penting, setiap detik menentukan apakah Lucius bisa bertahan.
“Jef, stabilkan kondisinya. Beri dia cairan infus, tekanan darahnya sangat rendah,” perintah Antonius.
Jefrey segera membuka kantong infus, memasang jarum dengan cepat dan efisien. Cairan yang mengalir ke dalam tubuh Lucius membantu menstabilkan sedikit demi sedikit kondisinya yang semakin melemah. Sementara itu, Magdalena mempersiapkan bahan-bahan untuk menjahit luka di kepala Lucius, dengan tangan terampilnya, ia mulai bekerja, menenangkan pria itu yang tampak tak sadarkan diri.
“Lucius, dengarkan saya,” Antonius berbicara dengan lembut namun penuh keyakinan. “Kamu akan baik-baik saja, kami akan membantumu.”
Lucius terkulai lemah, matanya tertutup rapat, namun di wajahnya tersirat rasa sakit yang begitu mendalam. Luna merasa hatinya tertekan, tapi ia tidak membiarkan rasa cemas itu menguasainya. Ia menatap kakeknya, yang meskipun usianya sudah lanjut, tetap bergerak dengan ketenangan yang luar biasa.
“Luna, bantu pegang luka perutnya, kita harus berhati-hati di sini,” kata Antonius, memerintahkan dengan tenang. Luna langsung mengambil kain bersih, menekan luka perut Lucius dengan hati-hati untuk mengurangi pendarahan. Magdalena dan Jefrey bekerja dengan cekatan, masing-masing memiliki tugas yang jelas, memastikan bahwa mereka bisa menstabilkan kondisi Lucius sebelum terlambat.
Waktu berjalan begitu lambat. Hujan yang mengguyur semakin keras, seolah dunia di luar juga merasakan ketegangan yang terjadi di dalam klinik kecil itu. Luna merasakan ketegangan yang luar biasa, namun kakeknya—dengan tangan terampil dan tenang—membimbing semuanya dengan penuh keteguhan.
Setelah beberapa waktu, kondisi Lucius mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Pendarahan di kepala berhasil dihentikan, dan luka perut yang sebelumnya mengancam jiwa telah dijahit dengan rapi. Semua anggota tim medis di klinik kecil itu bekerja tanpa henti, memastikan setiap luka ditangani dengan baik, agar pria itu bisa bertahan hidup.
Antonius menarik napas panjang, lalu berdiri dengan hati-hati, menyeka peluh yang sudah mulai membasahi dahinya. "Kondisinya stabil sekarang. Kita akan terus memantau, tapi dia masih harus istirahat dan dipantau ketat," ujarnya, matanya yang tajam masih penuh fokus, namun ada sedikit rasa lega di sana.
Luna menghela napas panjang, matanya sedikit berkaca-kaca meskipun ia berusaha menahan emosinya. “Kakek… dia akan baik-baik saja kan?” tanyanya, suara yang sedikit gemetar.
Antonius menatap cucunya dengan bangga, lalu mengangguk pelan. “Ya, Luna. Dia akan baik-baik saja” jawabnya dengan lembut, menepuk bahu Luna yang penuh dengan peluh, tapi juga penuh dengan keberanian.
Sementara itu, Magdalena dan Jefrey mengangguk, mereka saling berpandangan, dan meskipun kelelahan, ada kepuasan dalam mata mereka. Mereka baru saja menyelamatkan nyawa seorang pria, berkat kerja sama dan ketenangan yang tidak tergoyahkan di tengah krisis.
Kondisi Lucius memang masih kritis, namun mereka tahu—untuk saat ini—mereka telah melakukan segalanya. Dan itu sudah cukup.