Malam itu, Ajela dijual oleh ibunya seharga satu miliar kepada seorang pria yang mencari gadis perawan. Tak ada yang menyangka, pria tersebut adalah aku! Aku yang membeli Ajela! Dia dipaksa menjalani sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya, dan Mama masih tega menganggap Ajela sebagai wanita panggilan?
Ajela dianggap tak lebih dari beban di keluarganya sendiri. Hidupnya penuh penderitaan—dihina, diperlakukan tidak adil, bahkan sering dipukuli oleh ibu dan kakak tirinya.
Demi mendapatkan uang, Ajela akhirnya dijual kepada seorang pria yang mereka kira seorang tua bangka, jelek, dan gendut. Namun, kenyataan berkata lain. Pria yang membeli Ajela ternyata adalah pengusaha muda sukses, pemilik perusahaan besar tempat kakaknya, Riana, bekerja.
Bagaimana Riana akan bereaksi ketika menyadari bahwa pria yang ia incar ternyata adalah orang yang membeli Ajela? Dan bagaimana nasib Ajela saat malam kelam itu meninggalkan jejak kehidupan baru dalam dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 Kenangan Berupa Kepahitan
"Bayi Nona Ajela sudah dipindahkan ke ruang perawatan dua jam lalu. Kebetulan kondisinya sudah stabil. Pernapasan normal dan berat badannya sudah mencukupi." Jawaban dari suster membuat Alvian merasa plong. Lega, seperti baru saja mengatasi sebuah masalah besar. Lelaki itu terlalu takut jika sesuatu yang buruk terjadi terhadap putranya.
Setelah menormalkan detak jantung yang memburu, Alvian menuju kamar Ajela yang berjarak tak begitu jauh dari ruangan khusus bayi. Ia membuka pintu secara perlahan, menyorot setiap sudut ruangan itu. Ada kerutan tipis pada kedua alis tebalnya.
Betapa tidak, ruangan luas nan mewah itu tampak sangat sunyi. Hanya sebuah box bayi yang berjejeran dengan ranjang pasien.Tak ada Ajela maupun bayinya.
"Ajela ...." Kaki panjang Alvian menjejaki ruangan itu. Melirik sebentar ke arah kamar mandi. Lampu yang padam menjadi pertanda bahwa wanita itu tak ada di dalam sana.
Panik, Alvian mempercepat langkah keluar kamar.Menghampiri meja petugas yang berjaga.
"Suster, ke mana pasien di kamar sebelah? Kenapa tidak ada?" Tanpa sadar Alvian nyaris membentak, membuat wanita yang duduk di sana terlonjak.
Namun, demi memberikan pelayanan sempurna, sang perawat berusaha memasang senyum santun.
"Sepertinya Nona Ajela masih di balkon, Tuan. Beberapa menit lalu beliau meminta izin berjemur bersama bayinya."
Hufft! Lagi-lagi Alvian menghela napas. Entah mengapa sekarang ia merasa agak parno. Ajela hilang sedikit saja dalam pengawasannya sudah membuatnya kalang-kabut.
Tanpa kata, Alvian langsung menuju balkon yang lokasinya cukup berjarak dari kamar.
Matanya mengedar ke sekeliling demi mencari. Namun, nyatanya Ajela juga tak tampak di sana.
Lalu di mana?
Perhatian Alvian lalu terfokus pada kaus kaki bayi berwarna biru yang tergeletak di lantai. Ia berjongkok dan memunguti benda kecil itu.
Ya, itu milik putranya. Alvian yang membelikan beberapa hari lalu.
**
**
Suasana rumah sakit diselimuti ketegangan pagi itu. Berjemur dan menikmati mentari pagi di balkon rupanya hanya sebuah alasan. Ajela menghilang secara tiba-tiba dan tak meninggalkan pesan sama sekali.
Satpam dan para petugas lainnya sudah menyisiri sekitar rumah sakit untuk mencari. Semua gerbang pun ditutup. Pengunjung yang akan keluar dengan mobil diperiksa dengan teliti. Namun, sosok Ajela tak juga ditemukan. Menghilang bak ditelan Bumi.
"Apa saja yang kalian semua lakukan? Bukankah saya sudah minta pelayanan dan kemananan ditingkatkan? Kenapa kalian semua masih saja lalai?" Alvian menipiskan bibirnya kala berbicara. Berusaha menekan suara agar tidak sampai membentak. Namun, manik hitam legamnya menyorot dengan tajam, siapapun yang beradu pandang dengannya dibuat merinding.
Tak terkecuali direktur rumah sakit. Pria berbadan gendut itu tak berkutik ketika Alvian mendiktenya dengan kalimat penuh tuntutan. Ia sadar betul situasi yang dihadapi. Kemarahan seorang Alvian Setyo Darmawan bahkan sanggup membuat rumah sakit yang dipimpinnya mendapat citra buruk oleh masyarakat.
"Maafkan saya, Tuan. Tadi saya yang menemani Nona Ajela duduk di balkon. Kemudian Nona meminta saya pergi ke kafe rumah sakit untuk memesan jus dan makanan untuknya. Saya tidak berpikir kalau Nona Ajela akan pergi, karena beliau terlihat sangat senang menghabiskan waktu dengan bayinya," ucap seorang wanita berseragam serba putih. Kepalanya tertunduk. Jemarinya saling meremas, tubuhnya jelas terlihat gemetar.
Sepasang mata Alvian terpejam. Hela napasnya berat.Keadaan ini memaksanya untuk meredam amarah yang semakin membuncah. Jika sampai lepas kendali, semua petugas rumah sakit pasti sudah dimaki habis olehnya.
"Lebih baik sekarang kita periksa rekaman CCTV. Kita bisa melihat keberadaan Ajela di sana." Di tengah ketegangan yang melanda, Galih berusaha untuk tetap bersikap tenang.
Mereka menuju ruang kendali untuk memeriksa rekaman CCTV.Alvian pun kembali dibuat geram oleh rekaman yang menayangkan detik-detik Ajela berjemur di balkon dengan menimang bayinya. Kemudian langsung pergi setelah suasana sekitar terlihat lengang.Ia berjalan terseok-seok akibat kondisi fisiknya yang belum pulih sepenuhnya. Gerbang belakang yang hanya dijaga oleh dua orang security memudahkan Ajela untuk keluar dengan cara menyelipkan tubuhnya di samping mobil yang hendak melintas keluar.
Cerdik sekali!
Dan seolah semesta mendukung, Ajela langsung naik ke sebuah bus yang terhenti tepat di depan gerbang rumah sakit.
"Dia nekat naik bus dalam keadaan tubuhnya yang belum pulih?" Galih hampir tak percaya.
Mendadak Alvian merasa dadanya sesak. Hal pertama yang ada di pikirannya adalah Baby Boy yang mungkin akan kepanasan di dalam bus, atau mungkin akan menghirup udara yang tidak sehat akibat penumpang merokok dan sebagainya.
"Ke mana Ajela akan membawa anakku? Kenapa dia sebodoh itu? Bagaimana dia akan merawatnya sendirian?"
Melihat amarah Alvian yang semakin memuncak, Galih berusaha menenangkan. “Tenang dulu. Kita pasti akan menemukan mereka secepatnya. Ajela tidak mungkin pergi jauh, kan?"
"Kalau begitu kerahkan banyak orang untuk mencarinya. Periksa semua perbatasan kota, jangan sampai Ajela membawa anakku keluar kota!"
Alvian melangkah keluar.
Galih langsung berdiri mengikuti sang bos, setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih kepada petugas di ruang kendali.
**
**
Langkah Ajela tertatih saat memasuki pagar sebuah rumah.
Rumah inilah tempatnya berlindung yang paling aman untuk selama ini.
Ajela merasa beruntung karena Bu Rina, sang pemilik rumah tidak mengharuskannya membayar sewa. Ajela cukup merawat dan menjaga kebersihan rumah kecil yang ditempatinya.
Rumah Bu Rina itu terdiri dari dua bagian. Satu bagian ia huni dengan anak lelakinya, Bayu, yang jarang pulang karena bekerja di luar kota. Sementara satu bagian lagi menyerupai sebuah paviliun yang sekarang ditempati Ajela.
Bu Rina tampak keluar dari rumah setelah mendengar ada yang membuka pagar. Ia tampak terkejut setelah melihat Ajela datang dalam keadaan perut sudah kempes dan menggendong bayi kecil.
"Ajela, dari mana saja kamu beberapa hari ini? Kenapa tidak ada kabar?" tanya wanita itu sambil melangkah ke arah Ajela.
Ajela memaksakan senyum di bibirnya. Saat ini tubuhnya terasa sangat lelah setelah melarikan diri dari rumah sakit. Wajahnya terlihat pucat dan berkeringat.
"Maaf, Bu. Saya tidak sempat."
"Ya sudah, tidak apa-apa. Yang penting kamu baik-baik saja. Apa ini anak kamu?" tanya wanita itu lagi.
"Iya, Bu." Ajela menatap wanita itu takut-takut. Setelah menghilang beberapa hari, ia takut jika Bu Rina tidak akan mengizinkannya kembali tinggal di rumah itu. "Bu, apa saya masih boleh tinggal di sini?"
"Tentu saja boleh, Ajela. Ayo, kita masuk! Di luar panas, kasihan anak kamu."
Melihat keadaan Ajela yang sangat lemah, Bu Rina membantu menggendong bayi kecil itu masuk ke kamar dan membaringkannya di atas kasur busa.
Wanita baik hati itu juga membantu Ajela merapikan kamar dan membawa makanan juga teh hangat.
**
**
Ajela membalut tubuh putranya dengan selimut.Beruntung udara malam itu cukup sejuk karena hujan turun deras.
Sekarang Ajela dapat bernapas lega. Ia dan anaknya sudah aman dari jangkauan Alvian dan keluarganya yang jahat. Bukan tanpa alasan sehingga Ajela nekat membawa pergi putranya. Ia yakin kebaikan yang ditunjukkan Alvian belakangan ini hanyalah pura-pura. Lelaki itu hanya ingin merebut putranya.
Entah hal mengerikan apa yang bisa dilakukan Alvian. Mungkin ia akan mengirim bayi itu ke luar negeri untuk menghilangkan jejak demi menjaga kehormatan keluarganya, atau membunuhnya sekali pun.
Ajela benar-benar takut. Terlebih, Alvian telah melakukan tes DNA. Tentu saja hasilnya akan identik, sebab bayi itu memang anak Alvian.
Melihat wajah mungil yang tengah terlelap itu membuat hati Ajela seperti disayat belati tajam. Betapa ketidakberdayaan ini mengoyak hatinya tanpa ampun.
Kebencian dari orang-orang sekitar datang bertubi-tubi. Ajela ingat kejadian semalam, ketika pergi ke ruang bayi untuk menyusui anaknya. Seorang wanita paruh baya menghampirinya dengan tatapan penuh kebencian.
"Kamu pasti tahu siapa saya, kan?" Pertanyaan sinis itu menjadi pembuka suara Mama Veny.
Ajela terdiam. Tentu saja ia tahu siapa wanita yang berada di hadapannya. Masih segar dalam ingatannya, bahwa wanita berpenampilan elegan ini berdiri tepat di samping Alvian di malam pertunangan Riana dan Alvian.
"Maaf, ada apa, Bu?" Ajela mendekap Baby Boy di dadanya.
Menutup telinga bayi kecilnya dengan telapak tangan agar tidak terkejut jika wanita itu membentak.
"Saya ke sini untuk menawarkan kesepakatan kepada kamu."
"Kesepakatan apa?"
Wanita itu menarik napas dalam. Seperti sedang menahan amarah. "Beritahu saya berapa yang kamu inginkan untuk menjauh dari Alvian. Kamu pasti menginginkan uang sampai sengaja menjebak anak saya, kan? Sebut saja, saya akan berikan berapapun yang kamu inginkan."
"Maaf, Bu. Saya juga tidak pernah menjebak Tuan Alvian dan saya tidak butuh uang Ibu. Jadi tolong tinggalkan saya."
"Kamu pikir saya akan percaya? Perempuan pelac*r seperti kamu pasti akan menghalalkan segala cara. Setelah kakak kamu si Riana itu gagal menipu saya, sekarang kalian menggunakan anak kamu untuk menjerat Alvian. Iya, kan?!"
Tatapan penuh tanya diarahkan Ajela kepada wanita itu. Melalui ucapan Mama Veny, Ajela dapat menebak bahwa kebohongan Riana sudah terbongkar.
"Ibu salah, saya tidak pernah bekerjasama dengan siapapun. Saya juga tidak akan menuntut apapun dari Tuan Alvian."
"Bagus kalau begitu! Bawa anak haram kamu itu jauh-jauh dari kehidupan Alvian! Lagipula mana saya tahu darah kotor siapa yang mengalir di tubuh anak kamu itu?"
Lamunan Ajela dari kejadian semalam membuyar.
Ia merasakan dadanya
bergemuruh. Hinaan demi hinaan Mama Veny semalam berhasil merobohkan benteng yang ia bangun untuk melindungi hatinya yang rapuh.
Di kamar sempit itu Ajela mendekap putranya yang terlelap.
Berjanji dalam hati bahwa segala hinaan yang pernah ia alami tidak akan pernah dirasakan putranya.
Ya, bayi kecilnya akan hidup dalam limpahan kasih sayang.Tidak akan pernah ia biarkan bersedih. Ajela akan melakukan apapun untuk mengisi masa kecil putranya dengan kenangan manis.
Cukuplah Ajela seorang yang merasakan nasib buruk di masa kecil.
Konon katanya memori anak kecil sangat kuat. Maka jangan pernah membentak atau menyakiti hatinya. Karena rasa sakit itu akan tersimpan hingga dewasa dan berdampak buruk bagi perkembangan mentalnya. Ajela telah membuktikan itu sendiri.
Dari ribuan kenangan buruk yang mengisi lembaran masa lalu, ada satu kenangan yang tak akan pernah bisa hilang dari ingatannya.Kala itu usianya menginjak 8 tahun. Usia di mana seorang anak membutuhkan figur seorang ibu dan hangatnya kasih sayang sebuah keluarga.
"Bu, Ajela boleh ikut makan, ya?" cicit Ajela. Jemari kecilnya saling meremas. Ada pancaran penuh harap dalam matanya. Aroma lezat yang menguar dari meja sukses membuat ususnya menjerit.
Hari itu Riana berulangtahun. Ibunya memberi hadiah dengan membeli makanan enak. Ayam goreng crispy berlogo 'Kakek Tua' adalah menu kesukaan Riana dan menjadi menu wajib setiap ibunya habis gajian.
"Tidak boleh!" bentak Bu Nana. Matanya mendelik tajam seolah sanggup mengoyak tubuh kurus Ajela.
"Tapi Ajela juga lapar, Bu."
"Kamu hanya boleh makan kalau Riana sudah selesai! Sana ambil air minum untuk Riana!"
Bibir mungil Ajela saling mengunci. Matanya hampir melelehkan cairan bening. Tetapi, sebisa mungkin ia tahan. Ajela tidak pernah berani menangis di depan ibunya, sebab ia akan mendapatkan hukuman yang jauh lebih buruk. Seperti dikurung di gudang dan tidak diberi makan.
Setelah meletakkan segelas air putih di meja, ia kembali terdiam.Memandangi Riana yang begitu lahap menyantap setiap potongan ayam goreng kesukaannya.
Berharap Riana anak menyisakan sedikit untuknya.
"Kenapa kamu diam di situ? Masuk kamar!"
Tubuh Ajela tersentak mendengar bentakan ibunya.Tanpa kata ia menuju sebuah dinding pembatas antara kamar dengan ruang makan.
Ajela kecil hanya dapat mengintip dari balik dinding.Lehernya ikut bergerak naik turun ketika Riana menelan makanan dengan nikmat.
Kala itu ia bertanya dalam hati, mengapa hanya Riana yang boleh makan? Mengapa dirinya tidak disayangi seperti Riana?
Kehidupan seperti inilah yang dulu dijalani Ajela. Terkadang ia harus tidur di lantai yang dingin jika Riana menolak berbagi tempat tidur dengannya.
**
Alvian ditemani Galih masih berkeliling mencari. Namun, hingga larut malam tanda keberadaan Ajela belum juga ditemukan.
Alvian menyandarkan punggungnya di mobil. Menatap nanar setiap ruas jalan yang mereka lewati. Sepanjang perjalanan pikiran Alvian dipenuhi bayangan putranya.
Memikirkan bagaimana Ajela akan merawat bayi itu sendirian dalam hidup yang serba kekurangan. Bagaimana jika bayi kecil itu harus tidur di kamar yang sempit dan pengap, dan bagaimana jika Ajela tidak mampu memenuhi kebutuhannya?
Alvian kembali merasakan dadanya seperti ditusuk ribuan jarum ketika mengingat dompet kecil milik Ajela yang hanya berisi 25 ribu rupiah saja.
"Bisa apa dia dengan uang segitu?"
Alvian memejamkan mata.Berusaha menghilangkan bayangan itu dari pikirannya.
"Apa jangan-jangan Ajela pergi karena merasa terancam?" Galih membuka suara setelah lama terdiam.
"Terancam oleh siapa? Hanya Riana dan ibunya yang bisa mengancam Ajela dan sekarang mereka sedang ditahan di kantor polisi." Berbekal rekaman CCTV hotel ketika mendorong Ajela, Alvian juga melaporkan Bik Nana.
"Bagaimana dengan Tante Veny? Siapa tahu saja Tante Veny pernah menemui Ajela dan mengancamnya, kan?"
Wajah Alvian seketika berubah serius. Dugaan Galih memang ada benarnya. Awas saja jika sampai mama menjadi penyebab kepergian Ajela. Alvian pasti akan membuat perhitungan sekalipun itu mama kandungnya sendiri.
"Putar arah ke rumah! Aku harus bicara dengan Mama!"
Galih menekan pedal rem, kemudian langsung putar arah dan melajukan mobil menuju kediaman keluarga Darmawan.
Bersambung ~