Karin, terpaksa menikah dengan Raka, bosnya, demi membalas budi karena telah membantu keluarganya melunasi hutang. Namun, setelah baru menikah, Karin mendapati kenyataan pahit, bahwa Raka ternyata sudah memiliki istri dan seorang anak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cecee Sarah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga Belas
"Menangislah jika itu membuatmu nyaman," ujar Raka lembut sambil memeluk Karin. Dalam pelukan Raka, Karin merasakan kehangatan yang membuatnya merasa aman, membiarkan semua air matanya mengalir bebas. Dia menumpahkan semua kesedihannya, kesakitan yang mengendap selama ini.
Raka membimbing Karin untuk duduk di sisi tempat tidur. Udara malam itu terasa sejuk, dan cahaya lampu temaram menciptakan suasana intim di dalam kamar. Setelah menangis tanpa henti, Karin mulai merasa lelah. Dalam pelukan Raka, matanya perlahan terpejam, dan dia terlelap dalam keheningan, merasakan beban yang mulai terangkat dari hatinya.
Dengan hati-hati, Raka membaringkan Karin di tempat tidur. Ia menyelimuti tubuhnya dengan selimut, memastikan Karin tetap hangat. Saat melihat wajah Karin yang tenang dalam tidurnya, Raka mengulurkan tangannya, menyentuh lembut pipi Karin dengan ujung jarinya, merasakan kelembutan kulitnya.
"Maaf, aku membuatmu menangis. Tapi aku tidak akan pernah bisa melepaskanmu," bisiknya, seolah berharap kata-katanya bisa menenangkan Karin di alam mimpinya.
Dalam hati, Raka merutuki keputusannya mengikuti Karin ke bioskop malam itu. Jika tidak, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Dia tidak bisa mengerti mengapa Karin begitu marah, tetapi saat itu bukanlah waktu yang tepat untuk menyelidiki alasan di balik perasaannya.
---
Sinar matahari pagi perlahan menyelinap masuk ke dalam kamar, membangunkan Karin dari tidurnya. Ketika matanya terbuka, kepala terasa berat, dan dia merasakan pusing yang menyengat. Ia mengerutkan dahi, mengingat kembali malam yang penuh emosi itu. Secepat kilat, ingatan tentang tangisannya dan pelukan Raka kembali menerpa pikirannya.
Mendapati dirinya sendirian, Karin melompat dari tempat tidur dan berlari menuju meja rias. Di depan cermin, wajahnya yang bengkak dan merah akibat tangisan semalam membuatnya merasa cemas. "Hari ini tidak masuk kerja," gumamnya, merasa lega tidak perlu berhadapan dengan orang lain.
Ia melirik sofa di sudut ruangan, melihat bantal dan selimut yang berserakan, menyisakan jejak malam yang kelam. Dengan cepat, Karin merapikan bantal dan melipat selimut, menatanya rapi di atas tempat tidur.
‘Bukankah Raka pulang ke rumahnya tadi malam?’ pikirnya, perasaan campur aduk menyelimuti hatinya.
Setelah mandi, Karin melangkah keluar dari kamarnya, menuju ruang tamu di mana ayahnya, Ardi, tengah duduk menikmati secangkir kopi. Aromanya memenuhi ruangan, memberikan nuansa hangat di pagi yang dingin.
“Selamat pagi, Ayah,” sapa Karin sambil mendekat, mencoba menyembunyikan rasa tidak nyamannya.
"Selamat pagi, nak. Apa kamu baru bangun? Kamu seharusnya bangun lebih awal di hari libur agar bisa memasak untuk suamimu," balas Ardi sambil tersenyum.
"Aku... menangis semalam," kata Karin, jujur. Dia merasakan tatapan ayahnya meneliti wajahnya yang bengkak.
"Ada apa?" tanya Ardi, khawatir melihat kondisi putrinya.
"Aku nonton film romantis, dan... itu sangat mengharukan," jawab Karin sambil berusaha terlihat tenang, matanya berkilau saat mengingat kembali momen emosional itu.
"Kamu masih suka nonton film, ya? Sekarang sudah punya suami, jangan terlalu sering terlarut dalam dunia film!" kata Ardi dengan nada tegas, meskipun diiringi tawa.
Karin menundukkan kepala, merasakan rasa bersalah menggelayuti hatinya. "Maafkan aku, Ayah."
"Tak perlu minta maaf padaku. Minta maaflah pada Raka," kata Ardi, menatap Karin dengan serius.
Karin merasa terjebak dalam situasi yang semakin rumit. Raka tiba-tiba muncul di belakang mereka, menyela, "Tidak apa-apa, Ayah. Semalam kami pergi nonton bersama."
"Syukurlah jika kalian berdua bisa pergi bersama. Tapi ingat, Karin, jangan sampai menganggapnya seperti teman lagi," Ardi memperingatkan, sedikit mengkhawatirkan hubungan mereka.
Karin teringat masa-masa di sekolah, bagaimana dia sering pergi menonton film meski ayahnya melarang. Sering kali dia merayakan kebebasan dengan cara melompati pagar rumah untuk memenuhi hasratnya menonton di luar rumah. "Tenanglah, Ayah. Aku bukan anak kecil lagi," jawabnya, sedikit menggoda.
“Karena kalian berdua di sini, aku ingin membicarakan sesuatu,” Ardi memulai pembicaraan yang membuat keduanya curiga. Ia menatap Karin dan Raka bergantian, seolah mengumpulkan keberanian.
"Ada apa, Ayah?" tanya Karin dengan rasa ingin tahu, sambil duduk di dekat ayahnya.
"Aku sudah memutuskan untuk pergi ke desa. Aku ingin tinggal di sana bersama pamanmu,, Karin." Ardi mengungkapkan niatnya, mendesah panjang seolah membebaskan sesuatu dari dadanya.
"Ayah, jangan bercanda, ha ha ha," Karin tertawa, berharap ini hanya lelucon.
"Aku tidak bercanda, Karin," jawab Ardi dengan nada lembut.
“Tapi Ayah, apakah Ayah benar-benar akan pergi?” Karin merasa lemah seolah dunia di sekelilingnya mulai goyah.
"Aku hanya ingin berkebun dan menikmati masa tua di tempat yang lebih tenang," Ardi menjelaskan, berusaha meyakinkan Karin.
Seketika, air mata Karin jatuh, membasahi pipinya. "Ayah, jangan pergi! Apa Ayah sudah tidak mencintaiku lagi?" suaranya bergetar, menahan tangisnya yang pecah.
"Kamu sudah dewasa, kamu punya suami. Aku hanya ingin merasakan udara segar dan suasana baru," kata Ardi, menepuk punggung putrinya dengan lembut.
"Kalau aku merindukanmu, Ayah? Tetaplah di sini!" Karin berusaha mengingat kenangan-kenangan indah yang pernah mereka lalui bersama.
"Aku merasa bosan di sini. Aku ingin aktif dan menjaga kesehatan," Ardi menjelaskan, merasakan kesedihan di dalam hatinya.
Karin merasa hatinya hancur. "Tapi... kenapa harus pergi ke desa?" Suara hatinya penuh kepedihan, merasakan kesedihan yang dalam.
"Hanya untuk sementara, nak. Aku akan kembali, dan kamu bisa mengunjungi kapan saja," Ardi berusaha menenangkan putrinya, melepaskan pelukannya pelan-pelan.
"Jika kamu ingin kebun, aku bisa membangun rumah kaca untukmu di dekat sini," Raka menawarkan, berusaha meredakan ketegangan.
"Tak perlu, Raka. Terima kasih," Ardi menjawab dengan senyuman, menatap menantunya dengan penuh rasa syukur.
"Raka, jaga putriku baik-baik. Aku tidak ingin melihatnya bersedih saat aku kembali," lanjut Ardi, berharap Raka bisa menjadi pelindung bagi Karin.
Raka menghela napas dalam-dalam, merasakan beban tanggung jawab di pundaknya. "Baiklah, Ayah. Aku akan menjaga Karin dengan sepenuh hati," ucapnya akhirnya, bersungguh-sungguh.
Karin terkekeh pelan mendengar kata-kata Raka, merasa aneh mendengar keikhlasan dari pria itu. Sebuah keraguan menyelinap di benaknya, “Tidak mungkin pria itu sebaik ini,” pikirnya, merasakan perutnya bergetar penuh cemas.
"Karin, kamu juga harus menjadi istri yang baik untuk suamimu. Jangan pernah kabur lagi!" Ardi menegaskan, menatap Karin dengan tatapan penuh harapan.
"Bagaimana Ayah tahu aku kabur?" Karin menatap Raka dengan tajam, merasa marah karena Raka mengadu padanya.
"Jangan marah pada suamimu. Bersikaplah baik padanya. Layani Raka dengan sepenuh hati. Ingat semua pesan Ayah kepadamu," Ardi menambahkan, membimbing Karin untuk lebih menghargai hubungan mereka.
"Baiklah, Ayah," jawab Karin lembut sambil menundukkan kepala, menyadari bahwa dia tidak pernah bersikap baik kepada Raka.
---
Sore harinya, Karin dan Raka mengantar Ardi ke pelabuhan. Cuaca mendung menambah kesedihan di hati Karin, membuatnya merasa seperti hari itu sangat panjang dan menyedihkan.
"Jangan bersedih, Karin. Kita bisa berkunjung kapan saja," Raka berusaha menghiburnya sambil mengusap bahunya yang masih basah oleh air mata.
Karin melambaikan tangannya ke arah Ardi yang sudah melangkah masuk ke kapal, hatinya dipenuhi rasa kehilangan. "Ayah, mengapa Ayah meninggalkanku?" bisiknya lembut, mengabaikan usaha Raka untuk menenangkannya.
"Ayo pulang! Sudah mau malam," kata Raka sambil memeriksa arloji di pergelangan tangannya.
"Pulanglah, aku di sini dulu!" Karin menjawab dengan tegas, melepaskan genggaman tangan Raka di bahunya.