Kaina Syarifah Agatha. Gadis cantik yang cerdas. Mengetahui dirinya dijodohkan dengan pria pujaannya. Sam.
Samhadi Duardja Pratama. Pria yang diidolai Kai, begitu nama panggilan gadis itu. Sejak ia masih berusia sepuluh tahun.
Sayang. Begitu menikah. Berkali-kali gadis itu mendapat penghinaan dari Sam. Tapi, tak membuat gadis itu gentar mengejar cintanya.
Sam mengaku telah menikahi Trisya secara sirri. Walau gadis itu tak percaya sama sekali. Karena Trisya adalah model papan atas. Tidak mungkin memiliki affair dengan laki-laki yang telah beristri.
Kai menangis sejadi-jadinya. Hingga ia terkejut dan mendapati kenyataan, bahwa ia mendapat kesempatan kedua.
Gadis itu kembali pada masa ia baru mengenal Sam selama dua minggu, sebagai pria yang dijodohkan dengannya.
Untuk tidak lagi mengalami hal yang menyakiti dirinya. Gadis itu mulai berubah.
Bagaimana kisahnya? Apakah Kai mampu merubah takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERBEDAAN
Arin menatap pantulan dirinya di cermin. Baru saja tadi menatap putrinya dengan pandangan gusar. Terlebih dengan kalung berinisial S di leher putrinya.
"Ada apa dengan ku? Kenapa aku tidak rela jika Sam makin dekat dengan Kai, putriku sendiri?" tanyanya dalam.hati.
Arin menekan dadanya yang ngilu. Menatap kedua tangannya. Sudah lama ia tak memeluk tubuh putrinya. Semenjak beranjak usia dua tahun dan lepas menyusu. Arin menyerahkan Kaina pada pengasuh.
Wanita itu mulai menyibukkan diri. Acara bakti sosial kembali digadang oleh Arin. Sebagai ketua sebuah bazis amal, ia bertanggung jawab penuh untuk kelangsungan yayasan yang ditanganinya. Gelar nyonya dermawan menempel pada dirinya semenjak menikah dengan mantan suami dan kini sudah menikah lagi.
Semua mata menatapnya kagum, hormat dan santun. Tidak ada berita miring tentang perceraian pertamanya. Bahkan orang-orang menyalahkan mantan suaminya.
"Wanita baik seperti Nyonya Arin Prakasa ditinggalkan begitu saja? Bodoh sekali pria itu!"
Arin hanya menunduk lesu. Prihal gonjang-ganjing rumah tangga ia tutup rapat-rapat. Aib tak boleh diumbar. Cukup dia dan Tuhan saja yang tahu, apa sebenarnya yang terjadi.
Bahkan ketika ia berhasil menaklukan hati seorang Agatha. Pria tampan dengan otak genius. Kesan pertama, membuat ia memantapkan hati. Meruntuhkan semua tembok yang menghantam keputusan Umar menikahi seorang wanita single parent seperti dirinya.
"Kau adalah istriku. Maka angkatlah kepalamu. Jangan tunduk pada siapa pun!" tekan Umar padanya saat orang-orang memandang nyinyir.
"Apa salah, janda seperti ku mendapat pria bujang sekaya Umar Agatha?" tanyanya pada para awak media ketika menanyakan status single parent-nya.
Hingga pernikahan ini terus berlanjut selama dua puluh satu tahun. Ia memberikan seorang putri cantik, Kaina Syarifah Agatha. Kai adalah fotokopiannya Umar Agatha.
"Kaina ... putriku. Bukankah aku harus bahagia dengan kehadirannya? Kenapa hatiku berbulu dan iri dengan keadaannya yang bergelimang harta. Berbanding terbalik dengan kakaknya, Trisya Amalia Hermawan?"
Arin terus bermonolog dalam hati. Ia merasa salah pada dirinya. Tetapi, ia tidak mau memperbaiki apa yang salah itu.
"Ah, sudahlah. Kai, juga putriku. Sudah pantas ia mendapat yang terbaik bukan?" gumamnya pelan.
"Kau bicara apa, Bu?" tiba-tiba sebuah suara mengagetkannya.
"Ah, tidak ada, Yah. Ibu hanya melihat sudah banyak.kerutan di wajah," jawab Arin tentu berbohong.
Umar tersenyum lalu mendekati istrinya. Memberi kecupan di pucuk kepala sang istri kemudian memeluknya. Dagu pria itu ia sandarkan di sana.
"Bagi, Ayah. Ibu tetap cantik," puji Umar sambil tersenyum.
"Terima kasih, sayang," ungkap Arin sambil tersenyum.
Umar melepas pelukannya. Berjalan menuju sofa dan duduk di sana.
"Ayah sudah menyita kunci motor Kai. Senin besok, baik Trisya dan Kai akan diantar jemput oleh supir. Khusus untuk Trisya. Jam sepuluh malam, ia harus pulang ke rumah!"
Sebuah kata yang merupakan perintah dari bibir Umar. Arin tak bisa menolak atau membujuk suaminya agar lebih tenang menghadapi Trisya, putrinya.
"Ibu dengar apa kata Ayah?"
"Iya, dengar, Yah. Nanti, Ibu sampaikan pada Trisya. Toh, dia sudah jelaskan, kenapa dia pulang dalam keadaan seperti itu tadi," ujar Arin masih membela sang anak.
"Bu, Bu. Sampai kapan sih kamu belain Trisya terus. Apa Ibu pikir Ayah ini bodoh? Apa Ibu pikir, Ayah tidak bisa mengecek apakah penjelasan Trisya itu benar atau tidak?" Arin bungkam.
Ia sangat tahu siapa Umar. Pria itu adalah pebisnis handal. Putrinya bekerja menjadi model juga karena campur tangan sang suami. Semua informasi tentu dengan mudah ia dapatkan.
"Ayah selalu menguntit Trisya. Apa juga sama menguntit Kai?" tanya Arin lirih.
"Ibu pikir, Ayah tidak melakukan itu?"
Lagi-lagi, Arin bungkam. Umar menghela napas panjang. Ia heran dengan sikap istrinya yang lebih condong pada salah satu putrinya.
"Bu, Kaina itu putrimu juga, putriku. Kai adalah buah cinta kita. Jangan bedakan kasih sayangmu, Bu!" tegur Umar.
"Ibu sayang kok sama Kai!" elak Arin.
"Oh ya, apa Ibu masih ingat kapan Kai berulang tahun?" tanya Umar menatap tajam istrinya.
"Ibu ...."
"Setiap tahun, yang kita rayakan adalah ulang tahun Trisya dan melewatkan ulang tahun Kai," ingat Umar.
Arin terdiam. Wanita itu memang tidak pernah merayakan ulang tahun putri keduanya itu. Ada perasaan bersalah. Tetapi, waktu itu ia menemukan alasannya.
"Bu!' panggil Umar.
Arin masih bungkam. Kini ia tak lagi bisa mengungkapkan alasan apapun. Umar kecewa pada istri juga pada dirinya sendiri.
"Kai sekarang berusia dua puluh tahun. Kita melewatkan ulang tahunnya selama itu," ujar Umar menatap kosong langit-langit kamar.
Bahunya ia sandarkan di sofa. Hanya hening tercipta di antara sepasang suami istri itu. Umar dengan seribu penyesalan, karena mengabaikan putri kandungnya sendiri.
"Maaf, Bu. Jika Ibu menolak ajaran Ayah pada Trisya. Ibu bisa pulangkan dia pada Ayahnya, bukankah Hermawan masih hidup?"
Arin tergagap. Ia tak mau melepas putrinya pada mantan suaminya itu. Matanya berkaca-kaca.
"Ayah tahu kan kenapa aku bercerai dengannya?" ujar Arin mengingatkan suaminya.
"Aku tak mau menyerahkan putriku ke tangan pria dingin seperti itu. Baik, Yah. Aku akan memaksa Trisya untuk menurut semua titahmu!" lanjutnya dengan menahan tangis.
Arin keluar dari kamar dengan tergesa, tak peduli dengan panggilan sang suami.
"Bu, bukan maksud Ayah seperti itu!"
Arin menutup keras pintu kamar. Ia bergegas menuju kamar putrinya. Sesampai di depan pintu kamar Trisya. Arin mengetuk pintunya lembut.
"Trisya ... buka pintu, sayang. Ini Ibu!" panggilnya.
Arin terus mengetuk pintu. Tetapi tidak ada suara di dalam sana. Ia langsung berpikiran buruk. Setelah habis dimarahi Umar tadi pagi. Trisya menangis dan mengunci pintu kamarnya.
"Trisya, buka pintu, Nak!" Arin menggedor kencang.
Umar keluar dari kamar karena mendengar teriakan istrinya. Ia menyambangi Arin yang mengendor pintu kamar Trisya.
"Ada apa, Bu?" tanya Umar ikut cemas. "Kenapa, gedor-gedor pintu?"
"Trisya belum keluar dari tadi. Ibu takut terjadi apa-apa dengannya. Ayah sih terlalu keras memarahinya. Kalau terjadi sesuatu pada Trisya, ini salah Ayah!" cecar Arin emosi.
Umar memanggil Ijah, menyuruh mengambil kunci cadangan. Ijah menyerahkan kunci itu. Umar membuka dan langsung masuk. Tidak ada sosok yang dicari. Kamarnya berantakan seperti kapal pecah.
Baju-baju berserakan di mana-mana. Arin menelan saliva kasar. Tampaknya, Trisya pergi dari rumah tanpa sepengetahuan orang rumah. Umar menatap Ijah.
"Kemana Trisya, Bik?"
"Saya ... saya tidak tahu ...."
"Jangan bohong Bik. Kemana Trisya!" bentak Umar.
Ijah menjengkit kaget. Ia takut pada keduanya. Trisya mengancam akan memecatnya jika memberi tahu.
"Jika Bibik tidak beri tahu saya pecat Bibik sekarang juga!" ancam Umar.
"Non Trisya pergi tadi pagi, Tuan. Katanya ada pemotretan menggunakan taksi daring," jawab Ijah cepat.
Umar menatap istrinya. Arin terdiam. Pria itu merogoh kantung celananya. Menelepon seseorang.
"Halo, Chris. Apa ada jadwal pemotretan Trisya hari ini?"
"........!"
"Apa kau yakin?"
"..….....!"
"Baik, terima kasih Chris!" ujar Umar lalu memutus sambungan telepon.
"Kau tahu. Chris itu manager Trisya. Dia bilang tidak ada pemotretan hari ini hingga tiga hari ke depan," jelas Umar pada Arin, istrinya.
"Mungkin, jadwal lain, Yah," ujar Arin masih membela Trisya. "Kan managernya bukan Chris saja?"
"Siapa lagi managernya?" tanya Umar tajam.
Ijah sudah lama menyingkir dari tempat itu. Ia tak mau berlama-lama berurusan dengan masalah rumah tangga majikannya.
"Ibu ... ibu tidak tahu," cicit Arin menunduk.
"Kenapa dia pakai taksi daring. Bukannya mobil? Bukankah Ayah tadi bilang kalau mau kemana-mana harus diantar oleh supir!" tekan Umar lagi.
"Dia sudah besar, tolong percayalah padanya, Yah," ujar Arin menenangkan Umar.
"Setelah pulang mabuk tadi pagi? Ibu suruh Ayah percaya?" tanya Umar tak habis pikir.
"Bu, apa yang Ayah lakukan ini adalah bentuk kepedulian Ayah pada Trisya. Ayah tidak mau terjadi apa-apa dengannya!" ujar Umar memberi penjelasan.
"Trisya tidak akan apa-apa. Dia bisa menjaga diri. Mungkin yang harus Ayah jaga itu Kai, bukankah selama ini dia lah biang onar di keluarga ini. Bukan Trisya!' sentak Arin lalu meninggalkan suaminya dengan kesal.
"Bu, bukan begitu maksud Ayah!"
Untuk pertama kalinya. Mereka bertengkar. Selama dua puluh satu tahun hidup tenang. Umar terbuka mata. Selama ini, biang keonaran bukanlah Kai. Tetapi dirinya, Arin istrinya dan tentu Trisya putri sambungnya.
bersambung.