Ralina Elizabeth duduk tertegun di atas ranjang mengenakan gaun pengantinnya. Ia masih tidak percaya statusnya kini telah menjadi istri Tristan Alfred, lelaki yang seharunya menjadi kakak iparnya.
Semua gara-gara Karina, sang kakak yang kabur di hari pernikahan. Ralina terpaksa menggantikan posisi kakaknya.
"Kenapa kamu menghindar?"
Tristan mengulaskan senyuman seringai melihat Ralina yang beringsut mundur menjauhinya. Wanita muda yang seharusnya menjadi adik iparnya itu justru membuatnya bersemangat untuk menggoda. Ia merangkak maju mendekat sementara Ralina terus berusaha mundur.
"Berhenti, Kak! Aku takut ...."
Ralina merasa terpojok. Ia memasang wajah memelas agar lelaki di hadapannya berhenti mendekat.
Senyuman Tristan tampak semakin lebar. "Takut? Kenapa Takut? Aku kan sekarang suamimu," ucapnya lembut.
Ralina menggeleng. "Kak Tristan seharusnya menjadi suami Kak Karina, bukan aku!"
"Tapi mau bagaimana ... Kamu yang sudah aku nikahi, bukan kakakmu," kilah Tristan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Pelindung Rahasia
"Nona ... Kenapa Anda berpakaian seperti ini?"
Martha terkejut sampai membulatkan matanya ketika melihat Ralina datang ke area dapur mengenakan pakaian pelayan.
Malam ini, di halaman rumah Keluarga Arthur tengah tengah banyak tamu yang datang. Hari ini ada acara pesta ulang tahun Karina yang ke-23. Ia tidak menyangka nyonya rumah masih menyuruh anak bungsunya untuk melakukan pekerjaan yang tidak semestinya.
Seharusnya Ralina bergabung bersama mereka menikmati pesta, bukan berada di dapur dan membantu para pelayan menyajikan hidangan.
Sebagai pelayan yang sudah puluhan tahun bekerja di sana, bahkan semenjak Ralina belum lahir, rasanya ia tidak tega melihat anak itu diperlakukan dengan tidak baik hampir setiap hari. Ingin rasanya ia membela Ralina, namun ia pasti akan langsung diusir. Ia satu-satunya pekerja yang masih dipertahankan setelah kematian orang tua Ralina.
"Tidak apa-apa, Bibi. Aku juga tidak terlalu suka dengan pesta. Lebih baik aku membantu para pelayan saja," ujar Ralina dengan seulas senyuman yang tersimpul di pipinya.
"Pasti ini kemauan Nyonya, ya ....?"
Ralina menggeleng. "Aku sendiri yang ingin melakukannya, Bibi."
"Sini, biar aku bantu!" sahut Ares.
Pemuda itu langsung sigap merebut nampan berisi gelas yang hendak diterima oleh Ralina.
"Kamu bawa tekonya sana," ujar Ares dengan raut wajah yang penuh senyuman.
"Ah, ini baru benar! Anak laki-laki memang harus membawa yang lebih berat," kata Martha.
"Kamu ... jaga Nona Ralina, ya! Jangan berikan pekerjaan yang berat!" imbuhnya.
"Tenang saja, Bibi ... Ralina aman denganku!" jawab Ares percaya diri.
"Ayo, Ralina!" ajaknya.
Keduanya lantas berjalan bersama menuju ke arah tempat pesta di halaman depan.
Ares merupakan teman satu sekolah Ralina. Ia ada di sana karena melakukan pekerjaan paruh waktu sebagai pelayan.
Dia terlahir di keluarga yang sangat sederhana. Sejak SD, ia sudah harus memulung demi mendapatkan uang jajan. Ayah ibunya sudah cukup terbebani dengan dua anak yang masih kecil. Sebagai anak yang paling dewasa, ia sudah terlatih untuk mandiri.
Beruntung dia anak yang cerdas. Sejak SD sampai SMP selalu juara kelas dan mendapatkan beasiswa penuh. Di SMA ini, ia agak tersaingi karena Ralina yang selalu mendapatkan peringkat pertama. Meskipun demikian, mereka tetap bersaing sehat dan berteman baik.
Awalnya Ares mengira hidup Ralina sangat mudah. Menjadi anak orang kaya wajar mendapatkan fasilitas yang terbaik untuk berprestasi. Namun, ternyata, Ralina juga harus berjuang keras demi mempertahankan prestasinya.
"Ini minuman apa, ya? Aromanya seperti jahe dan sereh," ujar Ares sembari mendekatkan hidung ke teko yang Ralina bawa.
"Ini namanya teh rempah. Bibi Martha yang membuatnya."
"Hmmm, teh rempah? Aku baru mendengarnya. Apa itu enak?"
"Nanti kalau ada sisa, kamu cicipi saja. Kalau orang yang belum pernah mencoba, pasti tidak ingin mencoba karena aromanya aneh. Tapi, kalau sudah pernah mencoba, pasti akan ketagihan."
Ralina dan Ares melewati tempat pesta. Sudah banyak tamu yang hadir mengenakan pakaian yang indah. Mereka seperti berada di tengah-tengah peragaan busana.
Keduanya berhenti di area minuman, menata gelas dan teko yang mereka bawa. Pelayan lain ada yang menata kue-kue, buah-buahan, serta hidangan utama. Semuanya terlihat sibuk.
"Jadi orang kaya sepertinya enak, ya!" gumam Ares memandangi orang-orang kaya yang berkumpul di sana.
Ia membayangkan bisa menjadi seperti mereka. Tentu ia tidak perlu bersusah payah bekerja keras seperti sekarang. Ia juga tidak perlu mendengarkan keluhan ibunya yang setiap hari marah-marah karena kurang uang.
Sesaat Ares teringat dengan Ralina. Ia menoleh, melihat Ralina yang masih menata minuman-minuman itu dengan rapi di atas meja. Ia baru sadar sepertinya telah salah bicara.
"Maaf, kalau ucapanku membuatmu tersinggung."
Ralina tersenyum. "Aku tidak tersinggung."
"Ya, kamu tahu sendiri. Aku tidak pernah hidup jadi orang kaya. Makanya kadang aku iri."
"Belum ...," kata Ralina.
Ares mengernyitkan dahinya fokus memandangi Ralina.
"Jangan mengatakan 'tidak pernah'. Kamu hanya belum mengalaminya. Tapi aku yakin, suatu saat kamu pasti akan jadi orang yang sukses."
Ucapan Ralina terdengar menentramkan. Baru kali ini ia mendapatkan teman orang kaya yang cara berpikir dan sifatnya berbeda dari kebanyakan anak-anak orang kaya.
"Ini sungguhan Kak Tristan mau mencoba dekat denganku?"
Suara seruan Karina menarik perhatian Ralina dan Ares. Tiba-tiba saja kakak Ralina muncul di sana bersama Tristan.
"Ya, kalau aku main-main, untuk apa aku meminta ijin pada ayah dan ibumu," kata Tristan.
Langkah kakinya terhenti saat melihat Ralina di sana mengenakan pakaian pelayan. Lagi-lagi keluarga gila itu memperlakukan Ralina dengan semena-mena. Ingin rasanya ia menghancurkan keluarga sampah itu saat ini juga.
"Ah ... Aku tidak menyangka kalau Kak Tristan tertarik padaku. Ini akan jadi hadiah ulang tahunku yang sangat berkesan."
"Padahal banyak gadis-gadis lain yang lebih menarik. Aku kira Kak Tristan tidak akan menyukai aku."
Karina begitu bahagia mendengarkan pengakuan Tristan yang ingin mengenalnya lebih dekat dari ibunya. Ia rasanya seperti bermimpi disukai oleh orang yang menjadi idaman para wanita saat ini.
"Bagaimana bisa Kak Tristan menyukai aku?" tanya Karina.
Tatapan Tristan masih tertuju pada Ralina. Ia bahkan tak terlalu peduli dengan ucapannya yang sejak tadi terdengar bising di telinganya.
"Tentu saja ... Karena kamu cantik."
Meskipun ia menjawabnya, namun isi pikirannya hanya tertuju pada Ralina, wanita muda yang masih polos itu.
Sementara, Karina tampak kegirangan mendengar jawaban Tristan dan bergelayut manja pada lengan lelaki itu.
"Ah, aku jadi tahu. Pantas saja Kak Tristan selalu dekat dengan Papa. Apa itu juga karena ingin mendekati aku?" Karina tersipu malu.
"Tentu saja ... Itu karena kamu." Lagi-lagi Tristan terpaku pada Ralina.
"Tapi ... Kenapa adikmu memakai pakaian pelayan?" tanya Tristan.
Senyuman Karina memudar. Kesenangannya seketika hilang. Ia sampai tidak sadar di depannya ada Ralina.
"Ah, ya ... Aku tidak tahu. Mungkin itu kemauannya sendiri karena ada temannya yang mengambil pekerjaan sebagai pelayan paruh waktu."
Tristan mengarahkan pandangannya pada orang di sebelah Ralina. Seorang pemuda yang usianya memang sepantaran Ralina. Mungkin saja ucapan Karina benar.
"Kamu tidak malu?" tanya Tristan pada Karina.
"Hah, apa?" Karina tidak paham maksud pertanyaan Tristan.
"Kamu tidak malu adikmu berpakaian pelayan seperti ini di pestamu?"
Tristan bertanya dengan raut wajah serius, membuat Karina sedikit takut.
"Apa kamu membenci adikmu?" pertanyaan Tristan semakin intimidatif.
"Ah ... Ya, tentu saja tidak! Aku sangat menyayangi Ralina!" kilah Karina.
"Bukankah ini sama saja mempermalukan diri sendiri? Kalian satu keluarga tapi tidak harmonis. Kenapa jadi aku yang malu sendiri," tutur Tristan.
Karina kehabisan kata-kata untuk menjawab perkataan Tristan. Ia tidak menyangka Tristan akan mengomentari hal itu.
"Sebenarnya aku ingin mengumumkan kedekatan kita di hadapan orang-orang malam ini. Tapi ... Sepertinya akan aku pikirkan lagi."
"Ah, jangan!" cegah Karina.
"Aduh ... Ralina Sayang ... Lagi-lagi kamu seperti ini!"
Laurent tiba-tiba ikut muncul. Wanita itu bagaikan ibu penyayang yang langsung memeluk Ralina.
"Mama kan sudah menasihatimu berkali-kali, jangan melakukan tugas pelayan ... Seharusnya kamu mengenakan gaun yang sudah mama berikan. Apalagi ini hari yang penting untuk kakakmu!"
Ralina hanya mematung. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang sedang mereka semua lakukan padanya.
"Tristan, Ralina memang suka seperti ini. Tolong maafkan dia, ya ... Aku akan mengajaknya untuk mengganti pakaian."
"Karina, ajak Tristan untuk mencicipi makanan kita dulu. Nanti acara akan dilanjutkan setelah Ralina selesai bersiap," kata Laurent dengan tutur kata selembut bulu angsa.
"Ayo, Ralina, ikut Mama!"
jls ralin sprti boneka katamu ug boleh banntah jd ya dia pasrah aj
sabar yah ,,
selama tristan gbungkapin isi hatinya mka ralin akn tersiksa dan merasa tersiksa dg prnikahanya eda klo tristan ungkspin isihati klo dia mncintai rali