"Ayo kita pacaran!" Ryan melontarkan kata-kata tak pernah kusangka.
"A-apa?" Aku tersentak kaget bukan main.
"Pacaran." Dengan santainya, dia mengulangi kata itu.
"Kita berdua?"
Ryan mengangguk sambil tersenyum padaku. Mimpi apa aku barusan? Ditembak oleh Ryan, murid terpopuler di sekolah ini. Dia adalah sosok laki-laki dambaan semua murid yang memiliki rupa setampan pangeran negeri dongeng. Rasanya aku mau melayang ke angkasa.
Padahal aku adalah seorang gadis biasa yang memiliki paras sangat buruk, tidak pandai merawat diri. Aku juga tidak menarik sama sekali di mata orang lain dan sering menjadi korban bully di sekolah. Bagaimana Ryan bisa tertarik padaku?
Tidak! Aku akan menolaknya dengan keras!!!
[update setiap hari 1-2 bab/hari]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 | Kerja Kelompok
Kami memilih meja yang cukup nyaman, terletak di sudut ruangan yang agak tenang, jauh dari keramaian. Kafe itu punya suasana khas dengan dinding bata ekspos yang dipenuhi hiasan tanaman gantung, serta lampu-lampu temaram yang memberikan sentuhan hangat.
Namun, ada satu meja yang benar-benar menarik perhatianku. Meja di luar ruangan, di balkon, tampak begitu memikat dengan pemandangan yang menghadap langsung ke jalanan kota yang sibuk. Mobil-mobil berlalu-lalang, orang-orang berjalan dengan tergesa-gesa, dan lampu-lampu lalu lintas yang berkedip, seakan menjadi orkestra visual yang menenangkan.
Dengan pepohonan rindang di luar kafe, udara di luar yang segar dan hangat membuatku ingin sekali duduk di sana. Sesekali, angin membawa aroma manis bunga melati dari toko bunga kecil di seberang jalan.
Tanpa sadar, aku menatap meja itu dengan tatapan penuh takjub, membayangkan betapa nyamannya duduk di sana, menikmati angin yang berhembus ringan sambil belajar. Bayangan diriku duduk sambil mencoret-coret buku catatan, ditemani suara burung dan obrolan samar para pejalan kaki, seolah menjadi momen sempurna yang kuinginkan.
“Do, kita duduk di sana aja,” kata Ryan tiba-tiba, menunjuk meja yang ada di balkon itu, membuatku tersadar dari lamunanku.
Aku menoleh padanya, sedikit terkejut namun senang karena pikiranku seakan terbaca olehnya.
“Oke, kalian berdua duduk di sana aja duluan. Gue mau pesan minuman, kalian mau apa?”
“Aku americano kayak biasa. Kamu mau pesan apa, Ra?” Ryan memandangku dengan alis yang sedikit terangkat, ekspresi khasnya yang menunjukkan perhatian.
“Aku … matcha latte,” jawabku, setengah berbisik.
Rasanya kata-kataku masih terbungkus dalam angin sejuk yang menari-nari di balkon.
“Biar gue yang pesenin.” Edo berjalan menuju meja counter dengan langkah santai.
Ryan dan aku hanya mengangguk, lalu menuju meja yang dimaksud. Angin sejuk segera menyambut kami, membawa serta suara dedaunan yang berdesir. Rasanya senang sekali menatap pohon itu, hijaunya daun yang bergerak pelan menyejukkan mata. Aku menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara segar memenuhi paru-paruku, seakan membawa ketenangan yang kuperlukan.
“Ra …” panggil Ryan dengan suara lembut.
Suaranya selalu memiliki nada yang dalam, seperti alunan lagu yang tak pernah bosan didengar. Aku tidak sempat mendengarnya, pikiranku masih sibuk memerhatikan orang-orang yang berlalu-lalang di trotoar. Ada seorang ibu yang menggandeng anak kecil dengan seragam sekolah, seorang pria tua dengan topi fedora yang sibuk dengan ponselnya, dan pasangan muda yang berjalan sambil tertawa.
“Ra-Aura …” Panggilnya lagi, kali ini lebih keras dan membuatku tersadar.
Aku menoleh padanya. “Ya?” tanyaku, agak malu karena terbawa suasana.
“Kamu suka pemandangannya?” tanya Ryan, senyum tipis terukir di wajahnya.
Matanya menatap lurus ke arahku, seolah sedang mencari sesuatu dalam ekspresi wajahku.
“Iya,” jawabku singkat.
Hatiku berdesir dengan cara yang aneh, seperti angin yang membelai lembut dedaunan di balkon ini.
Ryan tersenyum lebih lebar. “Aku perhatiin, kamu selalu menatap ke luar jendela pas waktu pelajaran di sekolah.”
Aku terdiam sejenak, membiarkan kata-katanya bergema di pikiranku. Betul apa yang dikatakan Ryan. Di sekolah, sepanjang pelajaran berlangsung, aku selalu sibuk melamun dengan menatap ke arah jendela. Bukan karena aku bosan, tapi karena aku selalu merasa bahwa di luar sana ada sesuatu yang aku impikan.
“Emangnya, apa yang kamu lihat di luar sana?” Ryan melanjutkan, kali ini suaranya terdengar lebih penasaran.
Aku mengangkat bahu, mencoba tersenyum. “Aku nggak tahu. Mungkin Cuma memperhatikan daun-daun berguguran dan pejalan kaki di jalan itu.”
Ryan tertawa pelan, suara tawanya terdengar renyah dan menular. “Kamu aneh, Ra. Jangan kebanyakan melamun, nanti kemasukan setan.”
Perasaanku sedikit teraduk mendengar kalimat itu. Aku merasa pipiku sedikit memanas, namun aku berusaha terlihat biasa saja. Sementara itu, Edo kembali dengan nampan berisi minuman yang kami pesan. Ia meletakkan americano untuk Ryan dan matcha latte untukku.
“Nih, minumannya,” kata Edo sambil duduk dan menyesap kopinya.
Ia melihat kami bergantian dengan mata yang menyipit lucu. “Kalian ngomongin apa tadi? Kok senyum-senyum?”
“Rahasia,” jawab Ryan sambil menatapku, membuat Edo terkekeh.
Aku hanya bisa tertawa kecil, merasa aneh dengan perasaan hangat yang membuncah dalam hati. Rasanya seperti menemukan kembali bagian diriku yang telah lama hilang. Baru pertama kali setelah sekian lama, aku bisa tersenyum dan tertawa lagi tanpa rasa beban.
Kami sempat mengobrol sebentar sebelum membahas tugas fisika yang mengintimidasi itu. Suasana balkon kafe yang hangat menjadi latar sempurna, seolah dunia di sekitar kami berhenti sejenak untuk membiarkan kami fokus.
Edo dengan cepat menelusuri halaman buku paket, sementara Ryan menyibukkan diri dengan mencatat rumus-rumus penting di kertas coretan. Aku merasa mereka berdua tampak lihai dengan pertanyaan-pertanyaan yang ada di buku itu, cara mereka berdiskusi membuat materi yang rumit terdengar mudah.
Berbeda denganku yang kesulitan mencari jawaban itu. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, menatap soal di buku seperti menghadapi teka-teki tak terpecahkan. Ryan memperhatikan ekspresi kebingunganku dan tersenyum tipis.
“Ra, sini aku jelasin,” katanya sambil menarik bukuku ke arahnya.
Dengan sabar, dia mulai menjelaskan materi dengan bahasa yang sederhana, sesekali menambahkan coretan di pinggir halaman. Suaranya lembut, membuat semuanya terasa lebih mudah dimengerti.
Tak hanya itu, dia bahkan membantuku mengerjakan beberapa soal, menunjukkan langkah demi langkah dengan cermat. Aku memperhatikan gerakannya, merasakan rasa kagum yang bertambah dalam hatiku.
“Ryan, kamu kayak guru beneran,” aku berkomentar sambil tertawa kecil.
Pipiku sedikit memerah, bukan hanya karena pujian yang keluar dari bibirku, tapi karena kesadaranku bahwa aku menikmati setiap detik bersamanya.
“Kalau gitu, emang aku cocok ya, jadi guru? Kamu mau bayar gajiku berapa?” candanya, mengangkat alis sambil tersenyum lebar.
“Eh, nggak tau,” aku menjawab dengan mencoba menyembunyikan detak jantungku yang tiba-tiba berdegup lebih cepat.
...»»——⍟——««...
“Ah, akhirnya kelar juga!” ucap Edo tiba-tiba sambil mengangkat tangan, seolah merayakan kemenangan kecilnya.
Wajahnya cerah, meski dahinya berkilat oleh keringat tipis. Matahari di langit tampak makin jingga, menyebarkan warna emas ke seluruh balkon, memberikan sentuhan dramatis pada sore itu.
Kami meregangkan badan, melepaskan penat dari tubuh yang terlalu lama duduk. Sejenak, keheningan di antara kami terasa damai. Kami semua terdiam, menikmati momen terakhir di kafe sebelum pulang.
“Yuk, kita cabut sebelum malam datang,” Edo menyela, mengemasi buku-buku ke dalam tasnya. “Bye, gue pulang duluan, ya. Kalian berdua balik gih ke rumah. Jangan pada bucin keluyuran nggak jelas,” lanjutnya.
“Iya, iya …” jawab Ryan sambil menatap sahabatnya itu dengan senyum di bibir.
Edo mengangguk dan berjalan menjauh, meninggalkan aku dan Ryan yang berdiri berdua di depan kafe. Hembusan angin sore membawa aroma jalanan kota yang bercampur antara daun basah dan asap kendaraan, membuat suasana terasa hidup.
Aku dan Ryan berjalan beriringan karena rumah kami searah. Langkah-langkah kami seirama, mengikuti jalan setapak yang dipenuhi daun-daun kering. Tak ada percakapan di antara kami, hanya derap langkah dan hembusan angin yang menjadi musik pengiring perjalanan kami.
Sesekali, aku mencuri pandang ke arahnya. Wajah Ryan yang diterangi sisa sinar matahari tampak tenang, dengan mata yang seolah memikirkan sesuatu yang tak terucapkan.
“Ra,” suaranya memecah keheningan.
Aku menoleh, sedikit terkejut.
“Aku mampir ke rumahmu sebentar, ya?”
...»»——⍟——««...