Bukan salah Anggun jika terlahir sebagai putri kedua di sebuah keluarga sederhana. Berbagai lika-liku kehidupan, harus gadis SMA itu hadapi dengan mandiri, tatkala tanpa sengaja ia harus berada di situasi dimana kakaknya adalah harta terbesar bagi keluarga, dan adik kembar yang harus disayanginya juga.
"Hari ini kamu minum susunya sedikit aja, ya. Kasihan Kakakmu lagi ujian, sedang Adikmu harus banyak minum susu," kata sang Ibu sambil menyodorkan gelas paling kecil pada Anggun.
"Iya, Ibu, gak apa-apa."
Ketidakadilan yang diterima Anggun tak hanya sampai situ, ia juga harus selalu mengalah dalam segala hal, entah mengalah untuk kakak ataupun kedua adik kembarnya.
Menjadi anak tengah dan harus selalu mengalah, membuat Anggun menjadi anak yang serba mandiri dan tangguh.
Mampukah Anggun bertahan dengan semua ketidakadilan karena keadaan dan situasi dalam keluarganya?
Adakah nasib baik yang akan mendatangi dan mengijinkan ia bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUA PULUH ENAM
Anisa memang masih bocah SMP, tapi postur tubuhnya yang bongsor, membuatnya mampu mengimbangi Aulia, membuat gadis kuliahan itu terbanting di atas ranjang.
Aulia berniat segera bangun, namun tangan cekatan Anisa yang bergerak cepat seraya menyodorkan mesin catok rambut membuatnya terkunci tak bisa melawan.
“Kamu siapa? Kenapa datang-datang mencari masalah?!” gertak Anisa.
“Kalian ini bocah-bocah murahan! Perebut lelaki orang!” balas Aulia seakan tak takut dengan apa yang dipegang Anisa.
Nindi pun menjambak rambut panjang Aulia, hingga membuatnya mengerang kesakitan.
“Heh! Hati-hati kalau ngomong! Bukan kami yang sengaja merebut lelakimu! Tapi mereka yang memohon-mohon untuk bertemu kami!” timpal Nindi tak memperdulikan teriak kesakitan Aulia. “Jadi kamu yang tadi mengangkat telpon gue ya? Kamu istrinya om Dani? Atau hanya simpanannya juga?”
Aulia mengumpulkan sisa tenaganya, ia menendang asal kedua bocah itu hingga berhasil membuat Anisa terjengkang ke lantai begitu juga dengan Nindy. Akhirnya Anisa bisa bangkit berdiri melepaskan diri dari tekanan.
“Asal kalian tahu! Aku adalah calon istri lelaki itu! Jika kalian tak ingin dilaporkan ke polisi, jangan menghubunginya lagi!” Aulia membalas gertakan.
“Ha … ha … ha … atur saja lelaki hidung belangmu itu, jangan salahkan kami yang bisa memuaskannya, dia yang terus mencari-cari kami!”
“Kurang ajar kalian!” pekik Aulia geram
“Makanya jaga mata lelakimu, layani dia sepuasnya dengan begitu mereka tidak akan mencari kamu lagi!” ejek Nindi dengan ekspresi mencemooh, memicingkan sebelah mata dan senyuman sebelah bibir.
Anisa semakin hancur dengan ucapan Nindi, ia tahu jika melawan pun, pasti akan kalah, namun semua sudah terlanjur, rasa sakit hati dan kemarahan membuatnya kembali berani dan mendapatkan kekuatan untuk membalas.
Aulia ingat di dalam tasnya ada gunting kecil yang terkahir kali ia masukkan saat selesai membantu kawannya mendekorasi kamar, Aulia meraih gunting itu kalau mengayunkannya ke arah Anisa dan Nindi.
“Aku tidak akan mengampuni kalian sampai kalian bilang menyerah dan tak ingin mengganggu lelakiku!” gertaknya.
“Memangnya apa yang akan kamu lakukan dengan gunting kecil itu, hah?!” balas Anisa yang justru berani maju mendekat.
Aulia memberanikan diri menerjang Anisa, hingga berhasil melukai lengan kanannya dengan goresan gunting. Aulia memekik kesakitan.
“Buka pintunya! Jika kalian masih berani melawanku, akan aku telpon polisi sekarang!” gertak Aulia mengacungkan gunting dan ponselnya.
“Jangan lengah Nindi!” teriak Anisa seraya menahan perih menggenggam lengan kanannya yang sedikit berdarah.
“Buka pintunya atau aku teriak minta tolong! Kalian akan dicemooh banyak orang dan diusir dari sini! Aku yakin kalian booking tempat ini bukan atas nama kalian sendiri kan?! Anak dibawah umur pasti akan ditangkap polisi dan aku yang bertugas membuatnya viral!” ancam Aulia masih mengacung-acungkan guntingnya dengan terbuka.
Mendengar ancaman Aulia, Nindi semakin panik, ia bingung tak tahu harus bagaimana, ia hanya melemparkan kunci ke arah Aulia lalu mendekati Anisa untuk menolongnya.
Aulia akhirnya berhasil keluar dari hotel itu dengan perasaan terluka dan marah. Air mata tak bisa ditahannya, mengalir deras membasahi seluruh wajahnya.
.
.
.
Sore harinya, Anggun tampak tengah bersiap-siap setelah selesai mendandani kedua adiknya. Sesuai permintaan ibunya tadi pagi, sore ini Anggun harus menanti Arpin dan Arpan ke acara ulang tahun teman mereka.
Anggun menggandeng kedua adiknya menuntun menuju ke jalan raya untuk menaiki angkot setelah berpamitan pada bu Maryani yang tengah sibuk mempersiapkan pesanan snack sebagai usaha kecil-kecilan yang telah lama ia kembangkan.
Perjalanan tak begitu jauh, sekitar 15 menit menumpang angkot, sudah membawa Angin dan si kembar sampai di depan sebuah rumah makan sederhana yang di dalamnya terdapat taman-taman yang luas dan beberapa petak kolam-kolam ikan dengan tanaman-tanaman bunga yang berjejer di sekelilingnya.
Sedikit ragu, Anggun kembali melongok undangan yang tadinya diberikan sang ibu, “Ah, benar ini tempatnya,” batin Anggun kemudian menuntun kedua adiknya berjalan menuju ke pintu masuk.
Anggun memperlihatkan undangannya pada petugas yang berjaga di depan pintu, lalu ia diarahkan untuk menuju ke salah satu pavilliun yang di sana telah berkumpul beberapa orang tua beserta anak-anak mereka.
“Arpan! Arpin!” seru renyah teman-teman si kabar saat menyambut kedatangan mereka.
“Selamat sore,” sapa Anggun sangat canggung dengan senyum ramah yang ia paksa.
“Hallo … selamat datang, pasti ini kakaknya si kembar ya?” sambut seorang wanita muda yang sepertinya adalah si empunya acara.
Anggun mengangguk dengan senyum yang semakin lebar untuk menutupi rasa malu dan khawatirnya, rasanya aneh berkumpul diantara orang yang tidak dikenalnya, seraya menyalami semua tamu yang telah hadir.
“Sini-sini duduk dulu di sini!” tarik lembut seorang wanita paruh baya menyambut Anggun dengan ramah.
Anggun menurut masih dengan senyum dan anggukan yang sedikit mulai merasa nyaman.
Anggun kemudian membuka ranselnya, mengeluarkan dua kotak kecil yang dibungkus kertas kado warna-warni, “Kasih ini ke temanmu yang ulang tahun itu,” ucapnya lembut pada adik kembarnya.
Si kembar Arpan dan Arpinelakukan sesuai dengan arahan Anggun, lalu bergabung bersama kawan-kawan mereka lainnya bermain-main di beberapa wahana yang telah disediakan oleh panitia acara.
Sapaan dan perkenalan basa-basi pun dimulai, “Kamu cantik sekali, siapa nama kakaknya si kembar ini?” sapa seorang wanita yang sepertinya salah satu orang tua dari teman adiknya.
“Anggun, Tante,” jawabnya singkat seraya menganggukkan kepala sebagai ungkapan hormat.
“Santai saja, nggak usah-malu kumpul sama para emak-emak ya,” kelakar yang lainnya.
“Kamu masih sekolah?” tanya yang lainnya lagi dan Anggun pun menjawab seperlunya, hingga akhirnya keakraban pun mulai terjadi.
Para ibu yang biasanya selalu welcome dengan semua orang, membuat kecanggungan Anggun semakin menghilang diganti dengan rasa nyaman untuk berbincang ringan mengenai beberapa hal.
Mulai dari mengulik dan saling menceritakan kebiasaan-kebiasaan anak-anak mereka jika di rumah, kemudian semakin merembet mengenai candaan-candaan lain khas ibu-ibu kompleks.
Tak lama kemudian, setelah para tamu semakin banyak yang datang, acara pun dimulai, dipandu oleh tim dari rumah makan setempat. Balon- balon dan dekorasi ulang tahun diletakkan di beberapa bagian oleh tim, dan dua orang MC berpakaian badut membuat acara semakin meriah.
Pertunjukan badut dengan sulap-sulap kecilnya yang disukai anak-anak pun menunjukkan aksinya hingga menghipnotis semua yang hadir diakhiri dengan tepuk tangan meriah di setiap sesinya.
Hingga akhirnya masuk ke acara inti, tepat di saat itu tim pemandu acara mendorong sebuah kue besar dengan meja beroda, kue yang berbentuk miniatur bangunan kastil dengan hiasan beberapa boneka pahlawan kesayangan anak-anak membuat semuanya bertepuk tangan.
Tepat dibelakang tim itu, tampak hadir beberapa orang yang tak asing bagi Anggun. Secara otomatis mulutnya sedikit menganga sekarang tak percaya dengan apa yang dilihatnya,
“Apa yang mereka lakukan di sini? Apa mereka keluarga dari anak itu juga? Sungguh sangat kebetulan,” pikirnya tetap berada di posisinya diantara kerumunan tamu.
“Bagaimana caraku menyapa? Aku …,” batin Anggun kembali canggung, berdiri meremas ujung kemejanya menatap beberapa orang yang baru datang itu menyalami semua orang. “Duh! Mereka semakin mendekat ke arahku!” pekik Anggun semakin canggung.
...****************...
To be continue...
Ini Anisa sama temennya kan 😮💨
Apa ig nya 🤭
lebih cocok jadi anaknya Tono dia 😩