seorang gadis "bar-bar" dengan sikap blak-blakan dan keberanian yang menantang siapa saja, tak pernah peduli pada siapa pun—termasuk seorang pria berbahaya seperti Rafael.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lince.T, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah awal perang
Pagi itu, vila Rafael dipenuhi oleh hiruk-pikuk yang tidak biasa. Para penjaga bergerak cepat, membawa perlengkapan senjata dan mengamankan semua sudut. Suasana tegang terasa di mana-mana. Rafael duduk di ruang rapat bersama Marco dan beberapa orang kepercayaannya, mempelajari peta pergerakan musuh yang terbaru.
“Darius sedang memperkuat posisinya di sisi barat kota,” ujar Marco sambil menunjuk titik di peta. “Dia tahu kita menyerang gudangnya minggu lalu. Ini balas dendam.”
Rafael mengangguk pelan, tatapannya tajam. “Berarti kita harus menyerang dulu sebelum dia siap. Tapi kali ini, kita nggak boleh gegabah. Gue mau operasi ini berjalan tanpa satu pun kesalahan.”
Seorang pria lain, Riko, yang merupakan ahli strategi kelompok Rafael, angkat bicara. “Gue bisa kirim tim pengintai untuk memastikan kondisi di lokasi. Tapi kita harus bergerak cepat. Kalau kita terlalu lama, dia akan semakin kuat.”
“Lakukan,” jawab Rafael singkat. “Gue nggak mau ada yang pulang tanpa hasil.”
Liana berdiri di luar ruangan, mendengar potongan pembicaraan itu. Rasa penasarannya semakin besar, tetapi ia tahu dirinya bukan bagian dari dunia ini. Meskipun ia mencoba menjauhkan diri dari masalah Rafael, hatinya mengatakan lain. Ia merasa dirinya semakin terlibat, meskipun ia tahu itu berbahaya.
---
Di sisi lain kota, Darius duduk di kantornya yang megah namun terasa gelap. Ia memandang layar monitor yang menampilkan rekaman pergerakan kelompok Rafael.
“Mereka pikir bisa menghancurkan gue?” gumamnya sambil tersenyum sinis.
Seorang anak buahnya masuk dengan laporan terbaru. “Bos, tim Rafael sudah mulai bergerak. Mereka mengirim pengintai ke daerah barat.”
Darius tertawa kecil. “Bagus. Biarkan mereka datang. Gue udah siapkan sesuatu untuk mereka. Pastikan jebakan kita berjalan mulus.”
Anak buahnya mengangguk dan segera pergi, meninggalkan Darius dengan senyuman penuh arti. Baginya, Rafael adalah musuh yang cerdas, tetapi ia percaya dirinya jauh lebih licik.
---
Malam harinya, Rafael mempersiapkan timnya untuk bergerak. Ia berdiri di tengah aula vila, memberikan arahan dengan suara tegas.
“Semua orang tahu apa yang harus dilakukan. Kita nggak punya ruang untuk kesalahan. Pastikan kalian tetap berkomunikasi dan hindari jebakan. Gue nggak mau ada yang kehilangan nyawa tanpa alasan.”
Liana yang berdiri di sudut ruangan memperhatikan dengan cermat. Ia kagum dengan cara Rafael memimpin, tetapi di sisi lain, ia merasa cemas. Dunia ini terlalu keras, dan ia tidak yakin Rafael bisa terus bertahan tanpa kehilangan dirinya sendiri.
Setelah briefing selesai, Rafael mendekati Liana. “Gue tahu lo denger semua tadi,” katanya sambil menatapnya dengan serius.
Liana mengangkat bahu. “Gue nggak bermaksud ikut campur. Tapi lo tahu ini berbahaya, kan?”
“Gue tahu,” jawab Rafael. “Tapi ini satu-satunya cara untuk melindungi apa yang gue punya.”
“Lo yakin lo nggak terlalu memaksakan diri?” tanya Liana, suaranya penuh kekhawatiran.
Rafael tersenyum tipis. “Gue nggak punya pilihan, Liana. Kalau gue berhenti sekarang, semua yang gue bangun akan hancur. Dan gue nggak bisa biarin itu terjadi.”
Liana terdiam, mencoba memahami beban yang Rafael pikul. Ia ingin berkata sesuatu, tetapi kata-kata itu tidak pernah keluar.
---
Di jalan menuju markas Darius, tim Rafael bergerak dengan hati-hati. Marco memimpin di depan, sementara Rafael berada di tengah untuk memastikan semuanya berjalan lancar.
“Gue nggak suka ini,” gumam Marco melalui radio komunikasi. “Semua terlalu sepi.”
“Terus jalan,” jawab Rafael. “Kita harus tahu apa yang mereka sembunyikan.”
Namun, tiba-tiba terdengar suara ledakan keras dari arah depan. Salah satu mobil tim mereka terlempar ke udara, diikuti oleh suara tembakan yang memekakkan telinga.
“Jebakan!” teriak Marco.
Rafael segera mengambil senjata dan keluar dari mobilnya. “Semua berlindung! Cari tahu dari mana serangan ini datang!”
Pertempuran sengit pun pecah di tengah malam. Rafael dan timnya berusaha bertahan, tetapi serangan musuh terlalu terorganisir. Mereka terpaksa mundur ke posisi yang lebih aman, sementara Rafael mencoba mengatur strategi baru.
“Gue nggak akan biarin mereka menang,” gumam Rafael dengan tekad.
Di sisi lain, Darius memantau pertempuran melalui layar monitornya. Ia tersenyum puas melihat kekacauan yang terjadi.
“Ini baru permulaan, Rafael,” katanya pelan. “Permainan ini belum selesai.”
---
Ketika Rafael dan timnya berhasil kembali ke vila, suasana terasa suram. Beberapa orang terluka, dan mereka kehilangan dua anggota dalam pertempuran itu.
Rafael duduk di ruangannya, menatap peta dengan ekspresi muram. Ia tahu mereka kalah malam itu, tetapi ia tidak akan menyerah.
Liana masuk ke dalam ruangan, membawa secangkir kopi. “Lo nggak apa-apa?” tanyanya pelan.
Rafael mengangguk. “Gue baik. Tapi kita kehilangan dua orang.”
Liana duduk di kursi di depannya. “Lo tahu, nggak apa-apa kalau lo butuh waktu buat memproses semua ini. Lo juga manusia.”
Rafael menatapnya, matanya yang gelap menunjukkan kelelahan yang mendalam. “Kadang gue lupa kalau gue manusia, Liana. Dunia ini nggak kasih gue kesempatan untuk lemah.”
“Tapi lo nggak harus hadapi semua ini sendirian,” ujar Liana, suaranya penuh ketulusan.
Kata-kata itu membuat Rafael terdiam. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada seseorang yang benar-benar peduli padanya, bukan karena kekuatannya, tetapi karena dirinya.
“Terima kasih,” gumam Rafael akhirnya.
Di tengah semua kekacauan, ada satu hal yang membuat Rafael merasa sedikit lebih tenang—kehadiran Liana di sisinya. Tapi ia tahu, perang ini masih jauh dari selesai, dan ia harus lebih siap dari sebelumnya untuk menghadapi semua yang akan datang.
Malam itu, vila kembali sunyi setelah kegaduhan pertempuran. Rafael tetap duduk di ruangannya, menatap peta yang sekarang terasa seperti penghinaan. Setiap titik di peta adalah pengingat bahwa Darius satu langkah di depan.
Liana masih duduk di seberangnya, memperhatikan Rafael dalam diam. Ia ingin membantunya, tetapi ia tahu bahwa tidak banyak yang bisa ia lakukan di dunia seperti ini. Namun, ia tidak tahan melihat Rafael memikul semuanya sendiri.
“Kita nggak bisa terus begini,” kata Liana akhirnya, memecah kesunyian.
Rafael mengangkat alis, menatapnya dengan tatapan lelah. “Maksud lo apa?”
“Lo nggak bisa terus-terusan mikirin semua sendiri, Rafael. Gue tahu lo punya orang-orang yang lo percaya. Marco, Riko... mereka siap bantu lo. Gunakan mereka. Jangan hadapi semuanya sendirian,” ujar Liana dengan nada tegas.
Rafael terdiam sejenak, merenungkan ucapan Liana. Memang benar, ia terlalu sering menganggap semua tanggung jawab adalah miliknya. Ia terbiasa mengendalikan segalanya, tetapi mungkin kali ini, ia butuh bantuan lebih dari biasanya.
“Gue akan pikirin itu,” kata Rafael akhirnya.
Liana mengangguk. “Bagus. Karena kalau lo jatuh, semuanya jatuh.”
Kalimat itu menusuk hati Rafael. Ia tahu Liana benar, tetapi tanggung jawab yang ia pikul begitu besar. Namun, untuk pertama kalinya, ia mempertimbangkan kemungkinan membuka diri lebih jauh—tidak hanya kepada orang-orang kepercayaannya, tetapi juga kepada gadis yang telah mengubah caranya melihat dunia.
---
Sementara itu, di sisi kota yang lain, Darius sedang bersulang dengan anak buahnya. Ia terlihat puas, tetapi di dalam pikirannya, ia tahu ini baru permulaan.
“Rafael akan menyerang balik,” katanya dengan tenang. “Dan kita akan siap. Pastikan jebakan berikutnya lebih besar. Gue mau dia jatuh ke titik terendahnya.”
Anak buahnya mengangguk, bergegas mempersiapkan langkah selanjutnya. Darius tersenyum tipis, menikmati kemenangan kecil malam ini. Tapi ia tahu, pertempuran sesungguhnya masih jauh dari selesai.
Rafael dan Darius sedang berjalan di jalur yang sama—jalur yang penuh dengan darah, kehilangan, dan pengkhianatan. Hanya waktu yang akan menentukan siapa yang akan berdiri sebagai pemenang di akhir perang ini.