Hubungan Inara dan Artha harus kandas karena perselingkuhan Artha. Padahal mereka sudah mau menikah.
Malu pernikahan batal, Inara terpaksa menyetujui perjanjian dengan Argha, kakak Artha demi untuk membalas Artha dan tidak mempermalukan orang tuanya.
Inara kalah dengan perasaannya. Ia jatuh cinta pada suaminya yang misterius. Hanya saja, dendam Argha membuat Inara merasa rendah diri. Dan godaan Artha selalu datang pada mereka.
Akankah Argha dan Inara bisa bersatu, atau masa lalu Argha akan terus membuat jarak di antara mereka dan memilih berpisah demi kebaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Layli Dinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 13 Mengadu
“Kan saya udah bilang, kaki saya udah membaik, Pak.” Sepertinya, ekspresi wajah dan ucapan Inara berbeda, Inara masih meringis kesakitan.
“Apa? Kamu manggil saya apa?” Argha tak terima. Ia sudah memperingatkan Gadis itu beberapa kali.
“Kaki saya sudah membaik, Mas,” ulang Inara malu-malu. Jujur, ia merasa aneh memanggil Argha dengan sebutan itu. Ia juga berusha untuk tidak terlalu berharap. Entahlah, sepertinya Argha memang sulit untuk dijangkau, meski pria ini tidak akan mungkin menghianati. Pria dingin dan sepengertian ini bukanlah pria brengsek. Biasa saja ia jatuh hati. Namun, masalahnya, Argha tak pernah menanggapinya sebagai perempuan yang layak untuk dicintai.
“Jadi, apa dua hari lagi kita bisa ke rumah kamu? Saya akan infokan ini sama papa saya, supaya Beliau bisa secepatnya pulang.”
Jujur saja, kalau untuk bertemu dengan Alan, rasa takut itu masih ada. Hanya saja, Inara tak bisa terus menghindari ini bukan? Lambat laun ia tetap akan bertemu. Inara menyesal harus terjebak dalam situasi sulit seperti ini. Tentu akan begitu banyak pertanyaan.
“Kamu kenapa?” Kening Argha mengerut. Melihat perubahan wajah Inara setelah membahas mengenai papanya.
“Em … jujur, saya takut. Dari awal, Pak Alan sama sekali tidak merestui hubungan saya dengan Mas Artha. Lalu, bagaimana dengan—“
“Kan sama Artha. Bukan sama saya, kan?” Inara belum tahu saja, kalau ia memiliki pengaruh yang besar pada keluarganya.
Inara terdiam, menatap manik Argha yang teduh, namun sedikit mempengaruhi. Detik berikutnya ia menghela napas dan menunduk.
“Latas, apa bedanya?” Takut akan dihina kembali. Ini yang menjadi pikiran Inara sekarang ini.
“Sudah saya bilang, apapun bisa saya lakukan.” Argha mencoba untuk meyakinkan Inara.
Ya sudahlah. Inara akan melihatnya nanti. Apakah yang dikatakan oleh calon suaminya itu benar? Kepalanya mengangguk, patuh. Bukankah dengan ini kedua orang tuanya juga tidak akan malu? Mengingat berita pernikahannya saja sudah menyebar di penjuru desa. Ibunya itu suka gembar-gembor pada para tetangga. Jika ia akan lekas memiliki mantu anak konglomerat yang tampan. Ah, membayangkannya saja, Inara sudah sangat malu.
“Sebaiknya, sebelum pulang ke apartemen, kita harus ke makam mama saya dulu.”
Inara mengangguk. Ia merasa tersanjung karena Argha akan mengjaknya bertemu dengan orang yang paling pria itu cintai. Ya, meski hanya batu nisannya saja. Namun, cukup membuatnya terharu.
.
***
Artha melajukan langkahnya, membuka pintu begitu saja. Mengabaikan larangan dari beberapa pengawal untuk tidak menyelonong masuk. Mengingat orang tuanya sedang sangat sibuk.
Brak.
“Artha?”
Napas Artha menderu. Della yang sedang berbicara dengan seorang suster menyuruhnya untuk keluar dengan isyarat tangannya. Tak ingin semua orang tahu mengenai masalah putranya ini. Ia bisa melihat wajah Artha yang tidak enak dipandang itu, merengut seperti orang frustrasi.
Kini di dalam ruang praktek Dokter Della, hanya ada mereka saja. Artha aman berbicara sesuatu.
“Kamu kenapa kaya gitu? Kapan kamu datang?” tanya Della dengan lembut. Ia selalu berkata lembut pada anak-anaknya, meski bersama Artha, ia sering mengomel juga, mengingat putranya ini memang sedikit sulit untuk diatur.
“Ma, ini tidak adil! Ini sungguh tidak adil. Bahkan Papa menyetujui pernikahan Kak Argha.” Artha meraung, meluapkan unek-uneknya.
Della menutup map yang ada di tangannya, lalu bangkit, menghampiri putranya yang tampak frustrasi. “Memangnya kenapa? Kakakmu sudah sangat dewasa, usianya juga sudah dia ats kepala tiga. Harusnya kamu senang, kan? Mama juga senang karena rumor tidak sedap itu salah.”
“Gimana aku bisa senang, kalau mempelai wanitanya saja Inara!” jelas Artha lantas meraup wajahnya sendiri.
Mata Della mendelik. Sesungguhnya ia memang tidak menyukai Inara, mengingat gadis itu terkenal matre. Gosip mengatakan seperti itu meski ia belum menyelidiki kebenarannya. Hanya saja, kenapa Argha yang akan menikahinya, apakah rumor Inara matre itu benar?
“Mama enggak ngerti. Bukankah kalian sudah—“
“Kami putus,” jawab Artha nelangsa.
Della sungguh penasaran. Wanita yang masih cantik di usianya itu duduk di sebelah sang putra. “Jelasin sama mama, mama enggak ngerti.”
“Aku ketahuan selingkuh sama dia, Ma.” Membayangkan kejadian itu, Artha sangat menyesal. Namun, menyesal juga tidak ada gunanya, kan?
Della mengurut kepalanya sendiri. Artha memang sangat susah untuk dinasehati. Terkadang, kepalanya ingin pecah mendengar pengaduan dari beberapa orang kepercayaannya mengenai putrnya ini.
“Ma, tapi waktu itu aku sedang mabuk.”
“Mama sudah bilang beberapa kali sama kamu, kan? Kurangi kebiasaan buruk kamu itu, Artha! Kamu benar-benar sangat keterlaluan. Sekarang, kamu lihat sendiri, kan? Mau sampai kapan?”
Bukannya mendapatkan pembelaan, Artha justru mendapatkan omelan. Ini yang ia tidak sukai pada orang tuanya dan memilih untuk tinggal di rumahnya sendiri. Sang mama yang jelas telah melahirkannya saja terlihat jauh lebih perhatian dengan Argha yang bukan anak kandungnya sendiri.
“Pokoknya aku enggak terima, Ma. Mama harus bujuk papa buat ngelarang mereka menikah.” Artha bersikeras, supaya mamanya ini memihak padanya. Barang kali, mamanya juga bisa menghasut sang papa.
Della menggelengkan kepalanya. “Jujur, mama tidak menyukai dia karena gosip itu. Hanya saja, kalau untuk melarang kakakmu menikah, mama enggak punya daya. Kamu lihat sendiri, kan? Dengan mama sangat perhatian sama dia saja, kakakmu itu sampai sekarang masih belum bisa menerima mama.”
“Makanya, mama stop ngebaikin Kak Argha!” Artha menjadi kesal sendiri. Sejak kecil, ia yang harus terus mengalah dengan kakaknya itu. Padahal, rumor mengenai kakaknya yang menyukai sesama jenis itu, ia berharap itu adalah kebenaran. Sialnya, Argha justru berada satu langkah di depannya.
Della menepuk pundak putranya dengan lembut. “Sudah mama bilang, kan. Nikah saja sama Melani. Dia wanita yang salehah, Nak. Dia baik, pintar dan cerdas. Dia—“
“Kuno!” Artha menggelengkan kepalanya dengan keras. Benar-benar sangat frustrasi. “Dia bukan tipeku.”
“Belajarlah buat membuka hati dulu, Artha.”
Artha bangkit dari tempat duduknya. Ia bersikeras untuk pada pendiriannya. Tidak mau menjalin hubungan dengan gadis bernama Melani itu. “Argha mau pulang, ngadu sama Mama percuma aja!”
“Artha! Tha!”
Artha tak menggubris seruan ibunya. Ia memilih ntuk pergi dari rumah sakit tempat mamanya bekerja. Merasa sia-sia. Ah, Artha benar-benar kesal dengan tanggapan sang mama kali ini. Sama sekali tak memihak.
Karena frustrasi, Artha memilih untuk pergi ke kelab. Hanya tempat ini yang bisa membuatnya melupakan segala masalah yang ada. Meski sesaat. Ia tak tahu ke mana ia harus pulang. Sejak kecil, ia selalu dikalahkan oleh Argha. Pria itu yang selalu dibanggakan oleh orang tuanya. Hanya saja, Argha tak pernah menghargainya.
“Aarggh! Kenapa selalu kamu dan kamu!” teriak Artha begitu keras.