Di malam satu Suro Sabtu Pahing, lahirlah Kusuma Magnolya, gadis istimewa yang terbungkus dalam kantong plasenta, seolah telah ditakdirkan untuk membawa nasibnya sendiri. Aroma darahnya, manis sekaligus menakutkan, bagaikan lilin yang menyala di kegelapan, menarik perhatian arwah jahat yang ingin memanfaatkan keistimewaannya untuk tujuan kelam.
Kejadian aneh dan menakutkan terus bermunculan di bangsal 13, tempat di mana Kusuma terperangkap dalam petualangan yang tidak ia pilih, seolah bangsal itu dipenuhi bisikan hantu-hantu yang tak ingin pergi. Kusuma, dengan jiwa penasaran yang tak terpadamkan, mencoba mengungkap setiap jejak yang mengantarkannya pada kebenaran.
Di tengah kegelisahan dan rasa takut, ia menyadari bahwa sahabatnya yang ia kira setia ternyata telah menumbalkan darah bayi, menjadikan bangsal itu tempat yang terkutuk. Apa yang harus Kusuma lakukan? mampukah ia menyelamatkan nyawa teman-temannya yang terjebak dalam kegelapan bangsal 13?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bobafc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ilusi
Seperti tahanan yang dikurung di penjara tanpa kunci, Kusuma dan Shaka duduk berhadapan. Meskipun terjebak dalam ruangan yang sama, jarak di antara mereka terasa lebih lebar dari lautan, hanya segelintir kata terucap di antara keheningan. Shaka tenggelam dalam dunianya sendiri, fokus pada ponsel yang menjadi pelindung diamnya, sementara Kusuma sibuk merangkai rencana untuk menyelamatkan Agvia dari jerat makhluk yang ia curigai telah lama membayangi Shaka.
Kusuma menyimpan kecurigaan mendalam bahwa Shaka adalah sutradara di balik layar kelam ini. Meski tak punya bukti, kedatangan Shaka ke rumah sakit seolah memiliki tujuan tersembunyi yang siap muncul ke permukaan kapan saja.
"Bilqis! Kamu lagi ngapain? Cepat ke sini," seru Kusuma, suaranya terdengar seperti nada tergesa yang menembus dinding tegang di antara mereka.
"Sebentar! Aku lagi di kamar mandi," jawab Bilqis, yang sedang berjaga mengawasi Agvia. Kebohongan kecil ini terlontar untuk menjaga keadaan tetap tenang.
"Agvia, cepat keluar! Aku juga mau buang air, sudah kebelet ini," tegas Bilqis, nadanya memaksa.
"Iya, Mbak, sebentar," jawab Agvia lemas, seperti daun yang terhempas angin, suaranya hampir tenggelam dalam kelelahan.
Rasa lapar menggiring Agvia menuju dapur. Kehausan dan kelaparan melilit seperti rantai tak kasat mata yang menariknya mendekat. Namun, lemari dan kulkas kosong, seolah semua makanan telah lenyap seperti ilusi.
Whust!
Semilir angin merayap di dapur, menerpa tubuh Agvia yang berdiri sendiri. Jendela dapur berderit, membuka dan menutup sendiri, seperti mulut yang ingin berbicara tapi tak memiliki suara. Dari sudut ruangan, muncul sosok samar yang menatapnya dengan pandangan kosong.
"Siapa kamu?" tanya Agvia, suaranya terselip di balik kecemasannya, menatap sosok wanita yang diam di sana.
Wanita itu hanya melambaikan tangan, mengisyaratkan sesuatu yang tak bisa didefinisikan. Mengabaikan larangan untuk tidak keluar, Agvia memberanikan diri melangkah mendekati sosok itu. Namun, tepat di depan pintu belakang, bayangannya lenyap, seperti kabut yang tertelan sinar matahari.
"Loh, ke mana dia?" batin Agvia, kebingungan.
Whust!
Sekonyong-konyong, angin besar menerjang masuk, menjatuhkan vas bunga di ruang tamu. Kusuma dan Shaka saling menatap, kemudian memanggil Bilqis dengan suara panik.
"Bilqis, kamu di mana?" seru Kusuma sambil berlari ke kamar Agvia.
Mendapati kamar itu kosong, Kusuma segera berlari keluar, membuka pintu belakang sambil menggertakkan gigi, "Sial!"
"Ada apa, Mas Shaka?" Bilqis bertanya dengan santai, namun Shaka hanya berdiri terdiam di depan ranjang Agvia.
"Bilqis, kamu yang lepas ikatan Agvia?" tanya Kusuma, nada kesalnya meluap.
"Iya, memang aku yang lepas tadi. Kenapa?" jawab Bilqis tanpa basa-basi.
"Kan sudah kubilang, jangan dibuka!" bentak Kusuma dengan nada frustasi.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Bilqis sambil melihat ke arah Shaka.
"Kita harus hubungi Dokter Lista."
Bilqis bergegas mencari Dokter Lista, namun langkahnya terhenti ketika mendapati Agvia bersama Mbah Renggani.
"Bagaimana dia bisa keluar?" tanya Mbah Renggani, wajahnya berkerut curiga.
"Setelah berbicara dengan Dokter Lista, kalian diperbolehkan pulang siang ini," jelas Mbah Renggani, suaranya tenang namun terasa penuh makna tersembunyi.
"Terima kasih," jawab mereka serentak.
Agvia dan Bilqis buru-buru menata barang-barang mereka, sementara Shaka termenung. Mbah Renggani beralih pada Kusuma, "Kusuma, Mbah harap kamu bisa bekerja di sini setelah wisuda nanti."
Kusuma mengangguk pelan, "Njih, Mbah."
**
Gemercik air mengisi kamar mandi, seperti bisikan rahasia yang mengalir di sudut-sudut dingin. Shaka, baru pulang dari perjalanan panjang yang melelahkan, memutuskan untuk membiarkan air mengguyur tubuhnya, mencoba membilas lelah yang menempel seperti debu di jalan. Namun, tiba-tiba lampu padam, menciptakan bayangan yang menari di kegelapan. Shaka mendengus kesal, terlalu lelah untuk mengacuhkan gangguan kecil ini.
Dengan mata terpejam, pikirannya berkelana ke pertemuan-pertemuan anehnya beberapa hari terakhir, terutama pada sosok Dokter Lista yang penuh teka-teki, seolah memegang kunci sebuah misteri yang nyaris tak terjangkau.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” batin Shaka sambil memutar keran shower.
Namun, air yang jatuh tiba-tiba berubah, mengguyur tubuhnya dengan dingin menusuk hingga ke tulang. Terkejut, Shaka membuka mata, dan mendapati bukan air yang mengalir di tubuhnya, melainkan darah hitam pekat, kental seperti tinta kegelapan yang meresap ke kulitnya. Jantungnya seakan berhenti berdetak, tubuhnya terpaku di tempat, ingin berteriak namun tenggorokannya tercekat seakan dibelenggu tangan tak terlihat.
Dengan perlahan, Shaka mencoba melangkah keluar dari kamar mandi, namun ruang itu terasa seperti jebakan yang menggenggam erat, membuat setiap langkahnya menjadi perjuangan.
Prang!
Suara pecahan cermin menghantam udara dengan tajam. Cermin di kamar mandi tiba-tiba retak, garis-garisnya merekah seperti akar pohon mati yang merambat. Dari celah-celah retakan itu, darah merah mulai merembes, mengalir perlahan dan membentuk kata-kata yang melayang menakutkan di permukaan kaca. Shaka menatap, tubuhnya terasa kaku, dan sekejap kemudian ia tersadar, terperanjat mundur dengan panik, mencoba berlari menuju pintu.
"Aw!" teriaknya kesakitan, terpeleset akibat sabun yang tergeletak di lantai licin seperti perangkap yang menunggu mangsa.
“Siapa yang taruh sabun di sini?" geram Shaka, nadanya penuh emosi. Namun, amarahnya segera tergantikan oleh aroma anyir darah yang semakin tajam memenuhi ruangan. Dari balik dinding, sesosok bayangan hitam muncul, melayang dalam keheningan seperti kabut malam yang tiba-tiba mengental.
"Dasar setan sialan! Apa maumu?" Shaka mengumpat kesal. Rasa sakit akibat jatuh membuat ketakutannya lenyap sejenak, tergantikan oleh kemarahan yang menggelegak. “Sialan!”
Tanpa menghiraukan sosok itu, Shaka bangkit dan keluar dengan cepat, gerakannya yang penuh kemarahan entah bagaimana membuat bayangan itu menghilang seperti asap tertiup angin.
"Untung saja tak ada orang di sini. Kalau ada yang melihatku seperti ini, apalagi tanpa handuk, bisa kacau," gumam Shaka seraya buru-buru meraih pakaian dan mengenakan jas dokternya yang tergantung di pintu kamar.
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Shaka mendapati lalu lintas macet di perempatan jalan yang padat. Terjadi kecelakaan yang membuatnya terpaksa menghentikan mobil. Dengan jas yang sudah siap, ia keluar dan berjalan mendekati kerumunan yang tampak gelisah.
“Ada apa, Pak?” tanya Shaka kepada seorang pria paruh baya di dekatnya, matanya menangkap kerumunan yang mengelilingi sesuatu di jalan.
"Kecelakaan, Pak. Katanya yang meninggal masih muda, seorang wanita hamil kalau tidak salah," ujar lelaki itu, mengisahkan tragedi tersebut dengan nada penuh keprihatinan, seolah dunia ikut terhenti dalam sekejap di tempat itu.
Deg!
Jantung Shaka berdentam keras, seolah palu godam menghantamnya dari dalam. Dengan langkah tertahan, ia mendekati sosok tubuh yang tergeletak di jalan. Wajah mayat itu penuh luka, membentuk pola mengerikan, dan janin yang keluar dari perutnya menambah keheningan yang mencekam. Tak ada seorang pun yang berani mendekat, seakan aura kematian menggenggam mereka erat.
Shaka terjatuh, lututnya lemas, napas tersendat, sementara jantungnya berdegup makin kencang. Lalu, di tengah kekosongan itu, sebuah tangan lembut menyentuh pundaknya. Ia menoleh, mendongak, dan melihat sosok yang akrab sekaligus menenangkan.
“Dokter Shela!” seru Shaka, mengenali sahabat sekaligus wanita yang diam-diam ia sukai. Kehadirannya bagai cahaya yang menyusup lembut dalam kegelapan.
"Kamu baik-baik saja, Dok?" tanya Dokter Shela, menatap Shaka dengan kekhawatiran yang membuat pria tampan itu tersipu malu, seolah hatinya tak kuat menanggung sinar matanya.
“Aku... baik-baik saja. Tapi, apa yang membuatmu berada di sini?” Shaka berusaha menyembunyikan debar hatinya, memalingkan pandangan agar tak ketahuan.
“Jalanan macet. Jadi, saya penasaran ingin tahu apa yang terjadi di sini. Tapi kamu sendiri, kenapa malah duduk di jalan?” tanya Dokter Shela, alisnya terangkat penasaran.
"Oh, i-tu... tadi ada semut merah, gigitanku lumayan juga. Jadi sekalian aku duduki biar cepat mati," jawab Shaka sambil terkekeh, mencoba menutupi ketegangannya dengan gurauan konyol.
Dokter Shela menatap Shaka dengan senyum geli, lalu melirik ke sekeliling. “Apa kamu tidak merasa mereka ada di sekitarmu?” bisik Shaka, tatapannya penuh teka-teki, sambil mendekatkan wajahnya ke telinga Shela.
"Maksud kamu siapa?" tanya Shela keheranan.
"Mereka... yang tak kasat mata,” Shaka berbisik pelan, menggoda Shela yang malah tertawa terbahak-bahak mendengar ucapannya.
“Sudahlah, ayo berdiri. Jangan biarkan dirimu jadi tontonan di sini,” ucap Shela, mengulurkan tangan. “Lagi pula, mayat itu sudah dibawa pergi oleh ambulans,” lanjutnya lembut.
Shaka menyambut uluran tangannya, namun tepat ketika ia hendak bangkit, Shela melepaskannya dengan tiba-tiba. Shaka jatuh ke belakang dalam posisi yang memalukan.
“Maaf, Dokter Shaka!” kata Shela, tetapi tangannya justru meraih ponsel di sakunya, bukannya menolong Shaka.
Shaka tertawa kecil, menahan perih di pinggulnya yang nyeri seperti dihantam palu godam.
"Santai saja, cuma tulang belakang.kok yang jadi korban,” gumamnya, dengan senyum getir yang tersungging di bibir. Perlahan, ia mencoba bangkit, seperti pohon yang kembali tegak setelah diterpa badai, berusaha menopang dirinya sendiri.