NovelToon NovelToon
ISTRIKU DUA TAPI AKU MASIH PERJAKA

ISTRIKU DUA TAPI AKU MASIH PERJAKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Dikelilingi wanita cantik / Pernikahan Kilat
Popularitas:10.5k
Nilai: 5
Nama Author: Mega Biru

Orang bilang punya istri dua itu enak, tapi tidak untuk Kelana Alsaki Bragha.
Istrinya ada dua tapi dia tetap perjaka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mega Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3

“Ayo duduk dulu – duduk dulu. Kalian pasti lapar, kan? Kita makan sama-sama ya, jangan sungkan,” ucap Agustina yang sudah sangat dekat dengan asisten rumah tangganya.

Majikan dan asisten rumah tangga itu tampak tak ada kesenjangan. Mereka sama-sama wellcome, bahkan sering curhat dan ngobrol setiap hari.

“Terima kasih, Bu.” Ajeng memang sedang lapar setelah menempuh perjalanan jauh. “Bening, taruh dulu ayamnya. Kita makan sama-sama,” ucapnya pada putrinya.

“Iya, Bu.” Bening meletakan keranjang ayam jagonya di lantai, lantas menghampiri meja makan itu.

“Jadi Bening masih S M P? Kelas berapa?” tanya Agustina yang membiarkan meja makannya dikuasai siapa pun.

“Kelas 9, Bu,” jawab Bening.

“Saya kira udah kuliah semester 3,” sahut Kelana.

“Iya, ibu juga ngiranya gitu. Soalnya Bening punya badan yang bagus,” sahut Agustina.

“Badan Bening nurun dari Almarhum bapaknya, Bu. Bapaknya juga tinggi, 2 meter tingginya,” sahut Ajeng.

“Ukhuk! Ukhuk!” Kelana yang sedang minum lantas tersedak. “200 sentimeter?”

“221 sentimeter, Mas. Suami saya memang beda dari orang kebanyakan. Bahkan jadi orang yang paling aneh di kampung. Suami saya juga pernah dapat penghargaan orang tertinggi di kampung, Mas,” sahut Ajeng.

'221 senti meter?' batin Kelana.

Pria itu memandang pintu rumahnya untuk menggambarkan tinggi Ayahnya Bening. Pintu rumah Kelana pun tingginya ada di kisaran 200 Senti meter. Kelana pun akhirnya bisa membayangkan visual ayah Bening yang tingginya melebihi pintu rumah.

“Oh, pantas Bening tinggi. Ibu akui kamu cantik, Bening. Pantas jadi model,” ujar Agustina.

“Makasih, Bu,” sahut Bening yang sudah mengambil nasi satu piring penuh.

“Kamu makan sebanyak itu?” Kelana melongo melihat porsi makan bening yang jumbo.

“Iya, om. Soalnya badan saya tinggi. Jadi usus saja juga panjang.”

“UKHUK! UKHUK!”

**

**

**

[Mas.]

[Mas Kelana?]

[Sayang?]

[Kenapa chat aku nggak di bales, Mas?]

[Tolong balas, Mas.]

[Kamu salah paham.]

[Itu bukan penyakit menular seksual.]

[Aku nggak pernah selingkuh, Mas. Tolong percaya aku.]

Rentetan pesan chat dari Kadara itu telah Kelana baca, namun Kelana sangat tak ingin membalasnya. Bahkan saat pacarnya itu menelepon, Kelana sudah malas mengangkatnya.

Padahal dulu, hanya chat dan telepon dari Kadara lah yang menjadi penyemangat hidupnya saat lelah bekerja. Namun kini, rasa cinta yang dulu banyak itu seolah habis terkikis rasa kepercayaan yang menipis.

Pria yang memiliki perpaduan wajah manis dan tampan itu melemparkan ponselnya ke atas ranjang di saat Kadara menelepon ulang. Ia pun keluar kamar karena sedang haus malam.

Sesampainya di dapur, pintu kulkas lah yang ia hampiri. Kelana meneguk air dalam botol sampai dahaganya hilang sempurna.

“Hi hi hi.”

Suara tawa wanita membuat Kelana celingak-celinguk. Tak ada siapa pun di dapur itu, jam di dinding pun sudah menunjukkan pukul 11 malam.

POK! POK! POK!

TOK! TOK! TOK!

Suara aneh itu berasal dari kamar mandi. Kelana menghampiri suara itu meskipun agak merinding.

“Siapa? Ada orang?” tanya Kelana sambil mendekat.

Namun saat melihat isi kamar mandi, jantungnya berdebar cepat saat melihat wanita berambut sepantat sedang berjongkok sambil tersenyum menampakkan gigi rapat.

“Astaga, Bening!” pekik Kelana. Ia sangat terkejut karena mengira Bening kuntilanak.

“Ada apa, om? Om mau pipis?” tanya Bening.

“Nggak, saya cuma penasaran dengar suara kamu. Ngapain malam-malam gini kamu di kamar mandi?” Namun saat Kelana perhatikan lebih jeli, ternyata Bening sedang memberi makan ayam jagonya.

“Saya nganter Dudung berak, om. Sekalian kasih makan. Tadi saya ambil beras di tempat beras om. Saya minta segini nggak papa kan, om?” Bening memperlihatkan mangkuk kecil berisi beras.

POK! POK! POK (Suara ayam)

TOK! TOK! TOK! (Suara ayam mematuki beras)

“Dudung?” Alis tebal Kelana menaut.

“Ini Dudung, Om.” Bening mengelus ayam jago besar berwarna orange itu.

“Dudung nama ayam kamu?”

“Sebenarnya ini ayam kesayangan Almarhum Bapak saya, Om. Saya nggak tega ninggalin dia di kampung. Bapak saya pasti sedih kalau saya jual Dudung.” Bening berkaca-kaca karena mengingat Almarhum ayahnya yang meninggal karena jatuh dari pohon kelapa.

“Oh, kalau udah selesai cepet tidur. Seusia kamu nggak boleh banyak begadang.”

BEEERR!

POK! POK! POK!

Ayam pelung itu terbang ke atas kepala Kelana, hingga pria itu mematung dengan bibir menganga.

“Astaga, DUDUNG!” Bening berlari menghampiri Kelana. “Om, maafin Dudung ya.” Lanjut mengambil Dudung dari kepala Kelana.

“Aish!” Kelana menggosok-gosok rambutnya sambil membungkukkan tubuh. “Tolong ajari ayam kamu tata krama, taruh dia di luar, jangan dibawa masuk.”

“Baik, Om. Maaf.” Raut Bening merasa bersalah.

“Ya udah nggak papa. Btw kamu memang tinggi ya, sampe bisa ambil ayam di kepala saya. Memang tinggi kamu berapa?” tanya Kelana meskipun hampir emosi.

“Saya 178, om.”

“Oh, masih tinggi saya berarti. Tapi –“ Ucapan Kelana terjeda untuk berpikir. “Kalau masih segini aja badan kamu udah segitu, gimana besarnya? Apa bakal 2 meter juga?” Lanjut meneguk minum dalam otak berpikir.

“Saya nggak bisa memprediksi masa depan, om. Saya kan bukan Roy Kiyoshi.”

UKHUK! UKHUK!

**

**

**

U’uUuuUuuuOoooook!

Kok kok petook! Kok kok ptok!

Suara ayan jantan berkokok yang berirama khas itu membangunkan Kelana dari tidurnya. Calon pengantin pria yang entah jadi menikah atau tidak itu bergegas turun dari ranjang untuk pergi ke kantor.

“Hari ini jadi ngajuin cuty nggak ya? Soalnya kan nikahnya aja nggak tau jadi nggak tau enggak,” gumam Kelana.

U’uUuuuuOooooook!

Suara ayam jantan yang merdu itu membuat Kelana mengernyit baru sadar. ‘Tumben di daerah sini ada ayam berkokok?’

Gegas ia membuka gorden jendela karena suara itu sangat dekat dengan kamarnya. Dan ternyata ia pun melihat Bening yang sedang memandikan ayamnya di luar.

“Oh, ayamnya Bening. Bagus lah, buat alarm,” gumamnya, sambil memperhatikan pemilik ayam yang semakin cantik saat tersorot matahari pagi.

“Si Bening, bening banget ya mukanya. Sayang masih S M P.” Bahkan Kelana melihat Bening yang sudah memakai seragam putih biru untuk masuk sekolah di hari pertamanya.

Kelana tak ingin berlama-lama mengagumi wajah gadis yang usianya terpaut 15 tahun darinya. Pria berusia 30 tahun itu lantas menyambar handuk untuk mandi.

Setelah mandi, hal yang pertama kali ia cium saat keluar dari kamar mandi adalah aroma masakan yang sangat harum, serta suara kongsrang kongsreng orang yang sedang memasak.

“Bu Ajeng masak apa? Wangi banget,” tanya Kelana pada Bu Ajeng yang sedang memasak.

“Masak tongseng kambing, Mas. Mas mau sarapan?” tanya Ajeng.

“Enggak, Bu. Bawain bekel aja kayak biasa, ya?”

“Siap, Mas.”

Kelana meninggalkan Ajeng untuk menghampiri ibunya yang sedang meneguk teh hangat di meja makan.

“Pagi, Bu?” sapa Kelana dengan senyuman hangatnya.

“Pagi,” sahut Agustina sangat jutek.

“Ibu masih marah?” tanya Kelana.

“Ibu akan tetap marah sebelum kamu dan Dara menikah.”

“Bu, maaf. Aku beneran nggak bisa nikahin Dara.”

“Alasannya?”

Kelana bergeming karena tak punya bukti apa-apa. Namun tiba-tiba datang Bening yang sudah membawa tas sekolahnya.

“Bu, aku mau ke sekolah dulu, ya?” pamit Bening pada Ibunya.

“Data-data pindah sekolahnya udah dibawa kan, Ning? Perlu ibu temenin?” tanya Ajeng.

“Nggak usah, Bu. Aku udah besar, aku bisa sendiri. Lagian sekolahnya deket, kan?”

Semalam Ajeng sudah membawa Bening komplek tour untuk mengetahui tempat-tempat penting di daerah itu, sekaligus sekolahnya yang hanya berjarak 50 meter dari rumah Kelana. Dan karena Bening termasuk anak yang cerdas dan berani, ia sangat percaya diri ke mana-mana sendiri meskipun daerah itu masih baru untuknya.

“Ya udah, tapi hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa langsung telepon ibu,” sahut Ajeng.

“Siap, Bu.” Bening pun mencium tangan ibunya, lantas menghampiri Agustina dan Kelana yang masih mematung di meja makan.

“Bening sekolah dulu ya, Bu.” Bening mencium tangan Agustina, lanjut mencium tangan Kelana.

“Hah?” Kelana menganga sambil memperhatikan punggung tangan yang dicium seorang gadis untuk kali pertamanya.

**

**

**

Sepulang dari kantor, Kelana tancap gas menuju rumah Kadara untuk menyelesaikan rasa penasarannya. Ia teringat kata-kata Harum yang memintanya membawa Kadara ke kliniknya.

“Semoga Dara mau diperiksa Mbak Harum,” gumam Kelana sambil mengemudi.

TUUUUT ...

Pria itu menghubungi kakak perempuannya dan tersambung.

[Halo?] Harum mengangkat telepon itu.

“Mbak, di mana? Di klinik?” tanya Kelana.

[Iya, kenapa?]

“Aku mau bawa Dara ke klinik Mbak. Mbak bisa periksa kutil itu, kan? Bisa cek dia masih perawan juga, nggak?”

[Bisa, tapi hari ini Mbak masih banyak pasien. Tunggu agak lama nggak papa, kan?]

“Nggak papa, Mbak. Aku belum otw, masih mau jemput Dara dulu, semoga mau.”

[Oke, Mbak tunggu.] Telepon berakhir.

Sampailah mobil Kelana di depan rumah Kadara. Hal yang pertama ia lihat adalah sebuah motor matic berwarna putih milik ayah Kadara, motor itu pun didapat dari Kelana yang membelikannya.

Tidak hanya itu, Kelana pun melihat Dewi – ibu Kadara yang sedang menyapu teras, beserta suaminya – Rusli, yang sedang meneguk kopi di kursi teras sambil makan pisang goreng, di hadapan ponsel yang digenggam.

“Assalamualaikum,” sapa Kelana sangat sopan.

“Waalaikum salam, eh ada menantu ibu.” Dewi menyambut Kelana dengan senyuman lebarnya.

“Kelana, sini ngopi sambil makan pisang goreng,” ajak Rusli.

“Terima kasih, Bu, Pak. Tapi saya mau ajak Kadara keluar sebentar, apa Daranya ada?” tanya Kelana.

“Ada, Kadara lagi main HP di kamarnya. Sebentar ya, ibu panggilkan dulu.” Dewi pun masuk ke dalam rumah sambil menenteng sapu.

“Sini, Kelana. Ngopi dulu,” ucap Rusli.

“Iya, Pak. Silahkan dilanjut. Kapan Bapak dan ibu pulang dari Cianjur?” tanyanya basa basi.

“Tadi pagi, capek banget, macet. Tapi senang karena undangan pernikahan kamu dan Dara udah tersebar di sana. Semua keluarga di sana pasti datang ke pernikahan kalian nanti,” ujar Rusli.

Kelana tertegun saat mendengarnya. Ia bingung, tak enak, dan serba salah bila tiba-tiba membatalkan pernikahannya, sedangkan calon mertuanya itu sudah mengundang banyak orang.

“Mas?” Kadara menghampiri Kelana dengan raut senangnya. “Akhirnya kamu dateng juga ke sini. Aku kira kamu nggak akan ke sini lagi.” Rautnya berubah jadi sedih.

“Kalian kenapa? Lagi berantem?” tanya Dewi.

“Enggak kok, Bu. Saya izin bawa Kadara sebentar boleh, kan?” sahut Kelana.

“Mau ke mana, Mas?” Kadara melendoti lengan Kelana, Kelana pun tersenyum tak nyaman dan melepaskan tangan Kadara secara halus.

“Kita jalan-jalan sebentar,” dustanya.

**

**

**

Sesampainya di klinik milik Harum, Kadara terperangah melihat tempat yang katanya dituju untuk jalan-jalan. Namun gadis berusia 26 tahun itu sudah tahu bahwa klinik itu milik calon kakak iparnya.

“Ngapain kita ke klinik Mbak Harum, Mas? Kamu mau berobat?” tanya Kadara.

“Bukan aku yang berobat tapi kamu.”

“Aku?” Kadara menunjuk dirinya sendiri.

“Ya, kamu harus periksakan kelainan di itu kamu.”

“Periksa? Aku itu nggak sakit apa-apa, Mas. Aku nggak perlu periksa, itu cuma kutil biasa, Mas. Aku udah punya itu dari lahir!”

“Dari lahir?” Kelana terkejut. “Memangnya ada jengger ayam dari lahir?”

“Ini bukan jengger ayam, Mas! Aku nggak sakit!”

“Oke, kalau memang itu bukan penyakit apa-apa, apa salahnya kita periksa. Aku akan terima kamu apa adanya kalau memang itu kelainan dari lahir.”

“Nggak, Mas. Aku nggak mau periksa! Aku malu!”

“Kadara, Please.” Kelana merapatkan ke dua telapak tangannya. “Aku mohon kamu turutin permintaan aku. Aku itu sayang sama kamu, aku cinta sama kamu, tolong jangan buat cinta dan sayang aku hilang buat kamu. Tolong kamu buktiin kalau itu cuma kelainan dan bukan penyakit.”

“Oke, aku mau periksa. Tapi kamu harus janji, apa pun hasilnya nanti, kamu harus tetap nikahin aku.”

“Ya nggak bisa gitu juga, Kadara.”

“Tuh, kan. Kalau gitu aku nggak mau periksa! Buang-buang waktuku aja.” Kadara hendak pergi namun dicekal oleh Kelana.

“Oke, aku janji,” jawab Kelana.

“Kamu janji akan tetap nikahin aku apa pun hasilnya?” Kadara memastikan.

“Ya, aku janji. Sekarang kita masuk, kamu harus periksa.”

Terpaksa Kelana mengiyakan karena sangat penasaran dengan hasil pemeriksaan. Jika yang dikatakan Kadara memang hanya kelainan bawaan lahir, mungkin ia akan senang karena masih ada rasa cinta yang tersisa. Tapi jika hasilnya penyakit menular seksual, Kelana pun akan cari cara lain untuk membatalkan pernikahannya.

Memasuki klinik, Kadara dan Kelana duduk di kursi tunggu. Mereka tak perlu mendaftar sebagai pasien, karena Harum sudah chat akan memanggil jika sudah tak menangani pasien.

“Om Kelana!” panggil suara anak kecil.

“Loh, Kiblat ada di sini?” tanya Kelana pada Kiblat – Anak semata wayang Harum.

“Iya, om. Kiblat ikut ibu sama ayah,” jawab keponakannya Kelana itu.

Kiblat merupakan keponakan yang sangat disayangi Kelana seperti menyayangi anak sendiri. Profesi ayah kiblat dan ibunya sama-sama seorang nakes, namun Ayah Kiblat spesialis Dokter umum di klinik itu, sedangkan Harum masih sebatas Bidan yang sangat berpengalaman menangani ibu hamil dan melahirkan.

“Halo, Kiblat. Salim sama Tante.” Kadara menyodorkan tangan ingin dicium oleh calon keponakannya itu.

“Nggak mau.” Kiblat menyembunyikan wajah bahu Kelana. “Tante serem,” ujarnya, yang selalu takut bila bertemu Kadara.

“Serem kenapa? Tante cantik, kan?” Kadara mengibaskan rambut ikalnya.

“Enggak, serem.” Kiblat pun pergi meninggalkan Kelana dan Kadara. Ia lari-lari dan sudah terbiasa main di klinik orang tuanya.

“Serem apa sih.” Kadara tampak kesal.

“Maaf, ya. Namanya anak kecil,” ujar Kelana. ‘Apa selama ini Kiblat tau kalau Kadara memang bukan yang terbaik untukku?’ batinnya.

“Iya, Mas. Nggak papa. Untungnya keponakan kamu, kalau bukan, udah kucubit.”

‘Oh, ternyata Dara memang semenakutkan itu untuk anak kecil sampai berani cubit?’ batinnya baru sadar.

“Kelana, Kadara, sudah siap masuk?” tanya Harum di ambang pintu ruangannya.

“Cepat masuk sana,” titah Kelana.

“Kamu nggak ikut masuk, Mas?”

“Ngapain aku masuk? Kamu nggak malu itu kamu aku liatin?”

“Ya nggak malu lah, Mas. Kamu kan calon suami aku. Malahan aku seneng kalo diliatin sama kamu. Ayo masuk.” Kadara menarik tangan Kelana.

“Nggak.”

“Ya udah, kalo kamu nggak masuk, aku juga nggak mau masuk.” Kadara duduk lagi.

“Kelana.” Harum mengetuk-ngetuk jam tangan tanda tak punya waktu banyak.

“Ya udah ayo.” Kelana menarik tangan Kadara untuk masuk di ruangan itu.

Hening.

Kadara sudah berbaring di ranjang pasien. Ke dua kakinya sudah terangkat oleh alat penyangga kaki untuk ibu melahirkan. Sedangkan Kelana hanya duduk di kursi dokter dan tak ingin melihat proses pemeriksaan.

“Mas Kelana, kamu masih di situ, kan?” tanya Kadara, ia tak tak bisa melihat raga calon suaminya karena ranjang pemeriksaan tertutup tirai.

“Aku masih di sini, fokus aja,” sahut Kelana.

“Kita mulai ya, Dara. Maaf kalau Mbak harus mengecek milik kamu,” ujar Harum yang sedang memakai sarung tangannya.

“Iya, Mbak. Nggak papa.” Kadara menarik napas dalam-dalam untuk melakukan pemeriksaan.

Hening.

Kelana masih menunggu dengan sabar ditemani suara jam dinding yang berdetak. Proses pemeriksaan itu pun terasa lama bagi Kelana karena ingin cepat mengetahui hasilnya.

Akhirnya Harum ke luar dari tirai itu tak lama kemudian, meninggalkan Kadara yang masih merapikan pakaian di balik tirai.

“Gimana hasilnya, Mbak?” tanya Kelana dengan nada berbisik.

“Itu memang jengger ayam, Kadara udah nggak perawan.”

1
Jubed Edah
alur ceritanya sih bagus,hanya untuk tokoh lelakinya kok kurang greget
Yanty Yusuf
Luar biasa
Yuliana Tunru
astaga peran x cuma liat kan jidat x doang..🤣🤣🤣🤣
Retno Harningsih
lanjut
NT.RM
Cerita yang sangat menarik, cerita ini bikin penasaran, baca awal jd ketagihan Goodluck
NT.RM
aku baru tau loh...
NT.RM
iya nih gimana sih si Kelan. td katanya Terima sekarang gk gitu. /Facepalm//Facepalm/
NT.RM
wah ini toh yang jadi masalah nya ?
NT.RM
wih MasyaAllah ni calon suami idaman.
NT.RM
hahaha bener ni otak mu 🤭
NT.RM
wih jarang bgt ya jaman sekarang ni😭
Mưa buồn
Sampai begadang buat baca ini, terbayang-bayang sampe pagi.😍
Nami/Namiko
Gak nyesel baca cerita ini, recommended banget!
Tani
Thor, jangan bikin kami tidak bisa tidur karena ingin tahu kelanjutannya 😂
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!