"Tlembuk" kisah tentang Lily, seorang perempuan muda yang bekerja di pasar malam Kedung Mulyo. Di tengah kesepian dan kesulitan hidup setelah kehilangan ayah dan merawat ibunya yang sakit, Lily menjalani hari-harinya dengan penuh harapan dan keputusasaan. Dalam pertemuannya dengan Rojali, seorang pelanggan setia, ia berbagi cerita tentang kehidupannya yang sulit, berjuang mencari cahaya di balik lorong gelap kehidupannya. Dengan latar belakang pasar malam yang ramai, "Tlembuk" mengeksplorasi tema perjuangan, harapan, dan pencarian jati diri di tengah tekanan hidup yang menghimpit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Pamitan yang Berkesan
Setelah semua selesai, Rian menyerahkan uang 1 juta seperti yang ia janjikan. "Nih, Lil, buat kamu. Gua nggak pernah lupa janji," ucapnya sambil tersenyum lebar, menatap Lily dengan rasa kagum.
Lily menerima uang itu dengan tangan dingin, merasakan detak jantungnya berdebar. Dalam pikirannya, terlintas berbagai hal yang bisa ia lakukan dengan uang tersebut. Namun, saat ia menatap Rian, pikirannya kembali terfokus. “Makasih, Om. Aku pulang sekarang ya,” katanya sambil mengecup bibir Rian lembut, sebuah gestur yang menandakan kedekatan mereka.
Rian tersenyum puas, namun ada kesedihan samar di matanya. “Hati-hati di jalan, ya. Dan jangan ragu untuk menghubungi aku lagi. Aku ingin kita bisa ketemu lagi,” kata Rian, berharap bahwa momen ini bukanlah yang terakhir.
“Pasti, Om. Aku akan. Nanti kita bisa ketemu lagi,” jawab Lily, matanya berbinar penuh harapan. Dia merasa ada yang istimewa di antara mereka, lebih dari sekadar transaksi biasa.
Setelah berbalik untuk pergi, Lily merasa ada yang mengganjal di hatinya. “Oh ya, jangan lupa, kita masih punya banyak hal yang harus dibahas!” serunya sambil melangkah mundur, wajahnya cerah penuh semangat.
“Betul! Kita bisa ngobrol lebih banyak lain waktu. Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu, Lily,” sahut Rian, merasakan ada ketegangan yang menyenangkan di udara.
Lily tertawa kecil, menyadari bahwa mereka sebenarnya belum mengenal satu sama lain dengan baik. “Mungkin kita bisa saling cerita tentang hidup kita. Aku punya banyak cerita menarik, dan pastinya kamu juga,” ujarnya dengan nada menggoda.
“Iya, kita bisa buat janji untuk makan malam atau sesuatu yang lebih santai. Mungkin minggu depan?” Rian menawarkan, tidak ingin melewatkan kesempatan ini.
“Deal! Aku suka makanan yang enak. Kita bisa mencari tempat yang baru,” jawab Lily, merasa senang dengan tawaran itu. Dalam hatinya, ia merasa bahwa pertemuan ini bisa menjadi langkah awal dari sesuatu yang lebih dalam.
Saat itu, Lily melangkah lebih dekat, menatap Rian dengan serius. “Tapi ingat, Om. Kita harus menjaga semua ini tetap rahasia, ya?” ujarnya, nada suaranya kini lebih serius.
“Tenang saja. Aku tahu bagaimana cara menjaga rahasia,” Rian menjawab, menunjukkan bahwa dia bisa diandalkan. “Aku tidak akan membagikan apa pun tanpa izinmu.”
Dengan keyakinan itu, Lily merasa lega. Mereka saling tersenyum, menciptakan momen keintiman yang seolah ingin mengikat mereka lebih kuat. Namun, waktu terus berjalan, dan Lily tahu ia harus segera pergi.
Dengan langkah ringan, Lily keluar dari kamar, tapi sebelum menutup pintu, ia menoleh dan memberikan senyuman terakhir. “Sampai jumpa, Rian. Semoga harimu menyenangkan!”
“Selamat jalan, Lil. Ingat, jangan ragu untuk menghubungi aku,” kata Rian, merasakan beratnya melepas kepergian Lily, tetapi juga penuh rasa ingin tahu akan pertemuan berikutnya.
Setelah Lily melangkah keluar, Rian menatap pintu yang tertutup. Dalam pikirannya, dia membayangkan kembali momen-momen indah yang mereka habiskan bersama. Ternyata, dia tidak hanya terpesona oleh kecantikan fisik Lily, tetapi juga oleh karisma dan pesonanya yang membuatnya merasa nyaman.
Di luar, Lily menghirup udara malam yang segar. Dia merasa senang, tetapi di balik itu, ada rasa campur aduk. Ia mengeluarkan ponselnya dan mulai memikirkan pesan yang ingin ia kirim ke Rian, tetapi menahan diri. Mungkin sedikit misteri akan membuat segalanya lebih menarik.
Setelah memanggil taksi, Lily menunggu dengan penuh perasaan. Beberapa cowok yang melintas meliriknya, membuatnya merasa percaya diri. Ia tersenyum, menyadari bahwa penampilannya memang menarik perhatian. Dalam hati, dia berjanji untuk terus menjalani hidup dengan penuh semangat, tanpa melupakan orang-orang yang telah menjadi bagian dari perjalanannya.
Saat taksi tiba, dia melangkah masuk dan memberi alamat. Di dalam mobil, pikirannya berkelana ke masa depan—ke momen-momen yang mungkin akan dia habiskan bersama Rian. Apakah ini akan menjadi awal dari sesuatu yang lebih?
Lily tiba di rumah dengan pikiran penuh harapan. Sambil bersandar di kursi, ia mengeluarkan uang yang baru diterimanya dan melihatnya dengan senyum lebar. Uang itu bukan hanya sekadar angka, tetapi simbol dari kebebasan dan pilihan.
Dia tahu, ini hanyalah langkah awal dalam petualangan hidupnya. Mungkin di lain waktu, dia akan menemukan cinta, bukan hanya dalam bentuk materi, tetapi juga dalam hubungan yang lebih dalam.
Setelah memberikan ucapan pamit kepada Rian, Lily teringat tentang Dinda yang sedang berurusan dengan cowok yang ia booking online. “Eh Dinda, kok belum ada kabar ya?” pikirnya sambil mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Dengan rasa penasaran yang meningkat, ia menekan nomor Dinda di kontaknya.
“Ting… ting… ting…” suara dering ponsel terdengar di telinganya, tetapi tidak ada jawaban. Lily menggigit bibirnya, sedikit merasa risau, tetapi cepat-cepat menepisnya. "Dinda pasti baik-baik saja. Kita kan sama-sama tlembuk," pikirnya dengan keyakinan.
Tak lama kemudian, teleponnya terjawab.
“Halo?” suara Dinda terdengar dari ujung telepon, tetapi suaranya terengah-engah.
“Dinda! Kenapa kamu baru angkat? Aku khawatir banget,” tanya Lily, meskipun di hatinya tidak terlalu cemas.
“Maaf, Lil! Aku lagi… ehm, ada di tempat yang seru. Bisa bilang gitu deh,” jawab Dinda sambil tertawa kecil, ada nada ceria dalam suaranya.
“Seru? Apa kamu lagi ngapain?” tanya Lily, tetap penasaran. Ia tahu Dinda suka bersenang-senang.
“Aku lagi di apartemen orang. Dia orangnya kaya, gila deh, kamu pasti suka! Dia ngajak aku nyantai dan makan-makan. Terus dia juga… ya gitu deh,” Dinda menjelaskan sambil tertawa.
Lily tersenyum mendengar antusiasme Dinda. “Wow, asyik! Pasti kamu lagi bersenang-senang kan? Jangan sampai stress ya,” ujar Lily dengan nada penuh dukungan.
“Tenang saja, Lil. Aku bisa jaga diri. Lagipula, ini pengalaman baru, kan?” Dinda menjelaskan, terlihat percaya diri.
“Kalau kamu merasa nyaman, ya sudah deh. Yang penting kamu enjoy!” kata Lily, merasa bangga pada Dinda.
“Pasti! Nanti kalau sudah selesai, aku kabarin kamu. Awas ya, jangan cemburu!” Dinda menggoda, membuat Lily tertawa.
“Cemburu? Ya enggak lah. Yang penting kita sama-sama cari yang terbaik,” jawab Lily dengan percaya diri.
Setelah perbincangan itu, Lily merasa lebih tenang. “Oh ya, Dinda, tadi aku dapat orderan 1 juta loh!” Lily tidak bisa menahan diri untuk tidak pamer.
“Serius? Wow, gila! Kamu benar-benar beruntung, Lil!” Dinda terdengar terkejut dan kagum.
“Yah, aku kalah deh cuma 700 ribu hehe,” tambah Dinda dengan nada bercanda, seolah mengakui kekalahan dalam persaingan harga.
“Iya! Rian baik banget, dia janji akan bayar satu juta setelah kita... ya tahu sendiri deh,” Lily berkata sambil tertawa, merasa bangga dengan pencapaiannya.
“Dasar matre! Tapi ya sudah lah, yang penting kamu happy,” Dinda menjawab dengan canda.
“Makanya, kita berdua harus terus berusaha agar bisa dapet lebih banyak lagi. Hidup ini kan harus dinikmati!” kata Lily penuh semangat.
Setelah bercerita dan saling mendukung, Lily menutup telepon dengan rasa percaya diri yang semakin tinggi. Dia merasa lega mengetahui Dinda baik-baik saja dan bisa bersenang-senang.
Setelah menutup telepon, Lily tersenyum. Dia merasa lega mengetahui Dinda baik-baik saja dan bisa bersenang-senang. “Kita berdua sama-sama tlembuk, jadi yaudahlah,” pikirnya sambil melirik jam.
Dia berencana untuk beristirahat dan memikirkan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Mungkin menjelajahi tempat baru, atau bahkan mengeksplorasi lebih dalam hubungannya dengan Rian. Yang pasti, dia ingin menikmati setiap momen dalam hidupnya.
Dia melirik ke cermin, memeriksa penampilannya. “Kapan lagi bisa bersenang-senang seperti ini? Hidup harus dinikmati,” ujarnya pada diri sendiri dengan percaya diri.