Zen Vessalius adalah nama yang pernah menggema di seluruh penjuru dunia, seorang pahlawan legendaris yang menyelamatkan umat manusia dari kehancuran total. Namun, waktu telah berubah. Era manusia telah berakhir, dan peradaban kini dikuasai oleh makhluk-makhluk artifisial yang tak mengenal masa lalu.
Zen, satu-satunya manusia yang tersisa, kini disebut sebagai NULL—istilah penghinaan untuk sesuatu yang dianggap tidak relevan. Dia hanyalah bayangan dari kejayaan yang telah hilang, berjalan di dunia yang melupakan pengorbanannya.
Namun, ketika ancaman baru muncul, jauh lebih besar dari apa yang pernah dia hadapi sebelumnya, Zen harus kembali bangkit. Dengan tubuh yang menua dan semangat yang rapuh, Zen mencari makna dalam keberadaannya. Mampukah ia mengingatkan dunia akan pentingnya kemanusiaan? Atau akankah ia terjatuh, menjadi simbol dari masa lalu yang tak lagi diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Vessalius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15 FIRASAT TIDAK ENAK
Derasnya hujan mengguyur kastil Lumoria, menambah suasana suram di dalam ruang kerja Zen. Rintik air mengalir di kaca jendela, membentuk pola-pola acak yang terlihat seperti tangisan langit. Zen duduk di kursinya, memandang ke luar dengan ekspresi yang sulit ditebak, sementara Selvina berdiri di dekatnya, tangannya menggenggam erat sandaran kursinya.
"Hujan ini seperti pertanda," Selvina berbisik, suaranya hampir tenggelam dalam suara gemuruh di luar. "Semoga bukan pertanda buruk."
Zen mengangguk pelan, tapi belum sempat ia menjawab, pintu ruang kerjanya terbuka, dan Eryon masuk dengan langkah tegas. Jubahnya sedikit basah, namun ia tidak tampak peduli.
"Zen, Selvina," kata Eryon, langsung menuju intinya. "Aku rasa kita tidak bisa hanya menunggu lagi. Jika perundingan gagal, kita harus segera mempersiapkan langkah selanjutnya. Ras Beast dan Firlinione adalah ancaman yang tidak bisa kita abaikan."
Zen berbalik menghadap Eryon, tangan bertumpu pada meja. "Apa usulmu?" tanyanya dengan nada serius.
Eryon menyandarkan tubuhnya pada meja panjang di ruangan itu, menatap keduanya bergantian. "Aku sarankan kita memperkuat perbatasan dan mengirimkan pesan kedua, kali ini langsung dari Lumoria. Tetapi, pesan itu harus disertai bukti nyata bahwa kita tidak berniat menyerang. Jika mereka masih menolak, kita tidak punya pilihan selain memobilisasi pasukan."
Selvina mengerutkan alisnya, tampak mempertimbangkan saran itu. "Tapi bagaimana kita bisa menunjukkan niat baik? Ras mereka sudah tidak percaya pada kita sejak awal. Langkah itu mungkin hanya akan memperburuk situasi."
Eryon mengangguk, mengakui poin Selvina. "Benar. Namun, kita tidak bisa membiarkan mereka berpikir kita lemah. Bahkan jika mereka mengabaikan pesan kedua, setidaknya kita sudah menunjukkan bahwa Lumoria bukan ancaman langsung. Itu bisa memberi kita sedikit waktu untuk bersiap lebih matang."
Zen mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, berpikir dalam-dalam. Hujan di luar semakin deras, seperti menambah beban di pikirannya. Setelah beberapa saat, ia mengangguk.
"Baik," kata Zen akhirnya. "Kita kirimkan pesan kedua. Selvina, kau bisa membantuku merancang kata-kata yang tepat. Eryon, pastikan pasukan kita terus bersiap tanpa menarik perhatian terlalu besar. Aku ingin ini menjadi langkah yang tegas, tapi tetap mencerminkan niat damai kita."
Selvina tersenyum tipis, mengangguk pada Zen. "Aku akan membantumu. Kita pastikan pesan ini sampai tanpa memberi kesan salah."
Eryon tersenyum puas. "Itu keputusan yang bijaksana, Zen. Aku akan segera mengatur semuanya."
Saat Eryon pergi untuk melaksanakan tugasnya, Selvina duduk di sebelah Zen, mendekatkan dirinya. "Kau melakukan hal yang benar," katanya lembut.
Zen menatapnya, senyum kecil menghiasi wajahnya. "Aku hanya berharap itu cukup."
Hujan masih deras, tapi di dalam ruang kerja itu, ada secercah harapan kecil yang mulai tumbuh.
Dalam perjalanan kembali menuju wilayah High Druid, suasana menjadi tegang. Kael, Lira, dan Theros memimpin rombongan dengan waspada. Namun, dari balik pepohonan di kejauhan, mereka melihat kilatan api yang melesat di udara. Beberapa panah api dari ras Beast meluncur deras, membakar udara menuju arah mereka.
"Serangan! Lindungi diri kalian!" seru Kael, menarik pedangnya sambil memimpin prajurit untuk membentuk barisan perlindungan.
Lira segera meraih kristal pemberian High Druid dari tasnya. "Gunakan kristal! Sekarang!"
Theros tidak ragu. Dengan gerakan cepat, ia melemparkan salah satu kristal ke udara, dan prajurit lainnya mengikuti. Kristal-kristal itu berpendar dengan cahaya hijau terang sebelum meledak di udara, menciptakan perisai energi besar yang melindungi rombongan dari serangan panah api tersebut.
Begitu panah menyentuh perisai, mereka langsung lenyap tanpa meninggalkan jejak. Namun, serangan itu tidak berhenti. Ras Beast yang menyerang muncul dari balik pepohonan, mengeluarkan geraman keras sambil meluncurkan gelombang serangan berikutnya.
"Mundur ke posisi aman!" perintah Kael. "Kita harus tetap bergerak!"
Lira mengangkat tongkat kecilnya, membisikkan mantra yang membentuk gelombang angin untuk memperlambat serangan musuh. Theros, dengan keahlian pedangnya, memimpin beberapa prajurit untuk memotong jalur serangan terdekat sambil melindungi rombongan.
"Kita tidak bisa terus bertahan seperti ini!" ujar Lira, napasnya memburu. "Jika mereka terus menyerang, kita akan habis sebelum mencapai wilayah High Druid."
Kael mengangguk dengan tegas. "Patuhi rencana. Kristal akan melindungi kita untuk sementara, tapi kita harus terus bergerak."
Setelah beberapa saat perlawanan, para penyerang dari ras Beast mulai mundur, tampaknya menyadari bahwa mereka tidak bisa menembus perisai energi dari kristal High Druid. Namun, Kael tahu ini hanya awal.
"Kita harus segera mencapai wilayah High Druid," kata Kael, menghapus keringat dari dahinya. "Mereka pasti akan menyerang lagi jika kita berhenti."
Lira dan Theros mengangguk, memimpin rombongan kembali ke jalan utama. Dengan kewaspadaan yang meningkat, mereka bergerak lebih cepat, berharap perbatasan High Druid segera terlihat. Dalam hati, mereka tahu kabar buruk yang dibawa harus disampaikan sesegera mungkin ke Lumoria.
Serangan terus berlanjut. Salah satu prajurit, yang berada di barisan belakang, tiba-tiba terjatuh dengan suara keras. Panah api dari ras Beast menembus tubuhnya, menyebabkan luka bakar yang cukup parah di punggungnya. Ia berteriak kesakitan sebelum jatuh ke tanah, membuat rombongan terhenti sejenak.
"Lindungi dia!" seru Kael, berlari menuju prajurit yang terluka. Lira dan Theros segera memerintahkan beberapa prajurit lainnya untuk mengangkat tubuh prajurit yang terluka dan membawa mereka ke belakang.
Namun, serangan dari ras Beast tidak berhenti. Mereka terus meluncurkan panah api dengan kecepatan yang semakin cepat.
Rangkaian serangan itu datang tak terhenti, memaksa rombongan untuk terus bergerak.
"Kita harus terus maju! Jangan berhenti!" teriak Kael, menahan rasa khawatir yang mulai merayap dalam dirinya. "Jika kita berhenti, mereka akan terus mengejar dan kita tidak akan bisa bertahan."
Lira memandang ke arah jarak yang masih jauh menuju perbatasan High Druid. "Kita harus bertahan sedikit lagi!" ujarnya, merapal mantra perlindungan yang membuat udara sekitar mereka menjadi lebih padat dan mengurangi kecepatan panah-api yang datang.
Theros, dengan penuh keberanian, memimpin beberapa prajurit untuk berlari maju, menangkis serangan dengan pedang mereka sambil berusaha menciptakan ruang bagi mereka yang terluka untuk mundur. Namun, meskipun mereka berusaha dengan gigih, ras Beast tidak memberi ampun.
"Tidak ada waktu! Terus maju!" seru Kael lagi, menarik perhatian rombongan untuk bergerak lebih cepat. Mereka harus mencapai perbatasan High Druid.
Mereka mulai mempercepat langkah mereka, berlari melewati rintangan-rintangan, sementara ras Beast terus mengejar dengan amarah yang tidak terkendali.
Kael merasa tekanan semakin besar- setiap langkah yang diambil terasa semakin berat, tetapi mereka tidak bisa berhenti.
Di kejauhan, akhirnya terlihat garis perbatasan High Druid. Batas wilayah yang menjadi harapan terakhir mereka untuk bertahan. Kael merasakan angin segar, tetapi mereka masih harus bertahan.
"Kita hampir sampai! Terus maju!" seru Kael, berusaha memberikan semangat kepada rombongan yang sudah mulai kelelahan.
Para prajurit dan ajudan Lumoria akhirnya mencapai perbatasan High Druid, dan dengan cepat ras High Druid menggunakan kekuatan kristal mereka untuk membangun pertahanan yang kuat. Energi kristal bersinar terang, menciptakan dinding transparan yang melindungi rombongan dari serangan lebih lanjut. Ras Beast, meskipun jumlahnya banyak, terhenti di batas perbatasan, mengetahui bahwa mereka tidak bisa menembus pertahanan High Druid tanpa menghadapi risiko besar.
Kael, Lira, dan Theros menarik napas lega, meskipun masih terengah-engah setelah perjalanan dan serangan tersebut. Mereka segera memfokuskan perhatian mereka pada prajurit yang terluka, memastikan mereka mendapatkan perawatan yang cepat dan tepat dari para penyembuh High Druid. Lira membantu mengalihkan perhatian para penyembuh untuk memprioritaskan yang paling parah, sementara Theros mengatur para prajurit yang masih fit untuk membangun perlindungan tambahan di sekitar area tersebut.
"Terima kasih, kami sangat membutuhkan pertolongan ini," ujar Kael dengan rendah hati kepada pemimpin High Druid yang hadir di sana. Pemimpin High Druid, seorang pria dengan mata yang bersinar seperti kristal, mengangguk serius.
"Kami berhutang budi kepada Lumoria, dan kami tidak akan membiarkan kalian jatuh di tangan musuh," jawab pemimpin tersebut dengan suara yang penuh kekuatan, namun lembut. "Kami akan memastikan kalian aman di sini."
Meskipun mereka telah mendapatkan perlindungan dari High Druid, suasana masih tegang. Ras Beast yang mundur hanya memberikan jeda waktu untuk mereka, tetapi pertempuran belum berakhir. Kael merasakan ketegangan yang meningkat di dalam dirinya, menyadari bahwa mereka masih harus bertahan dan mempersiapkan diri untuk kemungkinan serangan lebih lanjut.
Zen dan Selvina, yang terus menunggu kabar dari para utusan mereka, mulai merasakan dampak dari serangan ini. Namun prajurit mereka terluka, mereka segera mempersiapkan diri untuk langkah berikutnya, bertekad untuk menyelesaikan masalah ini dengan cara yang damai jika memungkinkan, namun siap untuk bertempur jika itu yang diperlukan.
"Perang mungkin tak bisa kita hindari, tapi kita akan berdiri bersama. Kita akan melawan untuk dunia kita," kata Zen kepada Selvina, yang mengangguk dengan tekad yang sama.
Selvina memandang Zen dengan penuh perhatian, melihat kelelahan di wajahnya. "Zen, sudah cukup banyak yang kita hadapi. Kau perlu beristirahat sejenak," katanya lembut, memegang tangan Zen dengan penuh kelembutan. "Kau sudah melakukan lebih dari cukup, sekarang istirahatlah, biarkan aku yang menangani sebagian hal ini."
Zen menatap Selvina sejenak, merasakan ketenangan dari sentuhannya. Meskipun perasaan cemas dan tanggung jawab membebani pundaknya, kata-kata Selvina memberinya sedikit kenyamanan. Ia tahu, meskipun dunia ini penuh dengan ketegangan dan ancaman, mereka masih saling mendukung dan tidak sendirian.
"Terima kasih, Selvina," jawab Zen pelan, akhirnya mengangguk dan melepaskan napas panjang. "Aku hanya merasa... dunia ini masih terlalu rapuh. Mungkin perdamaian memang masih jauh dari jangkauan."
Selvina tersenyum lembut, mencoba mengalihkan perhatian Zen. "Kita tak bisa memaksa semuanya, Zen. Tapi dengan langkah yang hati-hati, kita bisa membuat perbedaan. Yang penting, kita tetap bersatu. Aku di sini bersamamu."
Dengan perlahan, Zen membiarkan dirinya beristirahat, meskipun hatinya masih penuh dengan pikiran tentang masa depan. Namun, bersama Selvina dan dukungan dari seluruh Lumoria, dia merasa ada secercah harapan yang menyala di tengah kegelapan. Dunia ini memang rapuh, tetapi bersama mereka, ada kekuatan untuk bertahan.
Sementara itu, meskipun perdamaian terasa jauh, usaha untuk mencapainya terus berlanjut. Peperangan bisa saja terjadi, tapi Zen dan Selvina tahu satu hal—mereka akan melawan bersama, menjaga apa yang mereka cintai.
Bersambung!