"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ravien Invansia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Malam minggu
Ryan menaiki tangga dengan langkah berat, menuju kamar yang ditunjukkan oleh Hana. Pikiran masih dipenuhi oleh percakapan panjang mereka tadi, tapi yang ia butuhkan sekarang hanyalah beristirahat. Di depan pintu, ia berhenti sebentar, menghirup kehangatan yang anehnya terasa berbeda dari rumahnya sendiri.
"Selamat malam, Hana. Sampai jumpa besok," katanya singkat, suaranya datar, sebelum membuka pintu kamar tamu.
Hana hanya mengangguk dari bawah tangga. Senyum tipis masih bertahan di bibirnya, namun tatapannya kosong sejenak, terjebak dalam renungan. Ada sesuatu tentang Ryan yang membuatnya ingin lebih dekat, meski dia belum sepenuhnya paham kenapa. 'Dia... mengingatkanku pada seseorang,' pikir Hana, perlahan berjalan menjauh dari tangga.
Ryan duduk di tepi tempat tidur, menatap ruangan kecil tapi nyaman yang diisi dengan aroma kayu dari perabotan dan bau segar dari bunga yang masuk melalui jendela. Ada perasaan aneh yang muncul di dadanya. Hangat, tapi sekaligus tidak nyaman. Rumah orang lain, apalagi rumah seorang gadis, adalah sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.
'Kenapa aku seperti ini?' pikirnya. Ada ketidakpastian, tapi juga ketenangan yang entah bagaimana terasa salah.
Ia menghela napas, memaksa dirinya untuk berbaring, mencoba memejamkan mata. Tapi, melodi yang dimainkan Hana tadi terus berputar di kepalanya. Suara piano itu, bagaimana ia mencurahkan emosi... Semua itu mengganggu pikirannya. Tangannya terangkat, menutupi wajah. "Ini aneh," gumamnya pelan. Ia tidak sendirian, tapi justru itu yang membuatnya resah. Canggung, asing.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka dengan keras. Ryan terlonjak, tatapannya langsung menuju ke arah pintu. Hana berdiri di sana, napasnya sedikit terengah, tapi senyumnya lebar, penuh dengan semangat yang tak terduga.
"Hana?" Ryan mengernyit, suaranya terdengar bingung dan terkejut. "Ada apa?"
Wajah Hana berseri-seri, matanya bersinar penuh antusiasme. "Besok hari Minggu!" serunya, nyaris berteriak, tak peduli pada waktu.
Ryan butuh beberapa detik untuk memahami apa yang barusan dia dengar. "Hari Minggu?" gumamnya pelan. "Oh, ya... Besok hari Minggu."
Tanpa basa-basi, Hana melangkah masuk ke kamar. "Itu artinya kita tidak perlu bangun pagi untuk sekolah!" serunya, terlihat jelas betapa ia menikmati momen kecil itu.
Ryan menghela napas, hatinya sedikit lega meski masih bingung. "Ya, kau benar," katanya sambil menggosok wajah yang mulai terasa lelah. "Tapi kenapa kau masuk ke sini begitu tiba-tiba?"
Hana tidak memberi Ryan waktu untuk berpikir lebih jauh. "Mari kita begadang!" teriaknya tiba-tiba, penuh semangat.
Ryan menatapnya bingung. "Begadang?" tanyanya, seolah tidak percaya apa yang dia dengar.
"Iya! Kita bisa nonton film, main game, apa saja! Jangan sia-siakan kesempatan ini!" Hana tertawa kecil, ekspresi ceria seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan baru.
Ryan terdiam, kejadian hari ini sudah membuatnya lelah. Tapi semangat Hana yang begitu tulus, penuh energi, sulit untuk ditolak. Ada perasaan yang muncul di dadanya, perasaan bahwa ini akan berbeda. "Kau yakin?" tanyanya pelan, masih ragu.
Hana mengangguk mantap. "Tentu saja! Apa kau lebih suka tidur sendiri dan bosan? Lebih baik menghabiskan waktu bersama daripada sendirian."
Ryan tersenyum tipis, menyerah pada logikanya yang tak bisa dibantah. "Baiklah, kalau begitu."
Hana bertepuk tangan seperti anak kecil yang senang. "Luar biasa! Aku akan menyiapkan camilan. Kau tunggu di ruang tamu!" katanya sambil berlari kecil ke dapur.
Ryan menggelengkan kepala, tersenyum kecil saat melihat Hana pergi. 'Dia benar-benar penuh kejutan,' pikirnya. Malam ini, terasa ada sesuatu yang berubah. Dengan langkah ringan, dia berjalan keluar dari kamar, mengikuti Hana.
...----------------...
Ryan kembali duduk di sofa ruang tamu, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih cepat. Hana benar-benar penuh kejutan, dengan semangatnya yang tiba-tiba meledak. Senyum kecil muncul di wajah Ryan, meskipun awalnya ragu, dia tak bisa menyangkal kalau menghabiskan waktu dengan Hana adalah hal yang ia sukai.
Tak lama, Hana datang dengan nampan berisi camilan. Ada keripik, biskuit, dan dua gelas cokelat panas yang mengepul. Ia meletakkannya di atas meja.
"Semoga kau suka yang manis-manis," katanya ceria, duduk di samping Ryan dengan santai.
Ryan mengangguk sambil tersenyum. "Terima kasih. Ini terlihat enak."
Mereka duduk berdampingan, suasana terasa nyaman meski sedikit canggung. Hana menatap Ryan sambil menyilangkan kakinya. "Jadi, mau ngapain sekarang? Nonton film? Main game? Atau mau dengerin aku main piano lagi?"
Ryan tertawa kecil, suasana hatinya mulai lebih rileks. "Gimana kalau nonton film? Udah lama aku nggak nonton."
"Setuju!" Hana langsung meraih remote, menelusuri daftar film. "Kau suka film apa?"
"Aku nggak terlalu pilih-pilih, apa aja boleh," jawab Ryan.
Hana tersenyum puas. "Oke, kita tonton ini." Ia memilih film komedi yang terlihat ringan.
Film pun dimulai, dan mereka duduk dalam keheningan yang nyaman. Sesekali, tawa mereka pecah mengikuti adegan lucu di layar. Ryan merasakan kehangatan aneh di hatinya, perasaan damai yang sudah lama hilang. Keakraban yang sederhana, tapi sangat berarti.
Saat film berjalan, Hana tiba-tiba menoleh padanya. "Aku senang kita bisa habiskan waktu kayak gini," katanya pelan.
Ryan sedikit terkejut mendengar pengakuan itu, tapi juga merasa senang. "Aku juga. Ini menyenangkan."
Hana tersenyum, matanya bercahaya di bawah sinar televisi. "Kau bikin malamku lebih cerah."
Ryan merasa pipinya memanas. "Terima kasih. Kau juga bikin aku merasa lebih baik."
Film berlanjut hingga selesai. Hana meregangkan tubuhnya, menguap kecil. "Wah, film yang bagus. Tapi aku belum ngantuk sama sekali."
Ryan mengangguk, tersenyum tipis. "Aku juga. Mungkin karena cokelat panasnya."
Hana tertawa. "Bisa jadi. Terus, mau ngapain lagi? Mau main game?"
"Game apa?" tanya Ryan penasaran.
Hana berpikir sebentar, lalu senyum nakal muncul di wajahnya. "Gimana kalau main tebak-tebakan? Kita gantian nanya, dan jawabnya harus jujur."
Ryan mengangkat alis, tertarik. "Boleh juga. Siapa duluan?"
"Kamu aja," jawab Hana sambil menatap Ryan dengan penuh antusias.
Ryan berpikir sejenak sebelum bertanya, "Apa impian terbesarmu, selain jadi pianis terkenal?"
Hana terdiam sejenak, lalu menjawab, "Aku ingin menginspirasi orang lain lewat musik. Bikin mereka merasa nggak sendirian."
Ryan mengangguk, kagum. "Itu impian yang hebat."
"Terima kasih. Sekarang giliran aku." Hana menatap Ryan, tatapannya lebih dalam. "Apa hal yang paling kamu takuti?"
Ryan terdiam, lalu menghela napas. "Aku takut nggak pernah nemu tujuan hidupku."
Hana mendengarkan dengan serius. "Aku paham perasaan itu."
Permainan berlanjut, mereka saling bertanya dan menjawab dengan jujur. Setiap jawaban membuat mereka semakin mengenal satu sama lain, lapisan demi lapisan terbuka, membentuk ikatan yang semakin erat.
Setelah beberapa pertanyaan serius, Hana merasa perlu mengganti suasana. Dengan senyum nakal, ia menatap Ryan. "Sekarang giliran aku nanya sesuatu yang lebih pribadi."
Ryan langsung merasa waspada. "Uh, ya... kalau bisa jawab."
Hana tertawa pelan, jelas menikmati momen ini. "Kenapa sampai sekarang kamu belum punya pacar?"
Ryan hampir tersedak. "Apa?" tanyanya dengan mata terbelalak. "Dari mana kamu tahu aku belum punya pacar?"
Hana mengangkat bahu santai. "Insting cewek. Lagipula, kamu keliatan canggung tiap dekat sama cewek."
Wajah Ryan memerah. "Mungkin aku... belum ketemu orang yang tepat," jawabnya gugup.
Hana mendekat, matanya bersinar penuh keisengan. "Atau mungkin kamu terlalu pemalu buat nyatain perasaan?"
Ryan tertawa canggung, menggaruk kepalanya. "Mungkin aja."
Hana menatap Ryan lebih dekat. "Gimana kalau aku?" tanyanya tiba-tiba, nadanya setengah bercanda, setengah serius.
Ryan terdiam, kata-kata itu terasa menggantung di udara. Wajahnya memerah, hatinya berdetak lebih cepat. "A-apa maksudmu?" bisiknya.
Hana tak bisa menahan tawa lagi, tertawa terbahak-bahak sampai memegangi perutnya. "Astaga, kamu harus lihat wajahmu sekarang!" katanya sambil terus tertawa.
Ryan menunduk, merasa malu sekaligus lega. "Kamu benar-benar suka nggodain aku," gumamnya sambil tersenyum.
Hana mengusap air mata saking banyak tertawa. "Maaf, maaf. Aku cuma bercanda." Ia menepuk bahu Ryan. "Tapi beneran, kamu terlalu gampang digodain."
Ryan menghela napas, masih merasa gugup. "Kamu hampir bikin aku kena serangan jantung."
Hana tertawa kecil. "Pelajaran pertama, Ryan. Santai aja. Kamu nggak bisa terus-terusan kaku gitu."
Ryan tersenyum kecil. "Baiklah, akan kuingat."
Hana bangkit, meregangkan tubuh dengan gaya anggun. "Wah, aku jadi makin semangat. Gimana kalau kita main kartu sekarang?"
Ryan tertawa, merasa malam ini benar-benar tak terduga. "Baiklah, tapi jangan godain aku lagi kalau aku kalah."
Hana tersenyum licik. "Nggak ada janji."
Mereka menghabiskan malam dengan bermain kartu sambil bercanda. Setiap kali Ryan hampir menang, Hana selalu membuat lelucon yang sukses mengacaukan konsentrasinya. Suasana yang penuh tawa itu membuat malam terasa lebih cepat berlalu.
Ketika akhirnya mereka berhenti bermain, Hana dan Ryan duduk bersandar di sofa, menatap langit-langit yang gelap.
"Hana," panggil Ryan pelan.
"Ya?" Hana menoleh, rambutnya tergerai santai di bahunya.
"Terima kasih untuk malam ini. Aku nggak ingat kapan terakhir kali aku merasa sebahagia ini."
Hana tersenyum lembut. "Sama-sama, Ryan. Aku juga senang bisa habiskan waktu denganmu."
Keheningan yang hangat menyelimuti mereka. Ryan merasa lebih ringan, kecanggungan yang selama ini mengikutinya perlahan-lahan memudar, tergantikan oleh kehangatan yang tulus.
Karena MC ada di semua bab, pakai POV bisa lebih mudah. Tapi nggak juga gpp.
Yang saya kurang suka kalau cerita multiplot tapi pakai POV 1 yang berganti-ganti.
Bahasa cerita menurut saya udah bagus, baik itu narasi ataupun dialog.
btw, banyak orang di kehidupan nyata terwakilkan Ryan. Biasanya itu pengalaman penulis lalu di dunia fiksi dia ganti dg tema fantasi misal dapat sistem atau masuk ke dunia game.