Karin, Sabrina, dan Widuri. Tiga perempuan yang berusaha mencari kebahagiaan dalam kisah percintaannya.
Dan tak disangka kisah mereka saling berkaitan dan bersenggolan. Membuat hubungan yang baik menjadi buruk, dan yang buruk menjadi baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfira Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Penawaran
Rumah Sakit
Setelah beberapa saat tak sadarkan diri, Widuri pun akhirnya siuman. Pak Wijaya yang sedari tadi ada di samping Widuri dan mencemaskannya, seketika langsung memburu Widuri, serta menyambutnya dengan senyuman lega.
"Akhirnya kamu sadar juga Widuri," ucap Pak Wijaya merasa bisa bernafas lega.
Bukan hanya Pak Wijaya, Ibu Fatma yang ada di ruangan itu juga turut menghampiri Widuri, dengan wajah yang tersenyum yang lebar. "Syukurlah kamu sadar juga Widuri, dari tadi kita berdua sangat mencemaskan kamu."
Melihat ibu Fatma, Widuri jadi teringat dengan kejadian sebelum dia pingsan. Dia sontak memperhatikan Pak Wijaya. "Bapak enggak apa-apa?"
Widuri mengamati Pak Wijaya yang sudah berganti pakaian, dan tampak tangan dan kepalanya terbalut perban menandakan laki-laki itu juga terluka. Namun, Pak Wijaya menggeleng.
"Saya enggak apa-apa. Kamu tak usah mengkhawatirkan saya, dan seharusnya saya yang mengkhawatirkan kamu. Kamu jadi pingsan begini gara-gara menyelamatkan saya," ucap Pak Wijaya.
"Wijaya benar, kalau kamu tak nekat menolong mungkin yang akan terluka dan terbaring saat ini adalah Wijaya. Saya sangat berterima kasih sama kamu," ucap Ibu Fatma sambil menggenggam tangan Widuri.
"Jadi ibu ini, adalah ibunya Pak Wijaya?" tanya Widuri.
"Iya, ini mama saya. Kalau kamu tak lewat tempat itu, mungkin saya tidak akan tahu kalau mama saya diculik." ucap Pak Wijaya.
"Saya hanya kebetulan lewat, saya juga kaget pas melihat ibu disekap," balas Widuri.
Ibu Fatma yang masih menggenggam tangan Widuri, menggelengkan kepalanya. "Ini bukan kebetulan, ini pasti takdir. Wijaya pernah menyelamatkan kamu, dan kamu menyelamatkan Wijaya."
"Kalian berdua sepertinya berjodoh." Lanjut Ibu Fatma dengan nada gembira.
Widuri menyunggingkan senyumnya, sementara raut wajah Pak Wijaya langsung berubah masam.
"Mah!" Pak Wijaya menatap Ibu Fatma dengan mata yang membulat, dan itu berhasil membuat Ibu Fatma terdiam dengan wajah cemberut.
"Iya sudah, lebih baik kamu sekarang istirahat lagi. Oh, iya saya belum sempat menghubungi keluarga kamu. Lebih baik kamu cepat kabari mereka," ucap Pak Wijaya sambil menyerahkan ponsel milik Widuri.
"Enggak usah Pak. Saya enggak mau Ibu saya syok dan penyakitnya kambuh," ucap widuri beralasan. Padahal sebenarnya dia hanya belum mau bertemu dengan Karin.
"Baiklah kau itu mau kamu, tapi siapa yang akan temani kamu malam ini?" tanya Pak Wijaya.
Widuri terdiam, lalu Ibu Fatma menyenggol lengan Pak Wijaya. "Kamu saja yang temani Widuri malam ini. Dia itu sudah menyelamatkan kamu loh."
Pak Wijaya mengerenyitkan keningnya sambil menatap Ibu Fatma, lalu Widuri berkata. "Enggak usah Bu, saya bisa sendiri di sini. Kasian Pak Wijaya juga butuh istirahat, dan pasti istri Pak Wijaya juga sudah menunggu di rumah."
"Kamu tenang aja Widuri, menantu saya itu lagi kabur dari rumah," sahut Bu Fatma membocorkan masalah anaknya.
Widuri membelalakan matanya, sementara Pak Wijaya menyugar wajahnya, lalu memilih mengabaikan ucapan Ibu Fatma.
"Maaf saya tidak bisa menemani kamu di sini, tapi kalau ada apa-apa kamu bisa hubungi saya, dan juga saya akan meminta dokter melakukan pemeriksaan lanjutan di bagian kepala kamu," ucap Pak Wijaya lalu berbalik.
"Kamu mau kemana Wijaya?" tanya Bu Fatma.
"Aku mau pulang lah, mama mau di sini atau ikut aku pulang?"
Ibu Fatma mencebikkan bibirnya. "Iya mama mau ikut kamu pulang, tapi kamu tunggu aja dulu di parkiran. Mama mau bicara sebentar sama Widuri."
Pak Wijaya menghela nafas dengan berat lalu mengangguk. Lalu setelah Pak Wijaya pergi Ibu Fatma kembali mendekati Widuri.
"Tante boleh minta nomor kamu?" pinta Bu Fatma, sambil menyodorkan ponselnya.
Widuri pun menuliskan nomornya di ponsel Ibu Fatma. "Ini Bu."
"Jangan panggil Ibu, panggil aja Tante." Ibu Fatma tampaknya sudah menaruh hati kepada Widuri, karena keberanian dan kecantikan yang Widuri punya.
"Sekali lagi Tante mau ngucapin terima kasih karena kamu udah mau nyelamatin Wijaya. Kalau ada apa-apa jangan sungkan hubungin Tante, ya," ucap Bu Fatma sambil mengelus bahu Widuri.
"Iya Tante, saya cuma enggak mau Pak Wijaya kenapa-kenapa. Makanya saya refleks nyelamatin beliau," ucap Widuri.
Ibu Fatma mencerna ucapan Widuri, dan melihat betapa peduli dan khawatirnya Widuri, membuat senyum Bu Fatma semakin merekah.
"Kalau Tante boleh tau, menurut kamu Wijaya itu orangnya seperti apa?"
Widuri terdiam sejenak, lalu menjawab dengan tersemu-semu malu. "Pak Wijaya, dia baik sekali suka menolong ... tampan juga pintar ... dan mengagumkan."
Widuri menatap ragu ke arah Ibu Fatma, dia takut akan reaksi Bu Fatma atas kejujurannya. Namun, ternyata Ibu Fatma tetap tersenyum, lalu kemudian kembali menggenggam tangan Widuri.
"Kalau tante boleh tahu lagi. Apa kamu udah punya pacar?" tanya Bu Fatma, dan langsung dibalas gelengan kepala oleh Widuri.
"Wah, cocok kalau gitu!"
"Tante punya penawaran buat kamu," ucap Ibu Fatma dengan mata berbinar.
"A-apa Tante?"
"Kamu mau tidak menjadi istri kedua dari Wijaya?" Pertanyaan itu sontak membuat mata Widuri membelalak tak percaya.
........
Keesokan harinya - Apartemen Sabrina
"Pulanglah aku merindukanmu." Isi pesan Pak Wijaya terhadap Sabrina.
Sabrina menatap pesan itu dengan lekat, lalu memilih mengabaikan pesan tersebut dan mematikan ponselnya untuk sementara. Sabrina masih merasa belum siap untuk pulang, dan bertemu dengan suaminya.
Tak ingin membuang waktu Sabrina gegas bersiap sarapan dan pergi ke kantor. Seperti biasa dia mencoba melupakan masalahnya dan fokus kepada karirnya.
Sabrina tiba di tempat kerjanya, dan hendak masuk ke gedung tinggi tempatnya bekerja, tapi tiba-tiba seseorang memanggilnya.
"Sabrina" Suara itu terdengar begitu tegas, dan ketika Sabrina menoleh ternyata orang yang memanggilnya adalah Ibu Fatma.
Melihat kehadiran Ibu Fatma yang menggunakan setelan rapi nan mewah, serta tatapan yang mengintimidasi, membuat pagi hari Sabrina terasa seperti mimpi buruk.
"Ada apa dia kemari?" Sabrina menghela nafasnya, dan membatin.
Namun walaupun Sabrina tak suka akan kehadiran mertuanya, dia mencoba tetap bersikap sopan, dan menyambut dengan senyuman. "Loh, Mama ... ada perlu apa ya kemari?"
Ibu Fatma tak membalas senyum Sabrina. "Enggak usah sok ramah. Saya mau bicara sama kamu! Ayo ikut saya!"
"Maaf ya Mah, kita bicara kali aja ,Ini sudah waktunya aku untuk masuk kerja." Sabrina menolak ajakan tersebut.
"Alah, enggak usah sok sibuk kamu! Cepat ikut saya kalau kamu masih menganggap saya sebagai mertua kamu!"
Sabrina menggeram dalam hati, dan dengan terpaksa menuruti keinginan mertuanya. Dia tak mau terus berdebat di depan kantor, dan menjadi tontonan pegawai yang lain.
Keduanya pun berbicara di dalam mobil mewah milik Ibu Fatma.
"Apa yang mau mama bicarakan?" tanya Sabrina.
"Sudah berhari-hari kamu tak pulang ke rumah, dan melayani anak saya. Kamu sepertinya sekarang sudah berani membangkang ya?" Alih-alih menjawab Ibu Fatma malah mencecar Sabrina.
"Aku punya alasan kenapa nggak pulang ke rumah, dan mama juga pasti tahu apa alasan aku," jawab Sabrina lantang.
Ibu Fatma tertawa nyaring dan terlihat kesal. "Apa karena saya menyuruh Wijaya menikah lagi?Seharusnya kamu sadar diri, dan berterima kasih. Saya melakukan ini semua demi kamu. Demi menutupi kekurangan kamu."
"Masih syukur saya tak menyuruh Wijaya menceraikan kamu. Kalau orang lain pasti sudah dari dulu menyuruh anaknya berpisah dengan perempuan mandul!" lanjut Ibu Fatma menyindir.
Sabrina mendengus dan hatinya terasa sakit lagi untuk kesekian kalinya. Hanya karena tak bisa memberi keturunan, dia begitu dipandang rendah oleh mertuanya.
Sabrina terdiam mengepalkan tangannya, dan Ibu Fatma kembali bicara. "Saya kesini cuma mau memberitahu kamu, kalau saya udah temukan perempuan yang tepat untuk Wijaya. Jadi saya minta kamu pulang, dan ijinkan Wijaya untuk menikah lagi."
Sabrina menghela nafas dengan pasrah, lalu mengangguk. "Baiklah kalau memang Mas Wijaya mau menikah lagi silahkan, tapi tolong suruh dia ceraikan saya terlebih dahulu."
Ibu Fatma terkejut mendengar jawaban Sabrina. "Kamu mau bercerai dengan anak saya?"
Sabrina mengangguk dengan yakin. "Mama pikir di dunia ini ada perempuan yang mau dimadu oleh suaminya? Aku enggak sudi!"