Sepasang Suami Istri Alan dan Anna yang awal nya Harmonis seketika berubah menjadi tidak harmonis, karena mereka berdua berbeda komitmen, Alan yang sejak awal ingin memiliki anak tapi berbading terbalik dengan Anna yang ingin Fokus dulu di karir, sehingga ini menjadi titik awal kehancuran pernikahan mereka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Janji yang Tertinggal
Hujan deras kembali mengguyur kota, membawa serta aroma tanah basah yang menguar ke udara. Di dalam apartemen mungilnya, Anna duduk di sofa, menatap kosong ke luar jendela. Cangkir teh di tangannya sudah dingin, tak tersentuh sejak tadi. Malam itu terasa begitu sepi, seperti luka yang kembali menganga di hatinya.
Sudah berbulan-bulan sejak Anna meninggalkan Alan, mencoba membangun kehidupannya sendiri. Namun, meski jarak memisahkan mereka, bayangan Alan selalu hadir dalam setiap malam sunyi, menggugah kenangan yang terus menghantuinya.
Ketika bel pintu berbunyi, Anna terkejut. Siapa yang datang di tengah malam begini? Dengan langkah ragu, ia menuju pintu. Ketika dibuka, Alan berdiri di sana, basah kuyup oleh hujan. Wajahnya penuh keletihan, tetapi matanya menyimpan sesuatu yang sulit dijelaskan—sebuah tekad.
"Alan? Apa yang kamu lakukan di sini?" suara Anna bergetar.
"Aku... aku harus bicara denganmu, Anna. Tolong jangan usir aku," ucap Alan, suaranya rendah namun sarat emosi.
Anna terdiam sejenak. Tubuhnya ingin menutup pintu dan mengusir Alan, tetapi hatinya memerintahkan sebaliknya. Dengan berat hati, ia mempersilakan Alan masuk.
---
Alan duduk di sofa, menggigil. Anna mengambilkan handuk dan memberikannya tanpa berkata apa-apa. Ia duduk di kursi seberang, menjaga jarak.
"Apa yang kamu inginkan, Alan?" tanya Anna akhirnya, suaranya datar.
Alan menatap Anna dengan pandangan penuh sesal. "Aku tahu aku telah menghancurkan segalanya. Aku tahu aku telah menyakitimu dengan cara yang tak termaafkan. Tapi, Anna, aku mohon... beri aku kesempatan kedua. Aku akan membuktikan bahwa aku telah berubah."
Anna menelan ludah, merasakan amarah dan kesedihan berkecamuk di dalam dirinya. "Kamu pikir semudah itu, Alan? Kamu pikir semua luka ini bisa sembuh hanya karena kamu meminta maaf?"
"Tidak," jawab Alan cepat. "Aku tahu ini tidak mudah, dan aku tidak meminta semuanya kembali seperti dulu dalam sekejap. Tapi, Anna, aku mencintaimu. Aku tidak bisa hidup tanpamu. Sejak kamu pergi, hidupku hampa."
Anna memalingkan wajahnya, tak ingin Alan melihat air matanya. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mudah luluh, tetapi mendengar Alan berbicara seperti itu, hatinya mulai bergetar.
"Alan," katanya pelan, "aku masih menyimpan cinta untukmu. Tapi cinta itu tidak cukup untuk menyembuhkan rasa sakit yang kamu buat. Aku kehilangan kepercayaan padamu."
Alan mendekat, lututnya jatuh ke lantai di depan Anna. Ia menggenggam tangan Anna, meski wanita itu mencoba menariknya. "Aku tahu aku tidak pantas untuk dimaafkan, tetapi aku akan melakukan apa saja untuk memperbaiki semua ini. Aku sudah berhenti minum, aku sudah mengikuti terapi. Aku ingin menjadi pria yang pantas untukmu, Anna."
---
Beberapa minggu setelah pertemuan itu, Alan terus berusaha membuktikan ucapannya. Ia mengirim pesan setiap hari, memastikan Anna tahu bahwa ia benar-benar berubah. Ia berhenti mencoba mengendalikan situasi, berhenti mendesak Anna untuk kembali. Sebaliknya, ia hanya menawarkan dirinya sebagai seseorang yang ingin menebus kesalahan.
Anna, meski hatinya masih diliputi keraguan, tidak bisa mengabaikan usaha Alan. Sebuah undangan makan malam dari Alan akhirnya ia terima, meski ia tahu risiko yang harus ia hadapi.
Malam itu, Alan memilih restoran yang dulu sering mereka kunjungi. Ia memesan meja di sudut ruangan, dihiasi dengan lilin-lilin kecil. Ketika Anna tiba, Alan berdiri, wajahnya tampak cemas tetapi penuh harapan.
"Terima kasih sudah datang," katanya, tersenyum tipis.
Anna hanya mengangguk, mencoba mengatur detak jantungnya yang tak menentu. Mereka duduk berseberangan, dan untuk beberapa saat, hanya ada keheningan.
"Aku tahu aku tidak berhak meminta apa pun darimu," Alan memulai dengan nada hati-hati. "Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar ingin memperbaiki hubungan kita."
Anna menatap Alan, matanya berkaca-kaca. "Alan, kamu tahu ini tidak mudah, kan? Luka yang kamu buat tidak akan hilang begitu saja."
"Aku tahu," jawab Alan cepat. "Tapi aku ingin memperjuangkan kita. Aku ingin membuktikan bahwa aku benar-benar berubah. Anna, kamu adalah segalanya bagiku. Kehilanganmu membuatku menyadari betapa berharganya dirimu."
Anna terdiam, hatinya bergulat antara rasa cinta dan luka. "Alan, aku ingin percaya padamu lagi. Tapi aku butuh waktu untuk menyembuhkan diriku sendiri."
---
Hari-hari berikutnya diisi dengan usaha Alan untuk membuktikan keseriusannya. Ia tidak lagi mendesak Anna untuk kembali, tetapi ia terus menunjukkan perhatiannya dengan cara-cara kecil. Mengirimkan bunga, menanyakan kabar, atau sekadar mengucapkan selamat pagi melalui pesan singkat.
Namun, cobaan terbesar datang ketika Anna tanpa sengaja melihat foto lama mereka di ponselnya. Foto itu mengingatkannya pada momen-momen indah sebelum semuanya hancur. Air matanya mengalir tanpa henti malam itu. Ia menyadari bahwa meski Alan telah melukainya, bagian dari hatinya masih mencintai pria itu.
Suatu malam, Alan mengundang Anna ke taman tempat mereka dulu sering menghabiskan waktu bersama. Di bawah sinar bulan, ia menyiapkan sebuah kejutan kecil. Sebuah meja piknik dihiasi dengan lampu-lampu kecil dan lilin, menciptakan suasana yang hangat.
"Apa ini, Alan?" tanya Anna ketika melihatnya.
Alan tersenyum, matanya penuh harap. "Aku hanya ingin menghabiskan waktu denganmu, seperti dulu."
Mereka duduk bersama, menikmati makan malam sederhana yang Alan siapkan. Selama beberapa saat, suasana terasa seperti dulu, sebelum semuanya hancur.
"Anna," kata Alan tiba-tiba, memecah keheningan. "Aku tidak akan memintamu membuat keputusan sekarang. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku akan menunggumu, seberapa lama pun itu."
Anna menatap Alan, matanya berkaca-kaca. "Alan, aku ingin percaya padamu lagi. Aku ingin kita mencoba memperbaiki ini. Tapi aku butuh kamu bersabar."
Alan mengangguk, senyumnya mengembang. "Aku akan bersabar, Anna. Aku akan melakukan apa saja untuk membuatmu bahagia lagi."
Malam itu, di bawah sinar bulan dan gemerlap lampu kecil, mereka berdua mulai menapaki jalan untuk memperbaiki hubungan mereka. Meski perjalanan itu penuh dengan rintangan, mereka tahu bahwa cinta yang tulus selalu layak untuk diperjuangkan.