Aku di kenal sebagai gadis tomboy di lingkunganku. Dengan penampilanku yang tidak ada feminimnya dan hobby ku layaknya seperti hobby para lelaki. Teman-teman ku juga kebanyakan lelaki. Aku tak banyak memiliki teman wanita. Hingga sering kali aku di anggap penyuka sesama jenis. Namun aku tidak perduli, semua itu hanya asumsi mereka, yang pasti aku wanita normal pada umumnya.
Dimana suatu hari aku bertemu dengan seorang wanita paruh baya, kami bertemu dalam suatu acara tanpa sengaja dan mengharuskan aku mengantarkannya untuk pulang. Dari pertemuan itu aku semakin dekat dengannya dan menganggap dia sebagai ibuku, apalagi aku tak lagi memiliki seorang ibu. Namun siapa sangka, dia berniat menjodohkan ku dengan putranya yang ternyata satu kampus dengan ku, dan kami beberapa kali bertemu namun tak banyak bicara.
Bagaimana kisah hidupku? yuk ikuti perjalanan hidupku.
Note: hanya karangan author ya, mohon dukungannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Luka yang Membuat Pergi
Aku berdiri di bawah rindangnya pohon taman kampus, menunggu Galaksi seperti yang kami janjikan. Hari ini aku berniat memberinya jawaban, jawaban yang selama ini membuatku gelisah. Aku sudah bulat, aku akan menerima permintaan Ummi Ratna untuk menikah dengannya.
Namun, hatiku serasa dihantam keras saat pandanganku menangkap sesuatu yang menghancurkan seluruh keyakinanku. Di kejauhan, Maya, gadis itu berlari kecil ke arah Galaksi. Sebelum aku sempat mengalihkan pandangan, Maya tiba-tiba memeluk Galaksi dari belakang.
Pelukan itu bukan pelukan biasa. Tangannya melingkar erat di pinggang Galaksi, seolah tidak ingin melepaskannya. Wajahnya tersenyum puas, sementara Galaksi hanya berdiri kaku tanpa mencoba melepaskan diri.
Aku merasa tubuhku membeku. Dadaku terasa sesak, dan mataku mulai panas. Aku ingin berteriak, ingin mendengar penjelasan dari Galaksi, tapi kakiku justru melangkah mundur.
Aku tidak bisa lagi melihat mereka. Tanpa pikir panjang, aku berbalik dan berjalan cepat meninggalkan taman itu.
"Senja!" terdengar suara Galaksi memanggilku, namun aku tidak menoleh. Aku tidak ingin mendengar alasan apa pun darinya. Gambaran Maya yang memeluknya terlalu melekat di pikiranku.
Aku kembali ke kafe dengan perasaan hancur. Bahkan kopi favoritku tidak mampu menghilangkan rasa pahit di hati. Aku mencoba menenangkan diri, tapi bayangan Maya dan Galaksi terus menghantuiku.
Tepat saat aku berusaha mengalihkan perhatian, ponselku berdering. Nama Raka, teman lamaku dari geng motor, muncul di layar.
"Senja! Lama nggak dengar kabar. Aku cuma mau bilang, kita ada rencana tur ke Puncak akhir pekan ini. Kamu harus ikut!" katanya penuh semangat.
Aku ragu sejenak. Tapi kemudian, rasa marah dan kecewa menguasai pikiranku. Mungkin, pergi bersama mereka bisa menjadi pelarianku.
"Oke, aku ikut," jawabku akhirnya.
Hari keberangkatan tiba. Aku memilih motor sport-ku yang sudah lama tidak kugunakan. Para anggota geng lain sudah berkumpul di tempat biasa, sebagian besar membawa pasangan.
Raka mendekat dengan senyum lebar. "Senja! Senang banget kamu akhirnya balik ke jalanan lagi."
Aku hanya tersenyum tipis. "Butuh angin segar aja, Rak."
Raka mengangguk. "Kamu mau boncengan sama siapa?"
Aku menggeleng. "Aku bawa motor sendiri. Kayak dulu."
Raka tidak memaksa, dan kami pun memulai perjalanan. Suara deru motor yang memecah kesunyian malam memberikan rasa kebebasan yang sudah lama tidak kurasakan. Aku memacu motorku melewati jalanan yang berkelok, mencoba melarikan diri dari bayangan Galaksi.
Di tengah perjalanan, kami berhenti di sebuah kedai kecil untuk istirahat. Aku duduk sendiri di sudut, menatap teh hangat di tanganku.
"Senja, kamu kenapa?" tanya Raka tiba-tiba. Dia duduk di sebelahku, menatapku dengan penuh perhatian.
"Kenapa apanya?" aku pura-pura tidak mengerti.
"Kamu bukan orang yang gampang diajak keluar. Kalau kamu tiba-tiba muncul, pasti ada sesuatu," ujarnya.
Aku menghela napas. "Nggak apa-apa, Rak. Aku cuma butuh waktu buat diri sendiri."
Raka mengangguk pelan. "Kalau butuh cerita, aku ada, ya."
Aku mengangguk, merasa sedikit lebih tenang. Tapi saat aku memandang jauh ke arah langit malam, rasa sakit itu kembali menghantam.
Di tempat lain, Galaksi gelisah. Dia tahu ada sesuatu yang salah sejak melihat punggung Senja menjauh di taman kampus. Maya mungkin telah memprovokasi, tapi Galaksi tidak pernah membalas perasaan gadis itu.
"Kenapa dia nggak angkat telepon?" gumam Galaksi, menatap layar ponselnya yang penuh dengan panggilan tak terjawab.
Galaksi akhirnya menghubungi salah satu teman senja, berharap Senja ada di rumah.
"Ran, Senja di sana?" tanyanya buru-buru.
"Tidak. Kenapa? Kalian bertengkar?"
Galaksi terdiam. Dia tahu kesalahpahaman ini perlu segera diselesaikan sebelum semuanya semakin buruk.
Kembali di Susana puncak!
Aku tiba di Puncak bersama geng motor. Kami duduk di tepi jalan, menikmati pemandangan kota dari ketinggian. Angin malam menerpa wajahku, memberikan sedikit ketenangan.
Namun, rasa sepi kembali merayap di hatiku. Aku tidak bisa terus-menerus melarikan diri seperti ini. Aku tahu, cepat atau lambat, aku harus menghadapi Galaksi dan perasaanku sendiri.
Ponselku bergetar di saku. Nama Galaksi muncul di layar, tapi aku tidak menjawab. Aku masih belum siap berbicara dengannya.
Malam itu, aku duduk sendiri, mencoba mencari jawaban atas semua pertanyaan yang menghantui pikiranku. Apakah aku benar-benar bisa melanjutkan hubungan ini? Atau mungkin, ini saatnya aku melepaskan semuanya?
To Be Continued...
apa yg dikatakan Senja benar, Galaksi. jika mmg hanya Senja di hatimu, tidak seharusnya memberi Maya ruang dalam hidupmu. padahal kamu tahu betul, Maya jatuh hati padamu.
Tidak bisa menjaga hati Senja, berarti kesempatan lelaki lain menjaganya. jangan menyesal ketika itu terjadi, Galaksi