Jo Wira, pemuda yang dikenal karena perburuan darahnya terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kematian orang tuanya, kini hidup terisolasi di hutan ini, jauh dari dunia yang mengenalnya sebagai buronan internasional. Namun, kedamaian yang ia cari di tempat terpencil ini mulai goyah ketika ancaman baru datang dari kegelapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orpmy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Badai yang Mereda
Setelah mempelajari dasar-dasar membaca bahasa sihir, Wira memutuskan untuk segera mempraktikkan kemampuannya dengan membaca buku skill yang ia miliki.
"Yang pertama adalah..." gumamnya sambil memperhatikan dua buku skill di tangannya. Wira memilih buku dengan sampul bergambar cahaya di tengah lubang hitam. "Aku pikir ini adalah buku skill berbasis sihir."
Ia menarik napas dalam-dalam dan mulai membaca. Dengan konsentrasi penuh, Wira menyerap setiap kata dari huruf-huruf sihir yang baru ia pelajari. Tidak ada tanda-tanda kesulitan yang Wira hadapi, ia begitu tenang dan fokus, seakan belajar adalah kegiatan yang mudah dia lakukan selayaknya minum air.
"Jadi, nama buku sihir ini adalah Voidflaer skill book," ujar Wira setelah lima belas menit membaca. Wajahnya menyiratkan pemahaman baru.
Sebagian besar isi buku itu ternyata adalah cerita tentang dewa kegelapan bernama Nihilax Melevolac, penguasa dimensi kekosongan. Dari dimensi inilah, semua monster dungeon berasal. Kekuatan sihir yang dimiliki para monster ternyata adalah berkah dari dewa tersebut.
"Karakter Nihilax seperti secret bos dalam cerita novel maupun game." Wira mengangguk pelan.
Namun tiba-tiba, sekelilingnya berubah. Cahaya memudar dan kegelapan pekat menyelimuti segalanya. Wira merasa seperti ditelan oleh jurang tak berdasar. Jantungnya berdegup kencang.
Di tengah kegelapan itu, ratusan, bahkan ribuan bola mata muncul, semuanya menatapnya dengan tajam. Membuat rasa takut mulai merayap, membuat tubuh Wira semakin gemetar tak terkendali.
Sekejap kemudian, semua itu lenyap. Wira mendapati dirinya berada di ruang altar dengan buku skill di tangannya. Nafasnya memburu, dan kepalanya terasa pusing.
"Apa yang baru saja terjadi?" bisiknya sambil memegang kepalanya.
Karena tidak tahu pengalaman apa yang baru saja dia alami, Wira mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya mimpi buruk akibat belajar hingga larut malam. Namun, perasaan aneh di hatinya mengatakan bahwa apa yang terjadi memiliki sebuah arti.
Ding!
[Selamat! Anda telah mempelajari buku skill Voidflaer]
Kekhawatiran seketika lenyap, Wira tersenyum lega mendengar notifikasi sistem. "Oh, itu berhasil!" ujarnya senang. Usahanya mempelajari bahasa sihir membuahkan hasil.
Buku skill di tangannya bersinar terang sebelum lenyap dalam sekejap, mirip seperti mekanisme dalam game.
"Sayang sekali... Aku pikir buku itu bisa digunakan berkali-kali di dunia nyata," Wira bergumam kecewa. Ia membayangkan betapa mudahnya membuat orang lain mempelajari sihir Voidflaer jika buku itu bisa digunakan berulang kali.
Wira kemudian mengambil buku skill kedua. Kali ini, prosesnya lebih cepat. Hanya dalam tujuh menit, ia menyelesaikan bacaannya. Buku ini memang lebih tipis daripada buku pertama, tapi berkat buku ini kemahiran Wira dalam membaca huruf sihir pun semakin meningkat.
Ding!
[Selamat! Anda telah mempelajari buku skill Bonecrush Smash]
Berbeda dengan sebelumnya, kali ini tidak ada pengalaman aneh atau kegelapan yang menelannya. Semua berjalan lancar. Wira menghela napas lega. "Sekarang aku punya dua skill baru. Ini akan sangat berguna di masa mendatang!"
Setelah mempelajari bahasa sihir, bukannya beristirahat, Wira justru mengambil berbagai tulang dari tempat penyimpanan. Niatnya jelas: membuat senjata dari tulang-tulang tersebut.
"Besok badai salju akan berhenti. Para budak pasti akan memanfaatkan kesempatan untuk keluar dari goa tambang. Ini saat yang tepat untuk berdagang dengan mereka," ujarnya sambil tersenyum lebar. Dengan cekatan, Wira mulai mengolah tulang-tulang monster menjadi beragam senjata tajam.
Setelah mempelajari bahasa sihir, bukannya beristirahat Wira justru mengambil beragam tulang dari tempat penyimpanan makanan. Dia berniat membuat senjata dari tulang-tulang tersebut.
"Besok badai salju akan berhenti. Para budak pasti akan segera mengambil kesempatan untuk meninggalkan goa tambang. Ini adalah waktu yang tepat untuk berdagang dengan mereka." Dengan senyuman lebar. Wira mengolah tulang monster menjadi berbagai senjata.
***
Pagi harinya.
Seperti yang sudah diprediksi oleh Wira, badai salju telah berakhir. Semua orang senang akhirnya bisa keluar dari goa tambang yang telah mengurung mereka.
Para Kobold dengan gembira berlari menuju alam terbuka yang sudah lama mereka idam-idamkan. Pemimpin Kobold, Konjing, mengingatkan bahaya di luar goa, tetapi tidak dihiraukan.
"Mereka akan kembali dalam.... Lima belas detik." Ucap Wira yang tiba-tiba saja muncul di samping Konjing, yang sontak membuat Kobold itu terkejut.
"Ap... Apa yang anda katakan?" Konjing merasakan firasat buruk dari perkataan pemuda itu.
Wira tidak perlu memberikan penjelasan pada Konjing, karena jeritan yang semakin keras dari luar telah mengatakan semuanya. Konjing yang khawatir segera berlari untuk melihat apa yang sedang terjadi.
Di depan mulut goa, Konjing melihat banyak Kobold terluka. Sedangkan di luar, dia melihat adegan mengerikan dimana banyak burung berkepala manusia menyerang para Kobold.
Burung berkepala manusia itu disebut sebagai Harpy.
"Semuanya cepat kembali, kalian tidak mungkin menang melawan makhluk itu!." Teriak Konjing. Banyak Kobold yang segera kembali, tapi ada juga yang merasa dirinya leby kuat hingga memilih menghadapi Harpy.
"Konlot, cepat bawa teman-temanmu kembali!." Konjing kembali memberikan peringatan.
"Diamlah kakek tua! Kami akan mengalah monster ini lalu berevolusi menjadi lebih kuat, ahahaha!" Kobold muda itu tertawa lepas.
Konjing mengeratkan giginya ketika mendengar jawaban dari Kobold bernama Konlot itu. "Mereka tidak tahu kekuatan mereka sendiri." Gerutu Konjing.
Dan hal yang ditakutkan pun terjadi. Kelompok berjumlah 6 Kobold semakin terpojok oleh serangan Harpy. Beberapa Kobold mulai tumbang karena luka-luka, Konlot pun akhirnya tidak bisa bertarung ketika wajahnya terkena cakar Harpy.
"Dasar burung sialan!" Meski Konlot yang kini terkapar di atas salju. Melihat mangsa yang sudah tidak berdaya, Harpy segera membawa para Kobold terbang.
"Berhenti di sana burung sialan." dengan panik Konjing melempar batu ke arah Harpy, berharap bisa menjatuhkan Kobold yang diculik. "Tidak, jangan bawa putraku!" Pintanya putus asa.
Namun teriakannya justru membuat Harpy lainnya mendekat. Ketika sebuah cakar Harpy hendak menerkamnya, tiba-tiba sebuah panah api melesat dari dalam goa, menembus tubuh Harpy dan membunuhnya seketika.
Semua Kobold seketika menatap arah api itu berasal, yang memperlihatkan Seekor kuda dengan kulit kehitaman layaknya lelehan metal memancarkan aura panas menyengat. Kuda itu berjalan anggun menuju area luar goa.
Kuda itu menatap Harpy yang berterbangan di udara. Dengan satu kali nafas, puluhan kristal hitam tercipta di sekitarnya, ujung Kristal itu memerah seperti besi yang dipanaskan.
KIIIEEK!
Dengan sekali pekikan, seluruh kristal terbang dengan cepat membuat kobaran api disepanjang jalurnya. Jeritan Harpy mulai bergema, diikuti dengan jatuhnya puluhan burung monster itu, membuat semua Kobold terdiam.
***
"Ahahaha, Sumba! Kau semakin kuat setelah berevolusi. Tidak kalah dengan Kinta dan Malika!" seru Wira sambil tersenyum puas.
Di sekeliling Sumba, api berkobar lebih besar, seolah menunjukkan kegembiraan kuda itu setelah mendapat pujian dari tuannya. Wira melangkah mendekat, berniat mengusap kepala Sumba seperti biasanya. Namun, panas yang menyengat dari api Sumba justru membakar tangannya.
"Aduh!" Wira cepat-cepat meraih segenggam salju untuk mendinginkan tangannya yang terbakar. Rasa dingin langsung meredakan panas yang menggigit.
Di saat itu, Konjing berjalan mendekat. Meski ketiga hewan peliharaan Wira membuat para Kobold ketakutan, Konjing memberanikan diri untuk berbicara. Dengan wajah penuh kecemasan, ia bersujud di depan Wira.
"T-Tuan Wira... kumohon... selamatkan putraku!" Suaranya bergetar penuh harap.
Wira menatap ke arah langit, di mana Harpy terakhir sudah berubah menjadi titik-titik hitam yang semakin menjauh.
Ia tersenyum tipis, lalu menoleh ke arah Kinta. "Kinta, bagaimana? Kau bisa melacaknya, kan?"
Kedua kepala Kinta menggonggong lantang dan penuh keyakinan. Konjing merasa dadanya sedikit lega mendengar itu. Namun, kelegaan itu tak bertahan lama. Ia sadar Wira pasti menginginkan sesuatu sebagai imbalan.
Konjing menelan ludah. "Apa... apa yang Anda inginkan sebagai bayaran?" tanyanya dengan suara pasrah.
Wira tersenyum lebar, tatapan matanya penuh perhitungan. "Aku ingin kau membuatkan sebuah tungku."
Konjing mengerutkan dahi, bingung. "Tungku?"
Wira mengangguk. "Ya, tungku peleburan yang cukup kuat untuk melebur baja tingkat mistik."
mohon berikan dukungannya