Kisah Aghnia Azizah, putri seorang ustadz yang merasa tertekan dengan aturan abahnya. Ia memilih berpacaran secara backstreet.
Akibat pergaulannya, Aghnia hampir kehilangan kehormatannya, membuat ia menganggap semua lelaki itu bejat hingga bertemu dosen killer yang mengubah perspektif hatinya.
Sanggup kah ia menaklukkan hati dosen itu? Ikuti kisah Nia mempelajari jati diri dan meraih cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Dosen Killer
Esoknya, Aghnia keluar dari ruang kaprodi, selesai mengkonsultasikan skripsinya. Gadis itu menghela nafas panjang karena mendapat dosen pembimbing yang ditakuti hampir seluruh mahasiswa di fakultas tempat ia belajar. Ia bahkan sudah bernegosiasi pada Pak Ilham, namun penjelasan yang dijabarkan Pak Ilham membuat Aghnia mati kutu dan harus menerima.
Gadis itu beristirahat di tangga. Mengecek ponselnya, melihat notifikasi dari Malik. Aghnia tersenyum lalu seketika murung, ia mengubah ekspresinya dengan cepat. Gadis itu menghubungi pacarnya.
"Malik, sepertinya kita tak bisa makan bersama hari ini" ucap Aghnia, setelah telfon berhasil tersambung.
"Kenapa?" Tanya Malik ingin tahu.
"Aku ada jadwal bimbingan hari ini, aku juga tidak tahu akan berakhir jam berapa" jelas Aghnia, tak dipungkiri dirinya sedang merindukan Malik.
"Baiklah, tak apa sayang" sahut Malik tak mempermasalahkan, toh masih ada hari esok untuk bertemu pacarnya itu.
"Terimakasih, aku tutup dulu sayang" pamit Aghnia, seraya menutup panggilan saat perpindahan jam mata kuliah.
Setelah memasukkan ponselnya ke dalam totebag, Aghnia berjalan kembali ke ruang dosen karena tadi pak Alfi sedang mengajar. Sampai di depan ruang dosen, Aghnia mengambil dan membuang nafas berulang ulang, gadis itu mondar mandir tak jelas, merapikan baju dan kerudungnya.
"Kamu mau ngapain mondar-mandir di sini?", tegur seorang pria di belakang Aghnia.
"Apa sih? Nervous nih!", bentak Aghnia sembari berbalik badan. Sontak badannya kaku menatap wajah pria di belakangnya.
"Pak, Alfi?", gagap Aghnia.
Jantung Aghnia berdetak dengan kencang, bahkan telapak tangan gadis itu sudah basah karena takut melihat tatapan dingin dosen yang terkenal killer ini. Aghnia kemakan rumor teman teman satu fakultasnya, dosen killer yang satu ini selalu sukses membuat menangis siapapun yang berada dalam bimbingannya. Padahal Alfi tak pernah masuk dan mengisi kelasnya, tapi hatinya tak bohong, dirinya sangat ketakutan sekarang.
"Apa? Ngga jelas. Minggir!", usir Alfi lantas memasuki ruangan dosen, diikuti Aghnia yang berjalan dengan menunduk.
"Aduh!", Aghnia menabrak punggung kekar Alfi, membuat dosen itu berbalik badan.
"Kamu ngapain di belakang saya?", protes Alfi.
Aghnia menelan ludahnya, gadis itu berdiri seraya meremas tangannya karena gugup.
"Itu, saya Aghnia Azizah jurusan management bisnis syariah" gadis itu menjeda ucapannya, mengambil nafas panjang. "Itu kaprodi mengarahkan saya untuk bimbingan skripsi ke pak Alfi" terang Nia dengan terbata.
"Oh, kamu ternyata. Saya sudah diberi pesan oleh pak Ilham tadi. Duduk lah!", ujar Alfi, seraya duduk ke kursi dan membuka laptopnya.
Lama menunggu, namun Alfi sama sekali tidak mendongak dari layar laptopnya. Ia sedang mengerjakan riset kecil dan merangkum data penelitian dalam penyusunan jurnal ilmiah.
"Ehem!", Aghnia berdehem karena merasa diabaikan.
Mendengar itu, Alfi menjeda kegiatannya, menutup laptopnya dan memperhatikan mahasiswi yang berada di depannya. Jantung Aghnia semakin berdebar dipandang oleh Alfi.
"Duh, serba salah. Menunggu bosan, ditatap nervous", batin Aghnia, meremas totebag di pangkuannya.
"Tapi, kenapa wajahnya tampan?", gumam Aghnia. Gadis nakal itu masih sempat memuji keindahan yang ada di wajah Alfi, ia bisa melihat lebih jelas sosok Alfi daripada saat di lapangan basket waktu itu. Rahang tegas dengan hiasan bulu halus membuat Aghnia menelan ludahnya susah payah.
"Kenapa malah bengong? Ayo tunjukkan proposal skripsi kamu!", perintah Alfi. Buru buru Aghnia menunduk untuk mengalihkan fokusnya dan merogoh totebag, lantas menyerahkan kertas setebal 20 lembar ke meja Alfi.
Alfi membaca proposal yang diserahkan Aghnia, pria itu fokus membolak balikkan setiap halaman. Aghnia tak bisa melepas pandangannya dari wajah serius Alfi. Gadis nakal itu semakin terkesima melihat rambut bagian atas Alfi yang sedikit basah, pandangannya turun pada alis tebal Alfi. Seketika Aghnia menggeleng, mengingat sikap Alfi yang menyeramkan.
"Kenapa kamu?" Alfi menutup proposal Aghnia bersamaan dengan Aghnia yang menggeleng. Gadis itu hanya tersenyum kaku.
"Lumayan. Tapi, benahi hipotesis kamu agar lebih jelas variabel yang kamu gunakan dan segera kumpulkan data", ujar Alfi seraya memberikan contoh variabel yang bisa Aghnia gunakan.
"Baik pak. Saya permisi", pamit Aghnia seraya meninggalkan kursinya.
"Memang kamu sudah mencatat nomor ponsel saya?", tanya Alfi, membuat Aghnia kembali, menoleh dan memperlihatkan deretan giginya. Nampak lah gigi kelinci, membuat Alfi sedikit terkesima.
"Maaf pak, lupa", Aghnia pun segera mencatat nomor ponsel Alfi lantas bergegas. Ia sudah berkeringat dingin meski nada bicara Alfi tidak keras, namun tegas dan terperinci, membuat kepala Aghnia pening.
Aghnia menghela nafas lega setelah keluar dari ruangan dosen. Ia segera bergegas pulang menenangkan jantungnya yang dibuat tak aman oleh pak Alfi.
Sampai di kontrakan, gadis itu menghempaskan tubuhnya di kasur. Memejamkan matanya hingga akhirnya terlelap.
Sore hari, Monica sampai di kontrakan, gadis itu berdecak melihat pintu kontrakan tidak dikunci, ia tahu ulah siapa yang selalu ceroboh. Gadis itu menghampiri kamar Aghnia yang tidak tertutup. menggelengkan kepala melihat sahabatnya tertidur tanpa mengganti pakaian.
"Nia bangun ih, udah lewat ashar ini" Monica menggoyang nggoyangkan tangan Aghnia.
"Sepuluh menit aja Mon, capek banget" lirih Aghnia,enggan membuka mata.
"Guyur nih kalo masih nggak bangun" ancam Monica.
Seperti robot yang dikendalikan oleh remote, Aghnia langsung bangun dan duduk, memandang wajah Monica dengan ekspresi datar. Monica cekikikan melihat Aghnia yang takut akan diguyur sungguhan.
"Nia dapat dospemnya siapa?" Monica mengalihkan pembicaraan.
"Pak Alfi" ucap Nia lemas.
"Wah dosen killer" ujar Monica. "Tapi nggak papa sih, ketutuplah sama gantengnya. Iyakan?" Monica menaik turunkan alisnya. Aghnia memutar bola matanya malas.
"Ganteng sih, tapi dingin" seru Aghnia mengingat percakapan dengan Alfi tadi. Gadis itu bergidik ngeri.
"Tapi kata kakak tingkat sefakultas yang udah lulus dan pernah dapat dospem pak Alfi, orangnya perfeksionis banget, jadi saat kita sidang dijamin revisinya nggak bakal banyak bahkan bisa jadi nggak ada revisian" ujar Monica. "jadi ya lebih terjaminlah Nia" imbuh Monica, menenangkan sahabatnya.
Aghnia membuka mulutnya tanpa bisa berkata kata. Ia mencerna ucapan Monica.
"Jadi kalo misal dataku ada yang sedikit saja terlewat, harus revisi dulu sama pak Alfi, sampe pak Alfi memberi lampu hijau lanjut ke sidang?" Tanya Aghnia ragu.
Monica mengangguk, "bahkan ada juga kakak tingkat yang sampe nangis, dua tahun nggak kelar kelar revisi dari pak Alfi, setor revisi lagi, setor revisi lagi" ringis Monica, ia tak ingin menakut nakuti sahabatnya, hanya menceritakan pengalaman kakak tingkatnya agar tidak terjadi pada Aghnia.
"Ada juga yang meremehkan pak Alfi dan berakhir di drop out" ujar Monica lagi.
Aghnia mengangkat tangannya meminta Monica berhenti bicara. Gadis itu menghela nafas lelah. Ia harus menyiapkan strategi perang, ia juga mendistraksi pikirannya agar tidak mudah pikun dan berakhir revisi berulang ulang. Aghnia tak mau menjadi mahasiswa abadi, ia ingin segera lulus dan melanjutkan ke jenjang lebih serius dengan Malik.