Seorang pengangguran yang hobi memancing, Kevin Zeivin, menemukan cincin besi di dalam perut ikan yang tengah ia bersihkan.
"Apa ini?", gumam Kevin merasa aneh, karena bisa mendengar suara hewan, tumbuhan, dan angin, seolah mampu memahami cara mereka berbicara.
"Apakah aku halusinasi atau kelainan jiwa?", gumam Kevin. Namun perlahan ia bisa berbincang dengan mereka dan menerima manfaat dari dunia hewan, tumbuhan, dan angin, bahkan bisa menyuruh mereka.
Akankah ini berkah atau musibah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardi Raharjo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyusup ke Gedung Walikota
Kevin merasakan tubuhnya sangat nyaman. Energi yang ia gunakan untuk membuat angin sebagai pijakan memang tidak banyak. Namun segera terganti dengan energi dari dalam cincinnya, membuat sel di seluruh tubuh kembali penuh energi.
"Wah, bisa sombong aku kalau terus begini", Kevin tak ingin memiliki sifat sombong. Karena pasti itu akan membuka kelemahan dan kelengahan.
"Bang Rain, apa aku bisa setiap saat meminta bantuan dan nasehatmu? Misal agar bang Rain mau mengajariku teknik tertentu atau pengalaman tertentu sepanjang hayat", Kevin tentu butuh bimbingan, meski selama ini juga ia terbiasa otodidak mempelajari segala sesuatu.
"Tentu tidak. Aku hanya kesadaran yang tidak memiliki pertimbangan. Semua hal penting tentang cincin ini juga sudah ada dalam ingatanmu. Jadi, bijak lah berbuat", Rain tidak berekspresi apapun akan hal ini.
"Hufh, ya sudah lah. Terimakasih untuk jawabanmu", Kevin bertekad akan mencari jawaban atas semua rasa penasarannya ini.
"Nah, sekarang aku bisa menyusup ke kota Dorman, mencoba kemampuan kamuflaseku", Kevin bermonolog lantas mencoba memanipulasi sepatunya. Butuh dua detik untuk mengubah sepatunya berwarna dan motif sama dengan tanah yang kini dipijak.
"Lumayan", gumam Kevin lantas melangkah santai, sekaligus menguji kemampuan dan energi yang diperlukan untuk mempertahankannya. Sayangnya, saat memijak rumput, sepatu itu tidak langsung beradaptasi, tetapi membutuhkan kesadaran Kevin u untuk mengubahnya.
"Wah, ribet juga kalau begini", Kevin mengeluh karena kemampuan ini kurang efisien jika harus beradaptasi secara khusus. Tentu saja karena ini bukan bagian dari tubuhnya. Jika Kevin melepas sepatunya, mungkin matanya takkan bisa melihat di mana tubuhnya benar-benar tak terlihat sekarang.
Pun jika ada orang yang melihat Kevin sekarang, pasti mereka mengira ada hantu yang menerbangkan pakaian, seolah berjalan-jalan di hutan.
"Sudah lah, tak apa. Aku memang harus melatih konsentrasiku agar lebih cepat beradaptasi", batin Kevin. Ia juga merasakan, mengalirkan energi ke benda selain yang ia kuasai, itu butuh energi lebih besar. Untung saja ia punya power bank super yang terhubung dengan dirinya.
Hari itu, Kevin memutuskan untuk berlatih dulu di hutan ini. Setidaknya ia harus lebih cepat dalam adaptasi, sekaligus mengisi ulang energi yang ia pakai dengan kembali ke atas pohon. Tak lupa ia mencari ikan sebagai makanan.
"Rasa makanan asli lebih enak dan sehar daripada makanan cepat saji", Kevin memuji makanan yang ia kunyah sekarang.
"Huh, kalau aku pergi dari kota dan hutan buatan ini, di mana lagi aku bisa mengisi ulang dengan cepat dan efisien?", Kevin tidak tahu esensi energi yang ia serap selama ini. Ia hanya bernafas dan energi itu masuk dengan sendirinya. Itu terjadi sejak cahaya masuk ke dalam keningnya dalam mimpi pada malam setelah menemukan cincin keramat.
Perbedaannya hanya saat ini ia menyerap energi secara sengaja, tubuhnya mengalir kan energi ke cincin. Batu permata lah yang paling banyak energinya dan mungkin ditemukan di beberapa tempat.
" Sudah lah. Aku punya banyak pegawai yang siap mencarikanku sumber daya saat kubutuhkan. Lebih baik aku istirahat. Esok aku akan coba hasil latihanku hari ini", Kevin bergumam dan lantas beristirahat di atas pohon seraya mengisi ulang energinya.
Keesokan pagi, Kevin menggunakan sehelai daun cukup panjang dan melesat terbang di atasnya mendekati kota Dorman.
"Hufh, di sini saja. Akan bahaya jika kelihatan orang lain", Kevin pun lompat turun dan menapak tanah tanpa cedera. Bantalan angin memang sangat membantunya, seperti memiliki kemampuan dewa yang membuat Kevin hampir besar kepala namun segera dikendalikannya.
"Kalau begini sih, jatuh dari pesawat terbang pun, aku akan aman", batin Kevin lantas masuk lewat pintu gerbang, tak lama kemudian. Bagaimana pun, ia masih memegang kartu dari Beny yang harus dimanfaatkan.
Tanpa mengunjungi toko Golden Fox, Kevin melangkah santai ke arah kantor walikota Dorman, sesuai informasi yang ia kumpulkan. Jarak sepuluh meter dari gedung walikota, Kevin melihat penjagaan tidak ketat, namun terdapat banyak kamera keamanan tersebar di setiap titip strategis, bahkan senjata mesin disiapkan di pos penjaga.
"Benar-benar seperti penjara dan ini rumah kepala penjara", Kevin menyindir pelan. Ia memang kagum dengan kota Dorman yang begitu indah sekaligus mewah. Namun mulai dari penjaga gerbang, tembok, hingga rumah walikota, tak ada kata lain yang cocok di benak Kevin selain perumpamaan penjara.
Sembari berteduh di bawah pohon, Kevin berpikir sejenak, alasan apa yang bisa ia pakai. Karena bukan hanya kemampuan kamuflase, ia harus punya kartu akses masuk dan keluar dengan selamat dari dalam sana nantinya. Sementara itu, Kevin juga memperhatikan orang-orang yang keluar masuk gedung.
"Nah, itu dia", gumam Kevin lantas bangkit menghampiri seorang petugas kebersihan yang hendak membuang sampah ke pusat pengolahan sampah kota Dorman.
"Pak, boleh saya membantu?", Kevin menyentuh lengan pria paruh baya itu. Saat ini, Kevin perlu beberapa detik untuk meniru tekstur dan warna kulit pria ini.
"Siapa kau?", pria itu jelas tidak mengenal siapa pemuda ini.
"Aku petugas ledeng, tapi penasaran dengan pusat pengolahan sampah kota Dorman yang konon canggih itu. Tapi kalau tidak berkenan, tak apa-apa", Kevin melepas pegangan dan kembali berteduh di bawah pohon.
"Aneh!", pria itu pun mengabaikan Kevin dan melanjutkan aktivitasnya. Tanpa ia sadari, Kevin telah mencuri kartu aksesnya dan sekarang tengah melatih kulit dan ototnya untuk menyerupai pria itu. Karena kamuflase Kevin tidak sekedar meniru warna, namun bahkan detailnya secara terkontrol. Buah dari latihannya beberapa hari ini.
Saat pria paruh baya itu pergi, Kevin menyusup ke gedung. Kini wajah dan tubuh Kevin kecuali tinggi badan dan pakaian, sangat serupa dengan si korban yang ia tiru.
"Jordan namanya", gumam Kevin setelah menghafal identitas korban di kartu akses. Dengan informasi dari semut dan nyamuk, Kevin mendapat gambaran kasar denah bangunan dan pintu akses fasilitas rahasia.
Segera ia melangkah cepat namun standar tertinggi pria paruh baya agar tidak mencurigakan.
"Jordan! Kamu kembali lagi?", seorang petugas keamanan menyapa Kevin dari belakang. Untung saja Kevin sudah mengubah suaranya seperti Jordan.
"Ehem, itu aku lupa mengambil beberapa sampah. Nanti aku dimarahi bos kalau sampai tidak bersih", Kevin mencoba mencari alasan dengan peruntungan saja.
"Eh, tidak biasanya kamu teledor. Sana lah, cepat! Area ini tidak boleh sembarangan dimasuki orang. Kamu tahu aturannya kan? Sampah apapun yang kamu pungut, tunjukkan padaku. Juga, jangan lama-lama!", petugas itu memperingatkan. Kevin hanya mengangguk dan memasukkan kartu akses ke pintu panel kunci baja, ditambah sidik jari.
Petugas itu sedikit curiga, namun melihat Kevin bisa masuk tanpa membunyikan alarm, ia pun menurunkan kewaspadaan. Pintu baja terbuka, di dalam sana ada sebuah lorong, di mana kanan dan kirinya punya panel pintu yang tidak Kevin ketahui yang mana akses ke fasilitas biokimia bawah tanah.