Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Menjelang tengah malam ketika semua orang sudah terlelap dalam buaian mimpi, Aline diam-diam turun dari tempat tidurnya. Selang infus di tangan kirinya telah dicopot perawat jaga sejak tiga jam lalu, sekarang Aline bebas bergerak ke mana pun tanpa terbebani oleh selang dan tiang infus, atau pun oksigen yang dipasang di hidungnya.
Aku harus secepatnya pergi dari sini.
Gadis itu melangkah pelan dan mengambil jaket, topi serta masker yang ada di meja Stev. Sembari berjinjit ke kamar mandi, gadis itu menengok sebentar ke luar jendela. Aman. Di luar sana situasinya begitu tenang, tidak terlihat satu orang perawat atau pun penjaga keamanan yang berkeliaran dan berpatroli malam.
Syukurlah.
"Hei, Aline... Kamu mau ke mana?"
Suara Stev sempat bergema di sana, seolah-olah Stev berhasil menangkap basah orang yang sudah mencuri pakaiannya dan berniat untuk kabur. Aline menggigit bibir bawahnya, ia tidak berani menengok ke belakang sehingga ia hanya bisa memejamkan matanya di depan pintu keluar.
"Kamu harus makan dulu, Lin. Soto Babat Pak Muh itu enak. Kamu nggak boleh menyia-nyiakan makanan enak begitu saja. Andai saja kamu tahu, dua jam lalu aku mengantre di kantin kampus demi semangkuk soto ini. Tapi kenapa kamu malah membuangnya?" suara Stev yang menggerutu itu perlahan mulai melemah disusul oleh gumaman-gumaman lainnya.
Aline menoleh ke samping jendela di mana Stev tertidur di sofa merah panjangnya. Stev menggeliat, memeluk bantalnya dengan erat.
Fiuh! Aline bernapas lega. Rupanya Stev hanya mengigau saja. Sebaris senyuman Aline terukir dengan jelas, ia menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar gumaman Stev yang terdengar lucu.
Stev memang selalu seperti ini, batin Aline.
"Maaf sudah mengecewakanmu, Stev. Aku akan ganti soto babat yang ingin kamu makan itu. Aku juga pinjam bajumu dulu." Aline berbisik pelan di telinga Stev.
Takut Stev akan terbangun, Aline cepat-cepat melewati sofa tempat Stev tertidur pulas. Ia berjalan ke luar dan menutup pintunya dengan sangat perlahan. Tidak ada satu orang pun yang curiga dengan gelagat Aline, hingga gadis itu tiba di gerbang utama rumah sakit.
Penyamaran Aline berhasil. Aline bernapas lega, ia menengok ke kanan dan kirinya, tapi jalanan pada malam itu sudah sepi. Tidak ada satu pun ojek atau angkutan umum yang terlihat melewati jalanan di sana.
Aline mau tak mau harus menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Sebenarnya ia sudah sangat kelelahan, kondisinya pun masih lemah karena baru terbangun dari koma selama satu minggu, tetapi Aline tetap ingin kembali ke asrama. Ia tidak betah berada di rumah sakit. Ia ingin segera bertemu dengan Dokter Gita dan memastikan bahwa wanita itu baik-baik saja. Ia tidak bisa lagi menunggu hari esok karena ia sangat mencemaskan kondisi Dokter Gita. Ia merasa bersalah sekali pada Dokter Gita. Terutama setelah Dokter Gita tahu bahwa Aline mencoba bunuh diri pada malam itu. Rasa bersalah Aline bertambah besar mengingat Dokter Gita yang pastinya kebingungan untuk menjelaskan kondisi Aline pada Margin.
Tapi seandainya saja Dokter Gita menjawab panggilan teleponnya, Aline tidak akan mungkin kabur seperti ini.
"Apa ini? Bagaimana aku bisa kembali ke asrama?"
Aline merasa bodoh. Ia sudah berjalan sekitar sepuluh meter dari rumah sakit, dan kini ia mulai berpikir untuk kembali ke sana. Namun saat gadis itu hendak menyeberang, sebuah cahaya datang dari sebelah kanannya, cahaya itu bergerak semakin dekat dan menyilaukan matanya. Aline berhenti di tengah jalan sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan.
Sebuah motor berukuran besar mengerem tepat di depan Aline. Aline hampir saja tertabrak dan kembali ke rumah sakit karena kecelakaan ini. Beruntung, pengemudi malam itu mampu menghentikan motornya sebelum menabrak tubuh Aline yang tampak kurus dan kecil itu.
"Kamu baik-baik saja?"
Aline yang terduduk di tengah-tengah zebra cross itu mendongak ke atas. Napasnya terdengar tidak beraturan.
Pria itu cepat-cepat turun dari sepeda motornya, melepas helm, dan langsung menghampiri Aline yang masih terpaku di tengah jalan. Wajah pria itu terlihat jelas di bawah lampu jalan. Ia memiliki wajah Asia Timur yang sangat kental. Rambutnya cokelat, bibirnya mungil, matanya agak sipit, dan tingginya sekitar 169 cm. Pria berjaket kulit itu pun berjongkok dan menatap wajah Aline yang tertutup masker dan topi bucket-nya.
"Kamu... Aline, 'kan?"
Aline tidak menjawab. Ia mendongakkan kepalanya lagi dan menatap orang asing itu lekat-lekat. Aline sama sekali tidak mengenali wajah lelaki itu, tetapi dari matanya yang berwarna cokelat, ia teringat pada teman sepupunya, Ruby.
“Kamu masih ingat aku?” tanya pria itu lagi.
Alis Aline terangkat sebelah. Ia menggelengkan kepalanya lemah. Pria itu mendesah pelan, lalu membantu Aline berdiri dan menepikan motornya di pinggir jalan.
“Maaf, tadi aku hampir menabrakmu.” Lelaki itu menyodorkan sebotol air mineral yang diambil dari tas ranselnya. Aline masih tidak bisa berkata apa-apa. Ia masih syok dengan apa yang baru saja terjadi. Sebotol air yang diberikan lelaki itu hanya ditaruh di sampingnya.
“Kamu Alinea Prasasti, kan? Sepupunya Margin?” tanya lelaki itu lagi seolah-olah ia takut kalau ternyata salah mengenali seseorang.
Aline sedikit terkejut mendengarnya menyebut nama Aline, namun ia langsung menganggukkan kepalanya.
Aline berpikir, jika lelaki ini mengenal Margin, berarti ia lelaki baik.
“Kamu, siapa?” Aline memberanikan dirinya menatap pria itu.
Pria itu tersenyum tipis, tanpa menjawab pertanyaan Aline, ia merogoh dompet di saku celananya, mengeluarkan sebuah foto, dan ditunjukannya foto itu pada Aline. "Apa kamu ingat ini? Ini foto kita waktu SD. Yang pakai topi baseball itu saya, ini kamu yang pegang lukisan, dan ini Aksa."
"Loh, jadi kamu..." Aline terdiam sejenak, matanya terbelalak menatap pria di sebelahnya. "Kamu... Ren, adiknya Kak Ruby itu?"
Pria itu mengangguk dan tersenyum manis. "Syukurlah kamu masih ingat nama saya. Lama tidak berjumpa, Line."
Pria bernama Ren itu mengusap kepala Aline dengan lembut. Ia terlihat senang begitu Aline mengenalinya.
"Apa yang kamu lakukan malam-malam di sini? Kamu sendirian?" tanya Ren.
Aline mengangguk dan menceritakan seluruh rangkaian kisahnya. Ren menghela napas kasar, dan menggelengkan kepalanya. Ren sama sekali tidak percaya kalau teman masa kecilnya benar-benar nekat melakukan hal sebodoh ini.
"Sekarang aku hanya ingin pulang." Aline memeluk lutut. Suaranya sedikit tertahan.
"Oke. Kalau begitu biar saya saja yang antar kamu pulang, oke?"
"Serius, Ren?" Aline memalingkan wajahnya ke arah Ren yang berdiri sambil bersandar di motor besarnya.
Ren mengangguk yakin. "Saya mau ke Jakarta Barat, nengok rumah produksi punya Kak Ruby. Jalan kita, 'kan, searah, barengan saja, ya?"
Aline mengangguk dan tersenyum dari balik maskernya. Bola mata cokelat itu berkaca-kaca. "Terima kasih, Ren. Aku sangat terbantu karena ada kamu."
"Sama-sama. Dengan begini, kamu akan berutang lagi sama saya." goda Ren.
Aline mengernyitkan keningnya. Pria itu tertawa. "Saya hanya bercanda. Ya sudah, ayo naik sini. Malam-malam begini, berani sekali kamu berjalan sendirian. Dasar. Sudah tahu baru sembuh, masih saja kabur-kaburan. Kalau ada yang culik kamu bagaimana coba?"
Aline tidak banyak bicara. Ia hanya tersenyum kecil mendengarkan omelan Ren, dan duduk di belakang pria itu begitu mesin motornya telah siap melaju.