Berawal dari penghianatan sang sahabat yang ternyata adalah selingkuhan kekasihnya mengantarkan Andini pada malam kelam yang berujung penyesalan.
Andini harus merelakan dirinya bermalam dengan seorang pria yang ternyata adalah sahabat dari kakaknya yang merupakan seorang duda tampan.
"Loe harus nikahin adek gue Ray!"
"Gue akan tanggungjawab, tapi kalo adek loe bersedia!"
"Aku nggak mau!"
Ig: weni 0192
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon weni3, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Setelah sarapan Andini di boyong pulang kerumah pribadi Raihan yang sudah lama ia tidak tempati semenjak bercerai.
Sedikit haru saat berpamitan dengan kedua orang tuanya, apa lagi Andin yang bisa di kata anak penurut yang selalu pulang ke rumah apapun keadaannya.
"Mah, Andin akan sering-sering pulang kesini. Jangan sedih ya, nggak akan lama kok."
"Apanya yang nggak lama Andin?" tanya mamah merenggangkan pelukan Andin.
"Oh...i..itu mah maksudnya nggak akan lama Andin pasti main ke sini lagi," jawabnya terbata, Raihan menggelengkan kepala mengerti maksud dari sang istri.
"Rai, jika nggak sanggup menghadapi Andini kamu lapor mamah ya. Jangan sungkan, karena mamah tau nggak mudah menuruti keinginan Andin. Kamu harus sabar dari sikap manjanya dia ya."
"Iya mah, akan Rai usahakan. Kalo begitu Pah mah, Raihan pamit bawa Andini pulang." Raihan menyalami kedua mertuanya.
"Yang sabar dalam menghadapinya ya nak!" lanjut papah dan di jawab sebuah anggukan dari Rai.
Nicko melihat Andika yang sudah siap berangkat dengan kunci mobil di tangannya, "Gue nganter Andin dulu, loe handle meeting pagi ini. Nanti kalo urusan gue udah kelar, langsung otw kantor."
"Gue tunggu, klien yang ini cukup buat gue pusing, cantik doank tapi ribet. Loe yang bisa handle dengan segala pesona loe!"
Mendengar itu Andin menyipitkan mata, bukan cemburu tapi cukup aneh saja di dengarnya. "Kerja apa tebar pesona!" celetuk Andini kemudian masuk ke dalam mobil.
"Singa mulai cemburu apa gimana sich?"
"Ck, gue balik!" Assalamualaikum mah Pah..."
"Wa'allaikumsalam....." sahut mereka berbarengan.
Andika menggelengkan kepala, "laki bini sama-sama bikin gue puyeng! mah Pah berangkat." Andika segera masuk mobil dan berangkat ke kantor.
"Kamu dulu ngidam apa sich, punya anak otaknya pada konslet begitu. Heran papah, perasaan papah waras."
"Waras apa, buah itu turun tak jauh dari pohonnya!" ketus mamah kemudian segera masuk ke dalam rumah.
"Berarti sesama nggak waras harap maklum," gumam papah kemudian masuk ke dalam. Hari ini beliau tak sesibuk biasanya jadi agak siang berangkat bekerja. Berarti jadwalnya membujuk istri, mengajak kuda-kudaan mumpung anak-anak nggak ada.
"Let's go mah......"
Dalam perjalanan Andini dan Raihan hanya saling diam, tak ada yang berniat membuka suara hingga begitu sepi senyap.
Sesampainya di perumahan yang cukup elit, dengan bentuk rumah tingkat dua yang cukup elegan di masing-masing bangunan. Raihan membunyikan klakson saat sudah sampai di depan pagar tinggi yang menjulang.
Ternyata ada post satpam di dalam rumah itu, pak satpam yang bernama Pak Mugi pun menghampiri. Membuka kunci dan mendorong pagar hingga terbuka.
Raihan masuk melewati Pak Mugi yang tersenyum menyapa. Setelah memarkirkan mobil, Raihan keluar dan di susul oleh Andini. Raihan memanggil pak Mugi untuk membawa koper dan beberapa barang Andini untuk di bawa ke kamar.
"Pak, tolong barang-barang bawa masuk ke kamar utama ya!"
"Iya den," jawabnya seraya melirik Andin yang baru keluar mobil.
"Dia Andini, istri saya."
"Oh, den Raihan sudah menikah lagi. Syukurlah, semoga menjadi keluarga sakinah mawadah warahmah awet sampe maut memisahkan."
"Aamiin...." jawab Raihan, tetapi tidak dengan Andini dia hanya tersenyum kaku memperhatikan interaksi keduanya.
Raihan mengajak Andini masuk, sambutan kedua dari seorang wanita paruh baya dengan gesit menghampiri.
"Den, Alhamdulillah pulang ke sini. Simbok sampe kangen, sehat den?"
"Alhamdulillah mbok, kamar atas sudah di bersihkan mbok?"
"Sudah den, setiap hari Simbok bersihkan takut-takut Aden pulang terus menginap. Seneng den Raihan mau pulang lagi kesini." Simbok melihat Andin yang sejak tadi hanya diam memperhatikan.
"Ini istri saya mbok..."
Simbok tersenyum bahagia, ntah apa yang membuatnya begitu senang hingga membuat pelupuk matanya basah.
"Owalah ayune polll, selamat ya den. Selamat datang non kalo butuh apa-apa bilang sama simbok ya."
"Eh iya mbok, panggil Andini aja mbok. Nggak usah pake non, Andin nggak biasa di panggil gitu." Andini dengan senyum manisnya menatap simbok kemudian meraih tangannya dan mencium dengan hormat.
"Walah nduk, jangan gini." Simbok menarik tangannya kemudian menatap Raihan. Andini yang memang di rumah tak ada asisten rumah tangga dan selalu bersikap ramah dengan siapa saja menganggap jika orang yang lebih tua harus di hormati sebagai mana orang tuanya. Walaupun sikapnya kadang nyeleneh...
"Maaf mbok..."
"Udah nggak apa-apa, ayo kita kekamar." Raihan berjalan lebih dulu, menunjukkan kamar utama yang berada di lantai dua. Kamar yang di desain begitu mewah dan elegan.
Mata Andini bergerak liar, melihat seluruh tatanan kamar yang di buat begitu nyaman.
"Ini kamar aku?"
"Hhmm..."
"Kamar kakak dimana?" tanyanya lagi.
"Disini kamar kita berdua." Raihan kemudian meminta Pak Mugi untuk meletakkan segala perlengkapan Andin di dekat lemari.
"Makasih ya pak."
"Sama-sama den..." Pak Mugi sedikit menunduk kemudian keluar dari kamar.
Andini menatap datar Raihan, "kenapa harus berdua?"
"Karena memang nggak ada acara pisah kamar." Raihan melangkah menuju lemari kemudian mengambil jasnya.
"Aku mau ke kantor, besok kamu bisa mulai magang. Beresin barang ajak simbok aja, biar nggak capek." Andin hanya diam menatap Raihan yang segera pergi.
"Kenapa nggak beda kamar, masak iya rumah segede ini cuma ada satu kamar. Nggak bebas donk gue!" Andin melempar tubuhnya ke ranjang dan menggoyangkan kaki ke udara, dia tak tau bagaimana menyikapi pernikahan yang tak ia inginkan ini.
"Ngesel....."
"Andin kamu ngapain?"
"Hah....!" Andin segera menurunkan kakinya sedangkan Rai mengatur nafas dan berusaha mengendalikan diri setelah melihat tingkah absurd istrinya. Apa lagi pemandangan yang indah cukup menggoda.
Andin dengan wajah yang sudah memerah segera duduk dan merapikan roknya yang terbuka. "Mampuuusss gue....."
"Kenapa masuk nggak ketok pintu dulu sich kak? lagian kenapa balik lagi?"
"Kamu yang kebanyakan tingkah, mau menyiksaku?"
Andin membuang muka sedangkan Raihan menuju nakas di samping ranjang mencari map yang tadi tertinggal.
"Kalo sudah segera keluar dan tutup pintunya!" ketus Andin kemudian melangkah menuju kamar mandi, tetapi bertepatan dengan itu Rai berbalik hingga menabrak tubuh Andin yang membuat dirinya terjatuh ke ranjang.
"Reseh banget sich kak!"
"Aku nggak sengaja, sini aku bantu." Raihan mengulurkan tangannya kemudian membantu Andin untuk kembali berdiri. Dengan jarak yang cukup dekat keduanya berhadapan dan hal itu sedikit membuat Andin grogi. Apa lagi tatapan Rai yang berbeda.
"Lain kali hati-hati, kasian ranjangnya tiba-tiba di jatuhi kamu!"
Andin segera menoleh dengan sorot mata tajam, apa-apaan lebih sayang ranjang dari pada dia istrinya.
"Kenapa nggak sekalian Kakak bawa aja ranjangnya ke kantor? ngeselin, lebih belain ranjang dari pada aku!" Andini merengut dengan mulut menggerutu.
"Nggak perlu emosi, sayang sama wajah kamu yang imut jika dalam waktu beberapa hari harus berubah menjadi tua. Jangan sampai setelah sebulan kamu meminta cerai, wajahmu berubah menjadi nenek-nenek."
"Apa banget mulutnya kak Rai, mau aku kasih sambel apa petasan itu bibir? sana berangkat, bosen aku lihat kakak. Cuma bikin emosi jiwa, dari tadi ucapannya nggak berfaedah!"
Andin bersedekap dada, hatinya kesal, telinganya panas, dan jiwanya terasa meronta. Punya suami modelan musuh begini minta dizalimi bukan di sayangi.
"Ya udah aku berangkat, jangan ngambek! cuma bercanda."
cup
Mata Andin mendelik dengan mulut menganga, apa-apaan main sosor dan pergi begitu saja meninggalkan jantung yang tak aman. "Nggak ada harga dirinya banget ini bibir!"
mkasih bnyak thorr🫰