Niat hati mengejar nilai A, Nadine Halwatunissa nekat mendatangi kediaman dosennya. Sama sekali tidak dia duga jika malam itu akan menjadi awal dari segala malapetaka dalam hidupnya.
Cita-cita yang telah dia tata dan janjikan pada orang tuanya terancam patah. Alih-alih mendapatkan nilai A, Nadin harus menjadi menjadi istri rahasia dosen killer yang telah merenggut kesuciannya secara paksa, Zain Abraham.
......
"Hamil atau tidak hamil, kamu tetap tanggung jawabku, Nadin." - Zain Abraham
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 - Bukti
"Memalukan, mau taro dimana mukaku."
Hingga keesokan hari, Nadin masih malu, tepatnya semakin malu. Entah bagaimana dia bersembunyi, penjelasan Zain semalam membuatnya seperti dilucuti. Sungguh menyesal dia turun semalam, andai saja menuruti perintah sang suami untuk tetap di kamar, mungkin keadaannya tidak begini.
Nadin mencoba untuk bersikap santai, sebagaimana kata Zain, salah-satu yang bisa dia lakukan di hadapan mertua dan kakak iparnya hanyalah pura-pura tidak tahu. Dengan begitu, maka rasa malu Nadin tidak akan terlalu besar dan kentara.
Dia sudah lakukan, kini mereka dipertemukan di ruang makan. Namun, tetap saja dia tidak bisa sesantai Zain, tangannya gemetar bahkan sendoknya sampai terjatuh ke lantai.
"Jangan diambil, ganti yang baru saja." Baru saja hendak menunduk, Zain secepat mungkin mencegahnya.
Ya, Zain mencegah memang, tapi pria itu justru menggantikan Nadin untuk meraih sendok tersebut. Sialnya, dengan posisi itu membuat bekas gigitan di pundak Zain terlihat jelas hingga menjadi pusat perhatian detik itu juga.
"Ehem, kau pamer?"
Pria itu mengerutkan dahi, pertanyaan Zeshan cukup sulit dimengerti oleh otak Zain saat ini. "Pamer? Pamer apa?"
Tanpa menjawab, Zeshan hanya menepuk pungungnya hingga Zain ber-oh ria di sana. Baru dia pahami apa maksud Zeshan, sungguh dia baru sadar akan hal itu.
Bukan bermaksud pamer sebenarnya, tapi jika sendirian atau di rumah memang begitu kebiasaannya di akhir pekan. Pagi hari Zain akan mengisi waktu dengan olahraga, lari pagi jika tidak hujan atau semacamnya.
Setelah itu, dia tidak akan segera mandi, melainkan ke meja makan dengan hanya menggunakan kaos dalam tanpa berpikir bekas gigitan Nadin tadi malam akan megundang perhatian.
Tak hanya Zeshan, tapi ternyata kedua orang tuanya sadar akan hal itu. Seperti biasa, di balik mommy-nya yang senyam-senyum, ada Daddy-nya yang menatap dengan wajah datar dan tatapan super tajam.
Pendapat mereka berbeda, mungkin bagi Mommy Amara gigitan itu adalah bukti jika hubungan mereka kian manis. Sementara Daddy Syakil jelas saja berpikir berbeda, bekas gigitan itu Syakil anggap sebagai bentuk pemberontakan Nadin lantaran Zain memaksa kala menuntut haknya.
"Apa masih ada bekasnya?" Tidak hanya mengajarkan jurus pura-pura lupa untuk Nadin, tapi dia juga menerapkannya tentu saja. Tadi pagi Zain sendiri yang memastikan, dia juga tergelak melihat bekas gigitan sang istri, tapi kini dia juga yang bertanya dengan wajah sok bingungnya.
Zeshan yang paham dengan gelagatnya juga turut mendukung usaha pria itu. "Hm, sangat-sangat membekas ... pasti adik ipar gigitnya pakai tenaga dalam."
Sejak tadi Nadin sudah serba salah, begitu mendengar ucapan Zeshan seketika dia terbatuk. Sang suami yang mengerti akan kegugupannya segera menyodorkan air minum dan mengusap pundak sang istri.
Bibirnya sudah gatal untuk bicara, tapi Zain menunggu sang istri tenang lebih dulu. Tanpa perlu dijelaskan, dia mengerti jika kini Nadin tertekan akibat ulah saudaranya. "Istriku ngigau semalam, jadi mungkin tidak sadar kalau menggigitku."
Pembelaan yang cukup masuk akal, akal orang, bukan asal Zeshan. Dia menatap Zain penuh selidik, sangat tidak dapat dipercaya. "Oh iya? Apa benar begitu, Nadin?"
"Iyakan saja, agar dia diam," bisik Zain mendekat, dia khawatir jika nantinya Nadin justru jujur apa penyebab utamanya.
Nadin yang kebetulan bingung hendak menjawab apa, merasa tak punya pilihan lain selain menuruti perintah sang suami. "Iya, Kak, sejak kecil aku memang punya kebiasaan seperti itu."
"Oh iya? Mimpi apa kalau kakak boleh tahu?" Seolah bertanya pada adik kecil, Zeshan bertanya seraya bertopang dagu.
.
.
Sungguh hal aneh yang tidak dapat diterima akal Zain. Sejak kapan pria itu bisa bersikap hangat? Padahal, selama ini dia ketahui jika Zeshan adalah pria irit bicara, kecuali pada pasien dan juga orang-orang terdekatnya.
Pada Nadin dia baru berkenalan tadi pagi, itu juga di meja makan dan dikenalkan oleh Mommy Amara. Siapa sangka, sikap hangat Zeshan membuat Nadin tidak begitu tertekan hingga bisa berpikir lebih tenang untuk menjawab pertanyaannya.
"Mimpi makan roti."
"Dengan selai di atasnya?" tanya Zeshan lagi, persis bertanya pada anak TK demi membuatnya nyaman sebagaimana perintah Daddy-nya.
Nadin menggeleng, senyumannya terbit hingga kedua mertuanya juga turut terbawa suasana. Sedikit pun Nadin tidak tahu bahwa Zeshan yang banyak tanya itu adalah misi dari Daddy Syakil sebagai upaya untuk membuat korban kebejjatan putranya tidak trauma atau semacamnya.
"Lalu apa?"
"Roti sobek dengan selai di dalamnya," jawab Nadin membenarkan, bohongnya justru berkelanjutan.
"Ah, aku kira roti dengan selai kacang dan taburan garam laut di atasnya." Pria itu tertawa sumbang, dia menatap Zain yang kini berhenti mengunyah seketika usai mendengar candaanya.
"Maksudmu? Apa hubungannya dengan garam laut?"
"Iya, bukankah keringatmu mengandung natirum klorida? Apalagi tadi malam kau habis dihajar Daddy, pasti lebih asin la_"
"Zeshan diam!! Menjijikkan sekali." Keringatnya yang dibahas, tapi dia sendiri yang mual hingga roti baru turun ke lambungnya seolah memaksa berontak untuk naik kembali.
Tidak hanya picky, Zain juga termasuk seseorang yang gampang jijik, bahkan tentang dirinya sendiri. Mungkin terkesan sederhana, tapi bagi Zain tidak. Sebuah candaan Zeshan ternyata berakhir serius, dia tak kuasa menahan diri hingga berlari ke kamar dan sarapannya benar-benar baru berkurang sedikit.
Melihatnya berlalu pergi, Nadin juga turut beranjak hingga menyisakan tiga orang itu di ruang makan. Tiga orang yang kini menghela napas panjang lantaran kekhawatiran mereka tidak terbukti setelahnya, Nadin tidak terlihat keberatan, bahkan dia sendiri yang berlari seakan benar-benar mengkhawatirkan Zain.
"Syukurlah, mereka baik-baik saja ... bekas gigitan itu sudah cukup jadi bukti, iya 'kan, Sayang?"
"Hm, semoga saja begitu," sahut Daddy Syakil kembali melanjutkan sarapan yang tadi sempat tertunda lantaran bahagia akan keadaan Nadin.
Lain halnya dengan Mommy Amara yang semudah itu menarik kesimpulan, Zeshan justru berpikir dengan segala pertimbangannya. "Wait, Mom ... tapi apa iya bekas gigitannya bisa dijadikan bukti bahwa mereka melakukannya?"
Amara mengangguk mantap, dia benar-benar yakin akan dugaannya kali ini "Menurut Mommy begitu, kenapa? Kamu ragu?"
"Iya, karena begini, bekas gigitannya dipunggung, bukan di dada atau lengan Zain ... Bagaimana bisa? Tidak, maksudku gaya apa yang mereka gunakan tadi malam?"
"Astaga anak ini, tidak perlu kau pikirkan juga bagian sananya, Zeshan!!" sentak Syakil seketika menghentikan pembicaraan konyol antara sang istri dan putranya kali ini. "Dasar gilla, kenapa dua-duanya begini semua?"
.
.
- To Be Continued -
"kian menjadi (mereda/reda) sembari"