Orang bilang punya istri dua itu enak, tapi tidak untuk Kelana Alsaki Bragha.
Istrinya ada dua tapi dia tetap perjaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mega Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 21
Sementara itu, Kadara membawa ibunya untuk masuk ke kamarnya. Dewi memberontak dan menepis lengan putrinya dengan raut bertanya-tanya.
“Sebenarnya ada apa ini, Dara? Perempuan tadi itu siapa? Apa benar itu istrinya Kelana?” tanya Dewi.
“Benar, Bu. Namanya Bening, dia anak Bu Ajeng asisten rumah tangga Bu Agustina. Bening itu istri pertamanya Mas Kelana.” Jawaban Kadara membuat Dewi menganga.
“Istri pertama? Jadi sebelum menikahi kamu, Kelana udah punya istri?”
“Benar, Bu. Mas Kelana menodai anak pembantunya itu bahkan mau menikahinya karena kecewa sama aku. Mas Kelana nuduh aku selingkuh gara-gara aku nggak perawan.”
“Kelana berani nuduh kamu gitu?”
“Bu –“ Kadara menggenggam tangan Dewi yang mengepal kuat. “Semuanya memang salah aku. Aku memang udah selingkuhin Mas Kelana.”
Dewi terkejut hingga kepalan tangannya melemah. “Kamu selingkuhin Kelana?”
Kadara mengangguk. “Aku nyesel udah selingkuhin Mas Kelana dengan sahabat Mas Kelana sendiri, Bu. Itu sebabnya aku mau mau terima Bening sebagai madu aku, aku merasa Tuhan lagi balas perbuatan aku yang udah khianati laki-laki sebaik Mas Kelana dengan cara yang sama.”
“Astaga.” Kaki Dewi gemetaran hingga berakhir duduk di atas ranjang. “Ibu nggak nyangka kamu berani khianati Kelana, Dara. Apa kurangnya Kelana? Dia itu selalu baik sama kamu bahkan selalu baik sama keluarga kita. Apalagi yang kamu cari, Dara? Kenapa kamu tega sama Kelana?”
“Bu, tolong maafin aku. Aku khilaf, Bu. Mas Kelana memang baik, tapi ada hal-hal yang nggak bisa Mas Kelana lakuin buat aku, sampai aku punya inisiatif buat cari yang Mas Kelana nggak bisa kasih itu di sosok selingkuhan aku. Tapi aku beneran udah menyesal, Bu. Aku cinta sama Mas Kelana dan cuma main-main sama selingkuhanku. Aku juga udah putusin selingkuhanku itu, kok.”
“Jujur ibu kecewa sama kamu, Dara. Mati-matian ibu nyembunyiin cerita kamu sama Pak Angkasa, tapi kamu malah bikin cerita baru sama laki-laki lain. Mau taruh di mana muka ibu kalau sampai Bu Agustina tau?”
“Maaf, Bu, maaf. Aku cuma ingin eksplor masa mudaku. Aku akan perbaiki semua itu karena sekarang aku udah jadi seorang istri.”
“Terus kamu mau dimadu?”
“Ya mau gimana lagi, Bu? Mas Kelana udah terlanjur nikahin Bening. Aku marah? Iya aku marah. Aku kecewa? Tentu aku kecewa. Aku cemburu? Pasti aku cemburu, Bu. Tapi aku nggak bisa ngubah sesuatu yang udah terjadi, aku nggak mau Mas Kelana semakin marah dan kecewa kalau aku nggak terima sama keputusannya.”
**
**
**
Pagi yang cerah sudah dihiasi cahaya keemasan dari sang Surya. Bening baru keluar dari kamarnya setelah mengerjakan PR yang belum sempat dikerjakan. Gadis berbaju tidur gampar Hello Kitty itu pun melangkah riang ke arah dapur yang berisiknya seperti pasar ayam.
“Wah, kalian semua lagi apa?”
Bening terpana saat melihat ibunya, Agustina, Dewi, dan Kadara yang sedang kompak masak bersama.
“Kita lagi masak, Bening. Kenapa kamu baru bangun tidur? Perempuan itu harus bangun gasik buat ke dapur, Bening,” ujar Ajeng yang sedang cuci piring.
“Aku udah bangun dari subuh kok, Bu. Cuma aku ngerjain PR dulu,” sahut Bening.
“Ya nggak papa kalau Bening mau bangun siang juga, Bu. Siapa tau Bening begadang semalaman,” sahut Agustina yang sedang memotong timun.
“Selamat pagi, Bening. Anggap ibu seperti ibu kamu juga, ya? Mau bagaimana pun ibu juga mertua kamu,” ujar Dewi yang sedang memotong-motong tempe.
“I-iya.” Bening bingung melihat satu keluarga yang akur, harmonis, dan damai.
“Bening mau bantu aku?” ucap Kadara yang sedang mengaduk-aduk masakan di depan kompor.
“Mbak Dara lagi masak apa?” Bening menghampiri Kadara.
“Lagi masak makanan kesukaan Mas Kelana.”
“Memangnya makanan kesukaan Bang Kelana apa, Mbak?”
“SAMBAL JENGKOL,” sahut Kadara, Ajeng, Agustina, dan Dewi, sangat kompak.
“Oh, jadi Bang Kelana suka sambel jengkol?” Bening mangut-mangut baru tau.
“Iya, kamu bantu aku iris bawang buat toping bawang goreng sambel jengkolnya, ya?” pinta Kadara.
“Siap, Mbak.”
Dengan semangat Bening mengambil talenan dan pisau, lantas mengiris bawang merah itu di samping Kadara yang masih mengaduk sambal jengkol.
“Duh, bahagianya hati ibu bisa ngeliat ke dua mantu ibu akur begini,” ujar Agustina yang senyum-senyum sendiri.
“Adik kakak memang harus aku kan, Bu,” sahut Kadara.
“Jadi Mbak Dara anggap aku adik?” tanya Bening.
“Boleh kan, aku anggap kamu adik, Bening. Mau bagaimana pun kita kan istri dari suami yang sama. Mulai sekarang kita harus akur biar Mas Kelana bahagia, ya?”
“Siap, Mbak. Aku bakal anggap Mbak Dara kayak Mbakku juga kok. Aku juga ingin ngeliat Bang Kelana bahagia biar nggak nangis-nangis lagi.”
“Mas Kelana nangis?” Kadara terkejut karena selama mengenal Kelana, ia tak pernah sekalipun melihat Kelana menangis.
“Nggg ... Nggak kok, Mbak. Aku bercanda.” Bening keceplosan dan baru sadar dengan janjinya yang tak akan memberitahu siapa-siapa tentang suaminya yang menangis sampai ingusan.
“Oh, kupikir kamu serius. Soalnya Mas Kelana itu orangnya cowok banget. Dia nggak pernah nangis sama sekali,” ujar Kadara.
“Benar, bahkan waktu ayahnya meninggal juga Kelana nggak nangis. Putra ibu cuma diam dan ngurung di kamar,” sahut Agustina.
“Iya, hehe ... Bang Kelana cowok banget, hehe.”
Bening garuk-garuk tengkuk kikuk karena ucapan Kadara dan ibu mertuanya itu tak sesuai dengan kenyataan. Bahkan semalam Bening ikut menemani suaminya begadang gara-gara tak bisa berhenti menangis, sampai Bening ikut sibuk mengelap ingus Kelana yang menghabiskan tisu satu kotak.
“Iris bawangnya udah selesai, Mbak,” ujar Bening yang air matanya mengalir sebab bawang merah.
“Langsung kamu goreng aja ya, Bening. Goreng di situ.” Kadara menunjuk tungku kompor yang nganggur.
“Siap, Mbak.”
Bening menuangkan irisan bawang merah itu ke wajah yang belum diberi minyak, gadis itu pun terus menghapus air matanya yang mengalir sebab terasa pedih.
“Bening, kamu kenapa nangis?” tanya Kelana yang baru datang dengan kotak kado besar di tangannya.
Kelana meletakan kado dari direkturnya itu di hadapan Dewi dan Agustina yang masih memotong bahan makanan, lantas menghampiri ke dua istrinya.
“Dara, kamu apain Bening?” Kelana memasang wajah marah dengan mata yang sedikit sembab.
“A-aku nggak ngapa-ngapain Bening kok, Mas. Bening, aku nggak ngapa-ngapain kamu, kan?” Kadara meminta pembelaaan Bening.
“Iya, Bang. Mbak Dara nggak apa-apain aku kok. Aku –“
“Terus kenapa kamu nangis, Bening? Saya udah nggak percaya lagi sama dia.” Kelana menunjuk Kadara.
“Mas –“
“Ikut saya.” Kelana menarik lengan Kadara untuk bicara berdua.
“KELANA, KADARA NGGAK NGAPA-NGAPAIN!” seru Dewi.
“BENING LAGI IRIS BAWANG, KELANA!” seru Agustina, namun perkataan ke dua ibu itu tak terdengar oleh Kelana yang sudah pergi ke depan.
“Biar saya yang jelaskan, Bu.” Ajeng menarik tangan Bening. “Ayo, Bening. Kamu harus jelaskan sama suami kamu.” Lanjut membawa putrinya ke arah depan juga.
“Mas, lepas, sakit,” cicit Kadara saat Kelana berhasil membawa istri ke duanya ke ruang tamu.
“Sakit? Sakit mana sama hati saya?” tanya Kelana.
“Saya? Sejak kapan kamu bilang ‘saya’ sama aku, Mas?” tanya Kadara.
“Sejak sekarang.”
“Jadi kamu beneran marah sama aku?”
“Pikir sendiri.”
“Mas –“
“Sekarang kamu jawab jujur, kamu apain Bening, ha? Kamu dendam sama Bening?”
Kadara menggeleng cepat. “Aku nggak apa-apain Bening, Mas. Bening nangis karena ngiris bawang. Kamu nggak percaya aku?”
“Untuk apa aku percaya sama orang yang udah berkali-kali bohongi aku?”
“Mas, aku minta maaf soal pelecehan itu. Aku bukan bohongin kamu, aku cuma nggak bisa jujur sama kamu.”
“Kebohongan kamu sama Adipati nggak mau kamu akuin juga?”
Pertanyaan Kelana membuat tubuh Kadara ngefreez. “Adipati?”
“Kenapa? Kaget?”
“K-kamu tau apa tentang aku dan Adipati, Mas?”
“Tau semuanya.”
“Mas –“ Kadara memeluk Kelana. “Maafin aku.” Ia menangis di dada suaminya.
“Bu?” panggil Bening. Ia dan ibunya mengintip Kelana dan Kadara di balik balik gorden.
“Apa, Bening?” tanya Ajeng, yang menunggu momen tepat untuk menjelaskan kesalahan pahaman.
“Kemarin juga aku peluk Bang Kelana begitu, Bu. Bang Kelana juga peluk aku semalaman.”
“Ya memangnya kenapa, Bening? Itu kan hal wajar sebagai suami istri.”
“Tapi kok sekarang ini aku sakit ya, bu? Dada aku sakit ngeliat Bang Kelana dipeluk Mbak Dara.” Bening meremas dadanya. “Sakit banget, Bu. Apa aku punya penyakit jantung?”
Ajeng terkekeh. “Itu bukan penyakit jantung, Bening. Itu cemburu.”